Sedang asyik-asyiknya mencuci, Al di kejutkan dengan suara Mama yang berteriak meminta tolong. Langsung saja Al mencuci tangannya dan berjalan cepat menuju kamar Mama. Ia khawatir terjadi sesuatu sama Yaya, karena terkahir Mama mengatakan akan mengecek kondisi Yaya.
“Kita ke rumah sakit sekarang!” Papa dengan panik langsung menyambar kunci mobil yang tergantung di belakang pintu dan memakai sandalnya.
“Kenapa? Yaya kenapa, Pa?” tanya Al yang jadi ikut panik.
“Nanti Papa kasih tau. Kalian bertiga jaga rumah, Papa sama Mama ke rumah sakit dulu.” Papa menutup pintu dan menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.
“Yaya kenapa, El?” tanya Al pada kembarannya.
El menggelengkan kepalanya sebanyak dua kali, “Tadi Mama masuk kamar, gak lama Mama teriak, katanya napas Yaya gak ada.”
“Hah? Napasnya gak ada? Yaya ...,”
“Mati.” Dengan santainya Cia berujar tanpa tau kepanikan dari dua kakaknya.
“Cia!” tegur Al dan El bersamaan.
Cia mengulum jarinya yang di penuhi nasi. “Loh, benarkan? Yang namanya gak bernapas, pasti mati.”
“Cia mulutnya!”
Cia menutup mulutnya dengan elegan, “Astaghfurullah halazim.”
“Ini beneran Yaya ... kita susul mereka sekarang!” Al segera bersiap, begitupun dengan El.
“Tungguin Cia, Mas!” Cia beranjak dari duduknya dan langsung mencuci tangannya menggunakan sabun.
Piring di meja belum dibereskan, tiga keturunan Adiwijaya itu terlalu panik sehingga melupakan satu hal yang wajib mereka kerjakan.
Al yang sudah selesai berkemas, merasa risih melihat piring yang berceceran di meja. “Itu piring kenapa belum di cuci?” Al segera membereskan piring-piring itu, sedangkan untuk makanan sisa, ia simpan di etalase khusus penyimpanan makanan.
“El, Cia, bantuin cuci piring!” teriak Al berharap dua saudaranya mau membantu.
Tak lama El menyahut, “Iya!”
“Cia mana, El?” tanya Al yang melihat El datang seorang diri.
“Masih di kamar, lagi siap-siap maybe.” El lalu membantu membilas piring yang sudah di beri sabun.
Hingga mereka selesai mencuci piring, Cia belum juga keluar dari kamarnya. Tak bisa menunggu lebih lama lagi, Al meminta kembarannya untuk menyalakan motor, dan dirinya memanggil Cia.
Tok, tok, tok!
“Cia mah ikut ke rumah sakit, gak?” tanya Al dari depan kamar Cia.
“Ikut Mas, tunggu, ya!”
“Cepetan, Mas udah siap ini!”
Brum! Brum!
Suara mesin motor menyala, itu artinya El di luar sudah siap.
“Ayo Cia, Mas khawatir sama Yaya,” kata Al lagi, meminta Cia untuk bergerak lebih cepat.
“Sabar Mas, lagi milih baju ini!”
Astaghfirullah halazim.
“Cia, Mas masuk, ya!” tanpa menunggu jawaban Cia, Al masuk ke kamar adik perempuannya.
Ternyata Cia masih memakai baju yang sama saat makan malam, dan Cia sedang berdiri di depan lemari, dengan jari telunjuk yang berada di dagu, seolah lagi berpikir keras.
“Kenapa belum siap-siap, Cia? Mas dari tadi buru-buru loh, sampai sempetin buat cuci piring, tapi kamu malah belum ganti baju.” Al berjalan menghampiri Cia, hendak membantu adiknya memilih baju.
“Ya, kan milih baju itu lama Mas, enggak langsung ambil lalu pakai,” jawab Cia membela diri.
Al mengambil salah satu jaket yang di gantung, “Kamu pakai ini aja.”
CIA mengamati jaket itu, kemudian menggeleng, “Gak ah, itu gak cocok sama Cia.”
