Bab 5 - Perhatian Terselubung

18 7 0
                                    

Topeng senyum di wajah Damar Langit langsung ia tanggalkan begitu mobil yang ia kemudikan perlahan meninggalkan rumah keluarga Gumilar. Kota malang termasuk jauh. Kania sudah sedari awal membujuk agar Damar mau menunda agar berangkat esok pagi saja setelah subuh. Namun, Damar tidak tahan lagi harus bermanis muka, berpura-pura bergembira dengan pernikahannya.

“Siapa sebenarnya yang sejak tadi Mas Damar coba hubungi?” Kania Wedari berbicara setelah setengah jam sebelumnya perempuan itu hanya diam. “Apa tidak bisa menunggu nanti saja saat kita istirahat makan?”

“Aku sedang mencoba mengontak Dumaria, teman Larasati,” jawab Damar sedikit ketus.

“Mengapa tidak langsung saja? Apa ponsel Mbak Laras tidak aktif?”

Damar Langit hampir tak dapat menahan geram mendengar ucapan Kania. Gejolak emosinya ia salurkan pada pegangan kemudi yang semakin mengetat.

“Larasati memblokir kontakku.” Damar memilih memberitahu faktanya. “Seseorang tak dikenal mengirimkannya fotoku saat memasukkan cincin di jari kamu.”

Sedari awal Damar setuju untuk menikah dengan Kania, lelaki itu telah mewanti-wanti agar Kania tidak berusaha mengganggu Larasati dalam hal apa pun. Berstatus istri Damar Langit bukan berarti semerta-merta Kania dapat menghalanginya untuk tetap menjalin hubungan dengan Larasati. Kania hanya istri dalam status hukum, sementara Larasati adalah kekasih di dalam hati Damar yang paling dalam.

“Aku tidak mengirim foto apa pun pada Mba Laras.” Damar merasa Kania seolah tengah membela diri. “Juga tidak menyuruh siapa pun untuk memberitahu.”

“Aku tidak menuduhmu.” Damar mendengkus. “Ada banyak orang yang hadir pada akad nikah kemarin.”

Terlalu banyak malah. Tidak mungkin tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui bagaimana eratnya hubungan Damar Langit dengan Larasati selama ini. Pun tidak sedikit lelaki yang menyukai kekasihnya itu. Tentulah pernikahannya dengan Kania bisa dijadikan senjata untuk menghancurkan percintaannya dengan Larasati.

“Apakah Mbak Laras masih mau menerima setelah ia mengetahui sekarang ada aku sebagai istri Mas Damar?” Sepertinya penjelasan Damar sebelum mereka menikah, tidak cukup untuk membuat Kania tahu diri untuk bersikap. “Biasanya perempuan kalau sudah terluka akan susah sembuhnya.”

“Kamu tidak perlu mengajariku. Tidak juga perlu membuat kondisi bertambah rumit.” Damar membuka kaca mobil untuk menyalakan sebatang rokok. “Duduk diam saja di posisimu. Aku akan menjagamu sesuai permintaan Bapak.”

“Baik.”

“Satu lagi, jangan pernah berharap bisa bertukar tempat dengan Larasati.” Damar menegaskan.

“Baik.”

***

Entah sudah sejak kapan Kania Wedari tidur menyandar pada jendela mobil, Damar tidak ambil peduli. Lebih baik Kania tidur dari pada mulutnya mengeluarkan kalimat-kalimat yang membuat Damar semakin kesal. Damar hanya menarik tubuh Kania untuk tegak ketika kepala perempuan itu berkali-kali membentur sisi pintu saat melewati jalur aspal yang sedikit berlubang.

Kekesalan Damar menumpuk karena sepertinya Dumaria tidak menerima panggilannya. Rasanya Damar hampir gila menghadapi kenyataan bahwa Larasati tidak lagi bersedia berbicara dengannya. Selama ini, saat pesannya terlambat mendapat balasan saja, Damar sudah pasti akan uring-uringan seharian. Apalagi perempuan itu kini sudah memblokir Damar dari daftar kontaknya.

Badan dan jiwanya yang sama-sama letih membuat Damar menyerah untuk tetap menyetir. Sebenarnya pilihan Kania tepat untuk berangkat esok, tetapi Damar tidak mau mengambil resiko bahwa malam ini ia harus tidur dalam satu kamar bersama Kania. Damar sudah berhasil mengelak di malam pengantinnya.Tidak akan mungkin mengelak lagi jika yang pertama sudah langsung ketahuan oleh Kartini Gumilar, ibu mertuanya.

