Di antara beberapa mata kuliah yang Larasati ambil pada semester ini, kelas Business Analysis and Decison Making adalah salah satu favoritnya. Kelas yang hanya berlangsung satu kali dalam seminggu ini selalu ditunggu oleh Larasati. Ia sengaja tidak tidur larut malam agar esok harinya cukup segar untuk hadir di kelas itu.
Prof. Thomas Clarke mengajar dengan sangat baik. Sebagai praktisi bisnis di sebuah perusahaan jasa keuangan, dosen tua itu lebih sering mengupas kasus nyata yang beliau langsung hadapi dibandingkan membahas materi dari buku. Cara menyampaikan isi kuliah juga santai dan tak terkesan menggurui. Tidak seperti beberapa dosen muda yang kadang sulit diajak berdiskusi.
Larasati selalu mematikan ponsel saat mengikuti kelas Prof. Clarke. Ia tidak ingin konsentrasinya teralihkan oleh pesan-pesan masuk yang terkadang isinya tidak penting. Tak seperti yang lain, Larasati juga lebih suka mencatat isi materi pada buku tulisnya. Cara itu ia lakukan sejak awal berkuliah hingga sekarang. Saat tiba di apartemen nanti, Larasati akan memindahkan tulisan tangannya dalam bentuk ketikan sembari dibaca ulang.
“That’s all for today. See you next week, Everyone.” (Sekian untuk hari ini. Sampai berjumpa kembali minggu depan.)
Seisi kelas langsung menutup laptop dan bergegas keluar saat slide terakhir dari materi yang dibawakan Prof. Clarke selesai dibahas. Hanya sedikit mahasiswa yang masih berada di ruangan. Termasuk Larasati yang masih sibuk membereskan buku tulis, pena, dan barang lainnya. Ponsel yang sejak tadi mati, ia nyalakan dan menyisihkannya di pinggir meja.
Semua benda sudah Larasati simpan ke dalam ranselnya saat Cora, teman sekelasnya, mengingatkan bahwa ponselnya masih terletak di meja. Ia baru teringat untuk memeriksa pesan masuk. Sejak berjauhan, kekasihnya menjadi sangat posesif dan pencemburu. Tak jarang Damar sampai merajuk jika Larasati terlambat membalas pesan.
Larasati masih ingat bagaimana sedihnya Damar saat ia mengabari bahwa proposal beasiswanya disetujui. Lelaki itu menentang Larasati untuk berangkat ke Inggris. Damar sudah melamarnya saat mereka lulus kuliah, tetapi Larasati meminta waktu. Ia berharap Damar mau menunggu hingga gelar magisternya dapat diraih. Larasati berjanji akan bersungguh-sungguh agar ia bisa cepat pulang untuk segera menikah.
Setahun sudah sejak mereka berpisah jarak. Larasati memahami kegundahan Damar. Perbedaan waktu juga menjadi penghambat komunikasi. Damar sering mengeluh karena tak dapat berbincang dengan Larasati sebebas ia mau seperti dulu.
Dulu, tiada hari yang Damar lalui tanpa bersama Larasati. Latar belakang keluarga yang hampir sama yang membuat keduanya akrab. Baik Damar maupun Larasati sama-sama tidak punya ibu dan ayah. Damar beruntung keluarga Gumilar mengadopsinya. Larasati bersyukur masih memiliki nenek yang dengan setulus hati mengurusnya. Namun, tetap saja akan berbeda. Ada rasa tak puas yang membuat hati ingin terus mencari sosok orang tua yang tak pernah dikenali.
Damar cinta pertama Larasati. Mereka bertemu di hari pertama ketika sama-sama menjadi murid baru di sekolah menengah lanjutan. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pemuda yang membantunya memunguti wadah bekal sarapannya yang isinya turut berserakan ketika dua orang siswa tak sengaja menabrak saat berkejaran. Kala itu Larasati menggeleng dengan sopan saat Damar menawarkan membelikannya makanan di kantin sekolah untuk mengganti bekal sarapannya yang jatuh. Namun, Larasati tak kuasa menolak ketika Damar memberikan sebungkus roti cokelat di waktu istirahat pertama. Roti itulah yang menahan rasa lapar Larasati sampai bel pulang berbunyi.
