Karena memang sudah sore, dan sebentar lagi Maghrib, Cia tidak jadi pergi. Ia berjalan ke arah sofa dengan menghentakkan kakinya lalu duduk di samping Al. Anak itu menyembunyikan kedua tangannya di ketiak secara menyilang.
"Tidak jadi pergi, Neng?" tanya El.
"Besok!" jawab Cia dengan ketus.
"Mba Cia tadi mukul Dek Yaya, ya?" tanya Papa hati-hati.
Cia mengangkat kedua bahunya, "Tak tau."
"Mba Cia gak boleh seperti itu. Adeknya di jaga, jangan di pukul," ucap Papa lagi.
"Dengerin," kata Al yang duduk di samping Cia. Ia menarik gemas pipi adiknya.
Cia langsung menepis tangan Al, "Iya."
"Padahal kemarin udah aku bunuh, masih aja bangun," gerutu Cia.
"Hah? Ngomong apa kamu, Dek?" tanya El yang memang mendengar gerutuan Cia tapi, tak jelas.
Tanpa takut akan di marahi, Cia pun menceritakan kejadian malam itu. Malam yang membuat jiwa Naomi menempati tubuh Yaya.
Jadi, malam itu, saat semua orang sedang menonton TV, kecuali Yaya, Cia mengendap-endap masuk ke dalam kamar orang tuanya.
Ia menutup pintu secara perlahan dan berjalan menuju boks berisi adik bayinya yang sudah terlelap.
"Gara-gara kamu, Cia jadi gak disayang lagi sama semuanya!"
Cia menatap sinis pada bayi yang memakai baju putih sedikit kecoklatan itu, "Tidur aja pakai boks, manja!"
"Awas nanti, kamu aku bawa ke luar, biar dimangsa serigala, aum!"
Yaya masih nyaman dengan tidurnya, tidak terganggu dengan kehadiran Cia.
Cia menatap ke sekeliling kamar, mencari sesuatu yang sekiranya bisa ia gunakan untuk menyingkirkan Yaya.
Cia tak suka saat mendengar kabar Mama hamil lagi. Cia berpikir, dengan adanya adik bayi, maka ia akan tersingkirkan. Posisinya sebagai putri bungsu keluarga Adiwijaya sebentar lagi akan tergeser dan di gantikan oleh adik bayi.
Cia tak suka itu.
Beberapa bulan kemudian, Cia berubah pikiran, ia tak masalah dengan Mama yang sedang hamil. Ia juga rela posisinya di geser. Asalkan, adiknya itu laki-laki. Tak apa Cia tidak lagi menjadi putri bungsu, yang penting ia tetap menjadi putri satu-satunya keluarga Adiwijaya.
Hampir setiap hari Cia selalu bertanya, "Ma, Adek bayi laki-laki atau perempuan?" dan Mama akan menjawab, "Belum tau, tunggu dia lahir, ya."
Mama memang tak mau USG, katanya biar surprise. Setiap malam, sebelum tidur Cia selalu berdoa kepada Tuhan supaya memberikannya adik laki-laki.
Tapi, semua harapannya pupus saat adik bayinya lahir. Adik bayi tak sesuai dengan harapan Cia. Adik yang lahir perempuan, Cia tak suka.
Sejak itulah Cia jadi berubah. Cia yang dulu suka memasang wajah ceria, kini tergantikan dengan wajah sinis, terlebih saat menatap Yaya. Seperti ada dendam kesumat.
Kembali ke malam di mana Cia melakukan tindakan yang seharusnya tak ia lakukan. Mata Cia melihat bantal yang biasa di gunakan Mamanya tidur. Ia kemudian mengambil bantal itu dan membawanya ke dekat boks Yaya.
"Malam ini kamu bakal mati, aku akan membunuhmu!"
Dengan teganya, Cia menutupi seluruh wajah Yaya dengan bantal. Tak sebentar, kira-kira dua menit Cia baru melepaskan bantal itu. Saat perut Yaya sudah tidak naik turun, dan napasnya juga sudah tidak ada.
"Setelah Cia pastiin Yaya mati, barulah Cia kembali ke kamar. Eh, taunya malah bangun pagi-pagi," ucap Cia mengakhiri ceritanya.
Semua terdiam mendengar cerita Cia. Mereka tak menyangka, Cia yang mereka kira adalah anak baik-baik ternyata pernah melakukan suatu tindakan yang masuk ke dalam katagori keji semasa hidupnya.
Hanya karena iri, Cia melakukan tindakan itu. Mereka sungguh tak menyangka.
"Dek, kamu kok jahat, sih?" ucap Al dengan nada yang tercekat.
"Ya enggak jahat, buktinya Yaya masih bangun, tuh!" jawab Cia dengan menggerakkan dagunya pada Yaya.
"Dek, kamu tau? Tindakan kamu itu sudah masuk tindakan kriminal, loh. Bisa masuk penjara." Tambah El menatap Cia dengan serius.
Cia menatap El dengan sinis, "Cia 'kan, masih lima tahun, jadi gak mungkin di penjara."
"Besok Cia Papa antarkan ke rumah Kakek di desa," ucap Papa memberikan pernyataan, bukan pertanyaan.
"Loh, kok, gitu, sih, Pa?" Cia yang sedari tadi tenang, sekarang mulai panik.
Cia tak mau dikirim ke desa, kecuali jika sedang berlibur. Cia tak suka di desa karena di sana banyak nyamuknya.
"Sebagai hukuman karena Cia sudah bertindak setega itu sama Yaya," jawab Papa.
"Tapi kan Yaya gak papa, gak mati juga. Ngapain Cia di kirim ke desa?" Cia masih meminta pembelaan.
"Tapi tidakan yang kamu lakukan itu berbahaya, bahkan bisa merenggut nyawa Yaya," ucap El menambahkan.
Cia beralih menatap Mama, seolah meminta pertolongan, "Ma ...."
Mama menggeleng, "Kalo ini Mama setuju dengan Papa."
"Kalo Cia ke desa, sekolah Cia gimana? Masa Cia putus sekolah gitu aja," Cia masih mempertahankan dirinya agar tidak kembali menangis.
"Di desa juga ada sekolah, banyak malahan," jawab Al.
Cia beralih menatap Yaya yang berada di pangkuan Mama, "Semua ini gara-gara kamu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Naomi Jadi Bayi [END]
RandomCerita ini tidak sengaja saya tulis ketika ada tugas membuat cerpen. Sebelumnya, saya tidak berniat untuk melanjutkan cerita ini. Cerita ini sudah selesai. Tetapi, setelah teman-teman membaca, serta memberi kritik dan saran, mereka meminta untuk ada...