“Aku mau istrirahat sebentar.” Damar membangunkan Kania yang sebelumnya masih pulas. “Kamu mau tetap di mobil atau mau ikut turun untuk makan?”

“Mengapa berhenti di rest area, Mas? Mengapa tidak di penginapan saja supaya Mas Damar bisa istirahat dengan nyaman?” Kania terlihat kurang suka dengan pilihan Damar.

“Mau ikut turun atau tetap di mobil?” Damar sengaja tidak mengacuhkan saran Kania.

“Aku tidak suka harus masuk toilet umum.” Kania membenahi ikatan rambutnya sambil menggerutu.

“Kalau tetap di mobil, mesinnya akan aku biarkan menyala. ”Damar mulai beranjak turun.

“Ikut turun. Aku lapar.”

Rest area tidak seramai saat musim libur panjang dan libur lebaran. Tidak banyak mobil yang parkir. Kursi-kursi panjang tempat berbaring beberapa masih kosong. Damar bisa memanfaatkan waktu untuk tidur sebentar, sembari menghilangkan suasana hatinya yang campur aduk.

Segelas kopi panas dan semangkuk mie rebus telah terhidang saat Damar kembali dari toilet. Kopinya benar tanpa gula, dan mie rebusnya benar tanpa irisan daun bawang. Pasti Kania yang telah memesan untuknya. Perempuan itu sendiri sedang duduk memandang ke arah jalan dengan segelas teh di tangan.

“Terima kasih,” ucap Damar, yang dibalas anggukan dan senyuman oleh Kania. “Kamu tidak makan?”

“Aku pesan nasi sup dari kios sebelah. Nanti diantar,” sahut Kania sembari menyeruput pelan teh hangatnya.

“Sudah ke toilet?” tanya Damar. Ada sedikit rasa bersalah melepas seorang perempuan yang berstatus istri tengah malam begini tanpa ditemani.

“Sudah.”

Mie rebusnya Damar habiskan hanya dengan beberapa kali suapan. Hanya kopinya yang ia sesap sedikit-sedikit bergantian dengan rokok yang ia bakar. Damar memilih duduk menjauh saat asapnya yang mengepul terbawa angin ke wajah Kania.

Tidak ada notifikasi apa pun dalam ruang pesan. Damar mengantungi ponselnya kembali dan memilih berbaring di sebuah kursi panjang. Punggung dan kakinya terasa penat. Wajahnya ia tutupi dengan pangkal lengan sampai akhirnya kantuk datang.

Damar meringkuk saat merasa udara mulai dingin. Tangannya menarik-narik sesuatu untuk menutupi bagian depan tubuhnya. Kantuknya sirna ketika beberapa tetes air hujan mulai membasahi wajah. Tanpa menunggu ia bangkit dan segera berkemas.

Yang pertama ia cari adalah Kania. Sebenci apa pun Damar pada perempuan itu, Kania tetap tanggung jawabnya. Ia telah berjanji pada Adjie Gumilar untuk menjaga anak semata wayang lelaki itu seumur hidup.

Damar menghela napas lega saat mengetahui Kania sudah masuk ke dalam mobil. Lewat kaca depan yang jernih, Damar bisa melihat perempuan itu sudah kembali tidur di kursi penumpang bagian depan. Damar hanya perlu bertanya pada penjaga kios apakah pesanan mereka sudah dibayar.

“Sudah dibayar Ibu semuanya, Pak,” jelas sang penjaga. “Ibu juga titip untuk memberikan rokok ini pada Bapak.”

Sambil mengucapkan terima kasih, Damar menyimpan dua bungkus rokok dalam sakunya. Setelah kopi dan mie rebus, Kania sepertinya masih berusaha untuk merebut simpati dari Damar.

“Maaf, Pak. Selimutnya ketinggalan.” Sang penjaga menunjuk ke arah kursi panjang.

“Bukan selimut saya sepertinya.” Damar menoleh ke arah yang sama dengan ragu.

“Benar, kok, Pak. Tadi Ibu yang menyelimuti Bapak sebelum beliau masuk ke mobil.”

Damar melangkah kembali ke tempat tadinya ia berbaring. Selimut yang sempat jatuh ke bawah itu, Damar kutip kembali. Ia kibas beberapa kali, lalu dilipat untuk dibawa.

Selimut yang sama itu juga yang kemudian Damar sampirkan pada tubuh Kania sebelum ia melanjutkan berkendara.

 

 

Satu Kunci Tiga HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang