"CIA!"
"DEK!"
Secara bersamaan dua remaja itu melotot dan menatap tak percaya pada anak perempuan yang tiba-tiba datang langsung memukul wajahku.
Mungkin jika aku masih berada di tubuh Naomi, pukulan ini tidak akan terasa. Tapi, ini aku berada di tubuh Yaya, tubuh bayi yang baru bisa tengkurap. Wajar apabila nangis saat di pukul wajahnya.
Anak perempuan berkuncir dua itu menatap garang padaku, seolah-olah sedang mengibarkan bendera perang. Entah dia siapa akupun tak tau.
"Mas El gak boleh gendong Yaya, ih!" Cia menarik-narik tangan El yang sedang menggendong tubuhku.
"Dek, jangan ditarik, nanti Dek Yaya jatuh!" El memegang tubuhku dengan kencang agar aku tak jatuh dari gendongannya.
"Mas El gak boleh gendong Yaya!" Cia hampir menangis.
"Mas El, Mas Al, Mama sama Papa cuma punya Cia! Buang aja Yaya!" ucap Cia yang mulai menangis.
Tak lama Mama datang. Terlihat dari pakaiannya, sepertinya baru menjemput Cia pulang sekolah.
Melihat aku menangis, Mama langsung mengambil tubuhku dari gendongan El. Tangis Cia semakin kencang melihat Mama menggendong tubuhku.
"TUH KAN! GARA-GARA ADA YAYA, CIA JADI GAK DI SAYANG LAGI! CIA JADI DI BUANG!" Cia membanting tasnya kemudian masuk ke kamar.
"Dek."
"Gak usah di kejar Al, biarkan Cia sendiri dulu," ucap Mama yang melihat Al akan mengejar Cia.
"Tapi, Ma ...."
Mama menggeleng, "Biar nanti Mama yang bicara sama Cia."
Tak lama kemudian muncul Papa dari dapur membawa secangkir kopi. "Loh, itu kenapa Dek Yaya nangis?"
"Di pukul sama Cia, Pa," jawab Al.
Papa yang sedang meletakkan cangkir nya di meja itu terkejut, "Cia? Cia sudah pulang?"
"Kalo belum nggak mungkin Mama ada di sini, Pa," jawab El.
Mama masih menenangkan aku yang masih menangis. Namanya juga bayi, harus di timang-timang dulu agar tangisnya reda.
"Papa gak ada niatan samperin Cia?" tanya Al yang melihat Papa duduk di sampingnya.
"Nanti juga sembuh sendiri ngambeknya," jawab Papa.
"CIA BENCI YAYA!!!"
"GARA-GARA YAYA, CIA JADI TERSINGKIRKAN! CIA BENCI! CIA BENCIII!!!"
Semua orang yang mendengar itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Ya ampun anak itu kalo ngambek, semua barang di kamar pasti dibuat berantakan." Mama menggelengkan kepalanya, lalu duduk di samping Papa karena aku sudah berhenti menangis.
"Sampe merah gitu, sakit ya, Dek?" Papa mengelus pipiku yang merah bekas pukulan Cia.
Al dan El berjalan ke arah Mama, kemudian duduk di lantai. Menyamakan tingginya dengan kaki mama, seperti mau sungkeman.
"Kasian banget cantiknya Mas Al." Al mengusap pelan pipi Adeknya yang merah.
"Sini Mas El cium, mwah!"
"KENAPA YAYA HARUS LAHIR, SIH?!"
"CIA JADI GAK DI SAYANG, 'KAN?!"
"CIA TERBUANG!"
Cia masih saja mengamuk di kamarnya. Sepertinya Cia masih TK, tapi cara dia ngamuk itu persis remaja ABG yang baru putus cinta. Semua barang yang ada di dekatnya pasti di banting.
"Kayaknya Cia belum bisa menerima kehadiran Dek Yaya." Al menatap pintu kamar Cia yang tertutup.
El mengangguk, setuju dengan ucapan kembarannya, "Iya, masih iri kalo kita gendong Dek Yaya."
"Ya, namanya juga anak kecil. Kalian dulu juga gitu, selalu iri pas liat Mama sama Papa gendong Cia." Jawab Mama yang teringat dengan kembar kecil.
"Tapi gak sampai ngamuk-ngamuk kaya gitu Ma, palingan kita mogok makan," ucap El.
Al mengangguk, "Betul, betul, betul."
Cklek!
Akhirnya pintu kamar Cia terbuka. Nampak Cia masih memakai seragam yang sudah berantakan, kuncirnya juga sudah tak serapi tadi. Wajahnya merah karena menangis terlalu lama.
Tas hitam yang kelihatan gemuk itu menjadi pusat perhatian mereka.
"Dek," ucap Al memanggil.
Brak!
Cia menutup pintu kamarnya dengan keras. Ia berjalan keluar, melewati keluarganya dengan membawa tas hitam yang di seret.
"Mau ke mana, Neng?" tanya El.
Cia mengusap ingusnya dengan kasar, "Pergi!"
"Ke mana? Udah sore begini, bentar lagi Maghrib tuh, banyak setan yang mau mangsa anak kecil," jawab Al menakut-nakuti.
Sudah biasa memang, setelah marah pasti Cia akan memasukkan boneka dan beberapa bajunya ke dalam tas khusus.
Ia mengatakan akan pergi, keluar dari rumah. Tapi nanti jika lapar dia balik lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naomi Jadi Bayi [END]
RandomCerita ini tidak sengaja saya tulis ketika ada tugas membuat cerpen. Sebelumnya, saya tidak berniat untuk melanjutkan cerita ini. Cerita ini sudah selesai. Tetapi, setelah teman-teman membaca, serta memberi kritik dan saran, mereka meminta untuk ada...