Saat enam bulan setelahnya Damar menyatakan cinta, Larasati tidak mengatakan apa-apa. Ia bingung harus bersikap bagaimana. Damar Langit, meski berstatus anak adopsi, tetapi secara strata sosial ia jauh di atas keluarga Larasati yang hanya sebagai penjual bahan makanan di pasar. Larasati selalu merasa tidak pantas berjalan di samping Damar, duduk di boncengan motor Damar, atau berbincang bersebelahan dengan pemuda itu di kantin sekolah. Larasati sampai berharap Damar melanjutkan kuliah di tempat yang jauh agar selepas lulus sekolah mereka tak perlu lagi bertemu.
“Shall we go now, Laras?” (Kita pergi sekarang, Laras?)
Larasati mengangguk saat Cora menanyakan kesiapannya untuk berangkat. Hari ini ia telah berjanji akan menemani Cora menghadiri wawancara kerja yang diadakan salah satu perusahaan waralaba. Cora juga sesama perantau seperti dirinya. Gadis berdarah Irlandia itu sudah menjadi sahabat Larasati sejak awal tiba di Bristol.
“One second, please, Cora.” (Tunggu sebentar, Cora.)
Larasati meminta Cora sedikit bersabar dan memberinya waktu membaca pesan. Ia tahu jika sudah berjalan dengan Cora, maka jarang ada kesempatan untuk bisa bermain dengan ponselnya. Cora gemar bercerita tentang apa saja. Larasati menyukainya. Apalagi jika yang diceritakan berkaitan tentang Irlandia kampung halaman Cora. Larasati selalu bermimpi akan sempat berkunjung ke sana sebelum kembali ke tanah air.
Satu per satu pesan yang masuk bergantian Larasati baca. Sebagian besar hanya pesan-pesan dalam group pertemanan yang isinya sapaan harian. Larasati mencari nama Damar di antara deretan pesan itu. Terasa sedikit aneh karena pesan terakhir yang tampil adalah isi percakapan mereka kemarin. Biasanya, Damar akan mengirim pesan saat lelaki itu bangun di waktu subuh.Larasati akan langsung membalas jika ia sedang tidur larut mengerjakan tugas. Jika Larasati sudah lebih dulu terlelap, maka Damar akan mengirimkan tiga atau empat pesan lagi sampai Larasati menanggapi. Seperti itulah cara lelaki itu meredam rindunya pada Larasati.
Dengan hati yang terbalut resah, Larasati memutuskan menyapa Damar lebih dulu untuk bertanya kabar hari ini. Larasati menyematkan kalimat-kalimat rindu yang biasanya menjadi porsi Damar. Lelaki itu selalu membuat Larasati merasa dirindukan sehingga terkadang lupa untuk balik merindu. Pesan itu hanya berstatus centang satu, menandakan kemungkinan ponsel Damar tidak aktif atau bisa jadi sinyal sedang buruk. Larasati mencoba berpikir baik, meski debar dadanya sedikit meninggi.
Lalu, debar dada itu semakin menggila saat sebuah pesan masuk tanpa nama mengirim dua buah foto yang seketika itu juga memancing kepanikan di kepala Larasati. Matanya pasti salah. Pasti bukan lelaki yang Larasati kenal yang tampak dalam foto itu.
Foto pertama memuat seorang pria yang sangat mirip dengan sang kekasih sedang berjabat tangan dengan laki-laki di depannya. Meski tidak diambil dalam sudut pandang yang lebar, semua yang melihat pun akan paham bahwa yang sedang foto itu tunjukkan adalah sebuah prosesi akad nikah. Latar belakang serba putih menggambarkan rupa bunga-bunga penghias pelaminan meski tampak samar-samar. Wajah pria muda yang memakai blangkon tersebut terlihat menunduk, sehingga Larasati ragu bahwa dugaannya benar. Namun, saat foto kedua terpampang jelas, Larasati merasa dunianya runtuh saat itu juga.
Jika memang Damar Langit terlahir kembar, maka Larasati masih bisa menduga baik bahwa bukan sang kekasih yang dalam foto itu sedang memasangkan cincin di jari manis Kania Wedari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Kunci Tiga Hati
RomanceHutang budinya pada keluarga Adjie Gumilar membuat Damar Langit tak kuasa menolak saat lelaki yang sudah ia anggap ayah itu memintanya untuk menikahi Kania Wedari, sang adik angkat. Damar Langit punya tambatan hatinya sendiri. Ia hanya tinggal menun...