Hari sudah sore, tetapi aku masih berada di tubuh bayi yang bernama Yaya. Dari pagi pekerjaanku hanya minum susu, tidur, poop, dan menangis. Tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Awalnya menyenangkan memang, aku tak perlu menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju sendiri, makan sendiri, atau bahkan mandi sendiri. Ya, di umurku, ah maksudnya di umur Yaya yang masih lima bulan ini, Yaya belum bisa melakukan semua itu.
Ini memang kehidupan yang aku impikan. Hanya tidur, dan tak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi, jika terus-terusan begini, aku jadi bosan. Tubuhku terasa kaku, dan punggungku sakit karena terus berbaring tanpa ada yang mau menggendong. Di gendong pun, hanya ketika aku menangis.
“Assalamualaikum cantiknya Papa.” Eh, ini siapa?
Tubuhku digendong olenya, dan pria ini mencium hampir seluruh wajahku.
“Gimana sama hari ini? Papa denger dari Mama, hari ini Adek jarang nangis, ya? Pintar ....” Pria itu mengelus pipiku dengan telunjuknya. Oh, jadi dia Papaku.
Pria ini masih terlihat seperti anak muda. Padahal sudah mempunyai anak dua. Eh, benar dua, kan? Al dan aku.
“Karena hari ini Adek pintar, besok Papa ajak jalan-jalan ke taman, ya?”
Wah, jalan-jalan!? Asyik, udah lama aku enggak jalan-jalan, apalagi ke taman. Aku terlalu sibuk belajar.
Sebagai respon, aku tertawa memperlihatkan gusiku yang belum ditumbuhi gigi. Ya, mau bagaimana lagi, mau jawab ‘iya, Pa’ aku belum bisa mengucapkannya.
“Wah, Adek ketawa, senang ya besok mau di ajak jalan-jalan sama Papa?”
“Adek mau jalan-jalan?” Al muncul dari balik pintu, sepertinya dia baru selesai mandi, tapi gak tau, sih. “Al boleh ikut gak, Pa?”
“Coba kamu tanyakan ke Adek, boleh ikut apa enggak.” Papa duduk di ranjang yang ada di kamar, gak tau ini kamar siapa, tapi dari tadi aku tidur di boks bayi yang ada di sini.
Al duduk di samping Papa. “Mas boleh ikut jalan-jalan gak, Dek?”
Em ... boleh gak, ya? Bolehin aja deh, takutnya Al nangis kalo gak dibolehin. Akupun mengangguk sebagai respon.
“Wah, Adek baik banget, Mas jadi tambah sayang, deh.” Entah sudah berapa kali aku di cium hari ini.
Ya, aku tau, cium itu sebagai tanda sayang, tapi gak sesering ini, kan?
“Sayang banget sama Dek Yaya, mwah!”
Iyuh!
“Pa, Al pengin gendong Adek,” pinta si Al.
Aku rasa, Al ini tipe Abang yang sayang sama Adeknya, deh. Sama kaya kasih sayang Bang Zen ke aku. Besar banget, bedanya kalau Bang Zen suka menyuruhku.
Bicara soal Bang Zen, aku jadi kangen sama dia. Apa dia baik-baik aja ya, waktu denger aku kecelakaan? Pasti berita aku kecelakaan sudah sampai ke telinga Bang Zen, karena lokasinya tak jauh dari rumahku.
Ibu ayahku bagaimana, ya? Pasti mereka sedih.
“Dek Yaya mikir apa, kok sampai melamun gitu?”
Ah, saking seriusnya mikirin Bang Zen, tak sadar aku sudah berada di depan TV dan sudah tak berada di gendongan Papa lagi.
“Adek lapar? Mau mam martabak?” Al menggesekkan hidung mancungnya pada hidungku yang mungil. “Belum boleh ya, tunggu Adek besar dulu.”
Al menjauhkan wajahnya lalu mengernyit, “Kok Adek nggak ketawa? Biasanya kalau Mas gituin langsung ketawa, loh.”
“Adek udah bosen sama kamu itu, mau di gendong Mas El.”
Seorang laki-laki keluar dari kamar. Wajahnya mirip dengan Al, bedanya yang ini sedikit gemuk. Kulitnya juga lebih cerah jika dibandingkan dengan Al.
Apa Al kembar?
Cowok yang menyebut dirinya El itu mengambil tubuhku dari gendongan Al. “Dek Yaya gak kangen Mas El? Mas baru pulang dari lomba, loh.”
Oh. Gak tanya, sih.
Jadi Al dan El itu kembar, dong? Berarti keluarga ini punya tiga anak?
“Dek Yaya udah enggak kenal kamu itu. Lagian kamu pergi lama banget,” ucap Al.
“Ih, sok tau kamu. Dek Yaya gak mungkin lupain Masnya yang pinter ini.” Lagi dan lagi wajahku di cium oleh orang yang gak aku kenal.
Oh, ayolah. Se comel apa si wajahku ini, sampai orang-orang sering menciumiku? Jadi pengin ngaca.
“Ck! Iyalah yang paling pinter, yang paling ikut lomba.Aku mah apa atuh, cuma krikil yang beruntung punya kembaran berlian,” ujar Al merendah.
“Krikil kok bisa ikut turnamen voli sampai tingkat nasional?” tanya El.
“MAS EL!”
Plak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Naomi Jadi Bayi [END]
RandomCerita ini tidak sengaja saya tulis ketika ada tugas membuat cerpen. Sebelumnya, saya tidak berniat untuk melanjutkan cerita ini. Cerita ini sudah selesai. Tetapi, setelah teman-teman membaca, serta memberi kritik dan saran, mereka meminta untuk ada...