Al menghela napasnya, “Yang penting pakai baju Cia. Atau kamu mau pakai baju itu, gak usah ganti baju?”
“No! Cia mau pakai baju yang lain.”
“Ayo buruan, lama banget, lagi ngapain sih, kalian?” El datang karena sudah tak sabar menunggu dua saudaranya.
“Ini Cia lagi milih baju,” jawab Al.
El beralih menatap Cia. Tanpa pikir panjang, El langsung melepas sweater yang ia kenakan, dan memakaikannya di badan Cia. Menyisakan kaos putih dan celana hitam selutut yang di pakainya.
“Mas!” Cia tak sempat menentang tindakan El, tapi tak sempat karena El dengan cepat menggendong tubuh Cia dan membawanya keluar.
“Kunci pintunya, Al.” El mendudukkan Cia di atas motornya.
Setelah semua beres, Al lalu mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi. Posisinya Al yang memegang kendali motor, Cia di tengah, dan terakhir ada El yang menjaga Cia agar tidak terjatuh.
“Mas ....” Cia menahan dirinya agar tidak mengeluarkan isi perutnya di atas motor.
“Mas ...,” ucap Cia lagi saat tak mendapat respon dari kedua kakaknya.
Cia lalu menggoyang-goyangkan lengan El, “Mas ....”
El menunduk menatap Cia yang wajahnya sudah pucat, “Kenapa? Dingin, ya?”
Cia menggeleng, “Pengin mun–”
Belum sempat Cia menyelesaikan ucapannya, ia sudah keburu memuntahkan isi perutnya. Kotoran itu mengenai baju ketiganya. Terutama celana hitam milik El. Merasakan punggungnya basah, Al langsung menepikan motornya.
“Turun dulu, Cia.” Al menggendong Cia dan menurunkannya dari motor.
Cia memuntahkan isi perutnya lagi. Dengan sabar, El memijat tengkuk leher Cia, “Keluarin semua, Dek.”
“Lemes, Mas.” Cia menyeka bibirnya.
“Kalian tunggu di sini, Mas ke minimarket sebentar beli minum.” Al kembali mengendarai motornya.
Cia menatap kepergian Al, “Mas Al marah sama Cia ya, Mas?"
“Marah kenapa? Itu Mas Al lagi beli minum buat Cia loh, kok marah, sih?”
Cia kembali jongkok, bersiap untuk mengeluarkan isi perutnya lagi.
Setelah beberapa menit menunggu, Al datang dengan membawa kresek yang berisi dua botol air mineral, tisu basah dan juga tisu kering. Al langsung berinisiatif membersihkan kotoran yang masih menempel di baju Cia.
“Masuk angin, ya? Minum dulu, Dek.” Al membuka satu botol air mineral dan memberikannya pada Cia.
Cia menerima dan meminumnya hingga habis setengah botol. “Mas Al bawa motornya ngebut sih, perut Cia kan masih penuh, jadi keluar semua, kan?”
“Iya, maaf, ya ....” Al membersihkan noda yang menempel di bajunya.
El juga membersihkan noda yang di celananya sekaligus pada motor yang terkena muntahan Cia.
“Setelah ini mau lanjut ke rumah sakit?” El mengumpulkan tisu bekas dan di masukan ke dalam kantong keresek.
“Pulang aja, besok pagi bisa ke rumah sakitnya. Atau Cia mau minum teh anget dulu?” tanya Al menatap Cia.
Cia menggeleng, masih lemas rasanya. Ia juga merasa bersalah karena merepotkan kedua kakaknya. Untung mereka gak marah.
“Setelah ini mandi pakai air anget ya, biar nanti Mas yang rebus airnya,” ucap Al kemudian menyuruh kedua saudaranya untuk naik motor.
Baju Cia memang terkena muntahan, jadi seluruh tubuh anak itu harus di bersihkan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naomi Jadi Bayi [END]
RandomCerita ini tidak sengaja saya tulis ketika ada tugas membuat cerpen. Sebelumnya, saya tidak berniat untuk melanjutkan cerita ini. Cerita ini sudah selesai. Tetapi, setelah teman-teman membaca, serta memberi kritik dan saran, mereka meminta untuk ada...