04. Piring Kotor

1K 68 2
                                    

"Alicia Aileen Adiwijaya!"

Cia menghentikan langkahnya saat Papa menyebut namanya dengan lengkap. Ia masih menatap sengit pada adik bungsunya itu.

"Masuk kamar, cuci tangan, cuci kaki lalu tidur," ucap Papa menatap Cia tajam.

"Pa ...," Al hendak mengingatkan Papanya, saat ini waktu Maghrib, tidak baik untuk tidur.

"No, Al, biar Cia mikir sendiri kesalahan yang telah di perbuat," ucap Papa tanpa mengindahkan ucapan Al.

"Tapi, Pa," El juga ikut-ikutan.

"Kalian berdua mau bela adik kalian? Adik kalian itu salah, gak usah di bela segitunya, biar dia tanggung jawab dengan apa yang telah dilakukan," jawab Papa yang belum sadar dengan waktu saat ini.

"Pa," Cia hendak mengucapkan sesuatu tapi langsung di potong oleh Papa.

"Belajar tanggung jawab, Cia ...."

Allahuakbar ... Allahuakbar ....

Allahuakbar ... Allahuakbar ....

"Maghrib Pa, waktu sholat, bukan tidur." Mama lalu membawa Yaya ke kamarnya.

Bibir si kembar berkedut geli, menahan tawa melihat sikap Papanya itu.

"Sholat kalian, Papa ke kamar dulu." Papa bergegas mengikuti Mama, ia sedikit menutupi wajahnya yang memerah.

"Mas ...," Cia menatap kedua kakaknya, takut mereka masih marah.

"Mandi, lalu sholat Cia, Mas masuk dulu," jawab Al lalu masuk ke kamar, diikuti oleh El yang masuk ke kamarnya juga.

Cia menatap pintu kamar kakaknya, "Kenapa jadi musuhin Cia semua, sih?!"

***

Tok, tok, tok!

"Makan dulu, Cia." Mama mengetuk pintu kamar Cia.

"Iya, Ma." Cia membuka pintu kamar dan mengikuti Mamanya ke ruang makan.

Malam ini meja makan terasa berbeda dari biasanya. Tidak ada Yaya, Cia senang rasanya.

"Dek Yaya mana, Ma?"

Baru saja Cia merasa senang, tapi malah Al menanyakan si bungsu Adiwijaya.

"Lagi tidur di kamar," jawab Mama.

"Di boks?" tanya El.

"Bukan, di kasur, tapi udah Mama bentengi pakai bantal," jawab Mama lalu memberikan piring berisi nasi kepada suaminya.

Makan malam kali ini terasa lebih sunyi, tidak ada suara Cia yang biasa mengoceh bak burung beo tentang kegiatannya di sekolah tadi.

"Tumben diem, biasanya nyerocos terus," ucap El yang menyadari keterdiaman Cia.

"Makan gak boleh sambil ngomong," jawab Cia.

"Lah itu kamu ngomong," ucap Al ikut nimbrung.

"Kan Cia cuma jawab pertanyaan Mas El," jawab Cia lagi.

"Terus apa namanya kalo bukan ngomong?" tanya Al.

Cia diam, enggan menjawab pertanyaan dari kakaknya.

"Cia mau berangkat ke rumah Nenek kapan?" tanya Papa di sela-sela Cia menikmati makan malamnya.

Sebenarnya mereka sudah melupakan kejadian tadi. Segampang itu? Selama Yaya tidak apa apa, it's okay. Lagi pula mereka juga tak tega terus-terusan mendiami Cia.

"Cia gak mau ke rumah Nenek, Cia mau di sini aja." Jawab Cia sembari menyuapkan nasi ke mulutnya.

El yang kebetulan duduk di samping Cia itu menyenggol lengan adiknya pelan, "Ah, yang bener ...."

Cia mengangguk, "Bener."

"Padahal di desa enak loh, udaranya masih seger," ucap El.

"Habiskan makanan kalian, baru lanjut ngobrol." Mama berdiri dari duduknya, dan membereskan piring kotor di meja.

Al yang juga sudah menghabiskan makanannya juga ikut membantu Mama. Ia berdiri dan membawa piring dan gelas kotor punyanya ke wastafel untuk di cuci.

Dari sudut matanya Al bisa melihat Mama yang membawa piring kotor. Ia pun segera cepat-cepat mencuci piringnya agar tidak di beri piring kotor lagi sama Mama. Masalahnya satu dua piring it's okay, lah kadang se panci-pancinya Mama titipin.

Kata Mama gini, "Nitip dikit, Al."

Tapi barang yang di titipin segudang. Yang dimaksud dikit itu segudang.

"Al."

Deg, deg, deg!

Jantung Al berdetak lebih cepat karena takut di titipi cucian kotor lebih banyak. Sebenernya bukan ke takut, tapi lebih ke malas.

"Nitip ya, kalo kerepotan bisa minta tolong El. Mama mau ke kamar dulu, mau liat Yaya udah bangun apa belum." Mama meletakkan piring kotor yang tadi di dekat Al, kemudian berlalu.

Al bernapas lega, setidaknya malam ini ia tidak mencuci panci dan teman-temannya yang mempunyai noda membandel itu.

"Sekalian kuali sama barang-barang yang kotor ya Al, tolong ...," ucap Mama sebelum dirinya menghilangkan karena tikungan dapur.

"Huft ... gak papa Al, itung-itung ibadah bantuin Mama."

Walau dengan mengeluh, Al tetap mencuci dengan tersenyum. Al selalu ingat kata-kata yang entah ia dapatkan darimana. Kurang lebih bunyinya seperti ini:

Barang siapa yang melakukan sesuatu dengan ikhlas dan penuh senyum, niscaya Allah akan mempermudah pintu rezekinya.

Aamiin

Naomi Jadi Bayi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang