Bab 1 - Sebuah Kunci yang Patah

77 10 1
                                    

Kata orang, saat paling melegakan dalam sebuah proses pernikahan adalah sesaat setelah ijab kabul. Pengantin pria akan bernapas lega, bahkan ada yang sampai menangis karena terlalu terharu. Kata orang, duduk bersanding di pelaminan adalah hal terindah setelah pengesahan akad nikah. Kedua mempelai akan merasakan senangnya menjadi raja dan ratu sehari karena segala sesuatu akan dilayani. Kata orang, yang paling ditunggu setelah semua urutan acara selesai adalah malam pertama. Dua sejoli akan saling menyatukan hasrat yang tak lagi hina terlarang.

Sayang sekali, Damar Langit tidak mendapati kebenaran dari semua kata-kata orang itu. Sejak pagi tadi sampai jelang malam, yang Damar rasakan hanyalah gelisah. Lelaki itu lebih memilih menyingkir dari riuh ramai orang-orang untuk duduk ditemani asap mengepul dari sebatang rokok kretek tanpa filter miliknya.

Hari ini adalah hari pernikahan Damar Langit dan Kania Wedari. Rumah mendiang Adjie Gumilar bahkan sudah dipenuhi sanak keluarga dan kerabat sejak tujuh hari kemarin. Damar dan Kania telah menjalani seluruh tahapan persiapan yang dipenuhi doa-doa selamat agar pernikahan yang dijalani akan akur sampai hari tua. Doa-doa itu juga yang mungkin membuat Damar tak salah menyebut nama Larasati ketika ijab kabul tadi.

“Mas Damar ada di sini ternyata.” Sebuah suara merdu yang terdengar menegur seketika membuyarkan lamunan Damar Langit. “Aku sudah cari ke mana-mana barusan.”

Kania Wedari tampil lebih cantik dari biasanya seharian ini. Rambutnya digelung dengan hiasan ronce melati. Keningnya terlukis paes hitam yang simetris. Pinggangnya yang ramping terbalut kain batik cokelat tua bermotif sido mukti. Indah, tapi lebih indah jika Larasati yang berdiri di sana menggantikan Kania. Damar Langit pasti akan memandangnya penuh cinta.

“Aku ingin merokok sebentar.” Damar menjatuhkan batang rokoknya yang baru separuh terbakar, menginjaknya dengan ujung selop hitam beludru yang tertutup di bagian depan. “Ada apa?”

Damar tahu Kania kurang suka dengan intonasi bicaranya. Meski sejak pagi tadi status Kania Wedari sudah berubah dari adik angkat menjadi istrinya, Damar tidak merasa ada yang berubah di hatinya. Masih tetap Larasati pemilik sejati yang Damar tidak akan pernah bisa gantikan dengan yang lain. 

Entah apa yang mungkin ada di dalam hati Larasati saat ini. Damar sudah mematikan ponselnya sebelum tidur malam tadi. Kata maaf yang seharusnya ia ucapkan untuk Larasati, hanya berakhir sampai pangkal tenggorokan. Damar cuma sanggup menyampaikan rasa cinta, memberi semangat seperti biasa agar perempuan itu secepatnya menyelesaikan studi dan kembali ke Indonesia.

“Pakde Harjo mau berpamitan. Beliau sekeluarga langsung kembali ke Jogya malam ini juga.”

Damar bangkit dengan malas, membiarkan Kania berjalan lebih dulu di depan sambil menarik tangannya. Sama malasnya seperti dulu saat Kania kecil menarik tangan Damar untuk menunjukkan rumah-rumah bonekanya yang sudah ditata rapi. Namun, juga sama seperti dulu. Damar akan mencoba tetap menuruti, meskipun apa yang Kania tunjukkan sama sekali tidak menarik perhatiannya.

Dulu, Damar patuh untuk mengambil hati Adjie Gumilar, lelaki yang berbaik hati mengangkatnya sebagai anak. Sekarang Adjie Gumilar sudah tiada. Damar merasa konyol mengapa masih harus terikat dengan hutang budi tolol seperti ini. 

“Jaga Kania baik-baik, ya, Le. Ingat pesannya Bapak.” Pakde Harjo mengucapkan kalimat itu dengan suara nyaring. Sampai Damar yakin orang-orang yang sedang bercakap-cakap di dekat panggung musik pun bisa mendengarnya dengan jelas.

Adjie Gumilar wafat dua bulan lalu setelah kalah berperang dengan kanker getah bening yang dideritanya. Orang tua itu mengembuskan napas terakhir setelah dua belas jam sebelumnya berhasil membuat Damar Langit berjanji akan menikahi Kania Wedari. Damar mengangguk setuju disaksikan empat orang lain, termasuk istri dan anak semata wayang Adjie Gumilar. Anggukan yang enam puluh hari kemudian membuat Damar merasa menjadi orang paling bodoh sedunia. Mengapa mau saja berkorban dengan menyia-nyiakan masa depan percintaannya.

Sudah cukup lama Damar menimbang-nimbang bagaimana cara terbaik untuk memberi tahu Larasati. Damar masih berharap ada keajaiban yang terjadi agar ia tidak harus menikahi Kania. Damar bahkan sempat berharap Tuhan mengambil nyawanya sebelum ia sempat bangun pagi. Lebih baik ia tidak menikahi siapa pun jika bukan dengan Larasati.

Sialnya sampai detik sebelum ijab kabul, Damar juga tidak punya cukup alasan untuk membatalkan pernikahan itu. Seperti terhipnotis, Damar manut saat tuan kadi memandu semua tahap secara urut. Nama Kania sudah terlanjur tersebut. Atas hidup perempuan itu, Damar kini mengemban tanggung jawab sebesar Jabal Uhud.

“Mas Damar, aku sudah sangat letih dan ingin beristirahat,” rengek Kania dengan jemari masih memegangi lengan Damar. "Kakiku sudah tidak sanggup berjalan-jalan dan berdiri lama."

“Duluan saja. Masih banyak tamu dan kerabat di sini. Tidak sopan jika aku tinggalkan.” Damar menolak dengan halus. “Nanti aku menyusul.”

“Jangan terlalu malam. Aku tunggu di kamar.” Kania perlahan melepas pegangannya. Jemarinya masih tertaut sampai ujung jari terakhir Damar yang masih bisa ia sentuh saat perlahan menjauh.

Bahasa tubuh Kania adalah bahasa tubuh yang akan menjadi dambaan pengantin pria mana pun di malam pertamanya. Gerak bahunya, kerlingan matanya, Damar paham Kania mendambanya. Namun, tidak dengan Damar. Ia perlu menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting dari pada bercumbu dengan perawan. Karena mungkin ada perawan lain yang saat ini sedang menunggu resah mengapa kekasih hatinya tak juga menghubungi dirinya sejak semalam.

Damar menarik napas panjang sebelum menekan tombol menyala pada ponselnya. Cepat atau lambat Damar tetap harus menghadapi Larasati. Perempuan itu hanya seorang diri di belahan dunia asing. Andai dulu Larasati memilih batal pergi dan mau segera Damar nikahi, bencana ini tidak perlu terjadi. Mungkin sekarang Damar hanya perlu hadir di pernikahan Kania sebagai tamu, bersama Larasati dan anak-anak mereka. Bukan sebagai pengantin pria yang sedang berusaha menghindar dari tugas malam pertama.

Belasan notifikasi pesan masuk membuat ponsel yang baru saja Damar nyalakan tak berhenti bergetar. Lelaki itu memejamkan mata sebelum memberanikan diri membuka pesan teratas. Nama Larasati tertera beserta angka jumlah pesan yang belum terbaca di sampingnya. Sebuah foto yang dikirim paling akhir membuat lutut Damar lemas seketika.

[Aku sungguh berharap kamu punya saudara kembar, Damar. Sehingga hatiku tidak perlu menduga bahwa laki-laki yang duduk di pelaminan itu adalah benar Damar Langit kekasihku.]

Damar tahu bahwa saat itu juga ia baru saja mematahkan sebuah kunci hati yang Larasati titipkan padanya selama ini. Yang Damar harus lakukan segera adalah menempa cadangannya, meski pasti tidak akan sama dengan aslinya. Larasati tidak akan pernah memandangnya lagi sebagai seorang Damar Langit kekasih tercinta.

Satu Kunci Tiga HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang