Suatu sore di hari kelulusannya dari sekolah menengah atas, Adjie Gumilar memanggil Damar Langit untuk datang menemuinya di pusat penggilingan kopi. Damar masih memakai seragam putihnya yang hari itu tampak warna-warni dipenuhi coretan. Ujung seragamnya sudah tak lagi melekat dalam garis tali pinggang. Rambut bagian depannya pun sudah berwarna sedikit hijau terkena semprotan cat.
Adjie Gumilar memanggil bukan untuk menegur atau memarahi Damar. Tidak ada sama sekali beliau menyinggung sedikit pun mengenai seragam Damar yang telah berubah warna. Adjie Gumilar membawa Damar berdiri di halaman depan pabrik untuk menunjukkan kepadanya apa yang mulai esok akan dialihkan padanya.
“Semua pabrik dan isinya akan menjadi tanggung jawabmu, Damar,” ucap Adjie Gumilar saat itu. “Mulai besok pagi kamu ikut Bapak ke mari.”
Pabrik penggilingan kopi milik Adjie Gumilar adalah usaha turun temurun dari kakek buyut mereka. Produk kopi yang dihasilkan sudah punya nama sejak puluhan tahun. Tidak banyak yang harus diurus sebenarnya, kecuali sengketa antar keluarga yang terkadang sering tumpang tindih di antara mereka.
Sejak pabrik itu dipegang Adjie Gumilar, sudah jarang terdengar terjadi sengkarut. Semua pihak mendapat bagian masing-masing. Hanya saja beberapa dari yang kurang senang, masih ingin mengambil alih, terutama karena generasi penerus Adjie hanyalah seorang anak perempuan.
“Damar ingin kuliah, Pak,” ucap Damar kala itu. “Damar ingin jadi sarjana.”
“Kamu tetap bisa kuliah, Damar. Tapi pabrik ini tetap menjadi tanggung jawabmu.” Adjie Gumilar menepuk bahu Damar. “Pabrik ini dan Ndari akan menjadi tanggung jawabmu saat Bapak sudah tidak ada.”
“Memangnya Bapak mau ke mana?” Dengan polosnya saat itu Damar bertanya.
Adjie Gumilar hanya tertawa sambil menepuk pundak Damar. “Semua yang hidup pasti akan mati, toh? Termasuk Bapak. Yang jelas pabrik ini harus terus berjalan. Itu yang harus kamu perjuangkan.”
***
'Pabrik ini dan Ndari akan menjadi tanggung jawabmu saat Bapak sudah tidak ada.'
Tak masalah Damar Langit dititipi pabrik dengan segala macam permasalahannya. Tak masalah pula ia dititipi Kania asalkan hubungan mereka hanya sebatas kakak-adik. Damar menyayangi Kania. Sejak dulu Damar selalu berpikir bahwa Kania dan dirinya terlahir dari rahim yang sama.
“Aku tidak akan pernah menceraikanmu.” Damar menyeruput kuah bakso dari mangkuk yang disediakan Kania. “Tapi aku tidak bisa belajar mencintaimu sebagai istri. Selamanya kamu tetap adikku.”
“Bagaimana pun kita sudah menikah, Mas.” Kania masih berusaha menjelaskan posisinya.
“Aku sudah terlanjur berjanji pada Bapak untuk menjagamu.” Damar berbicara tanpa menatap Kania. “Jangan takut, tidak akan ada perceraian sampai kamu sendiri yang menuntut cerai dariku.”
***
Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam saat Damar tersentak oleh suara petir. Ia tidak lagi sadar kapan turun hujan. Selepas menghabiskan semangkuk bakso jatahnya, Damar langsung pergi tidur. Meninggalkan Kania tanpa acuh perempuan itu akan mengerjakan apa.
Samar-samar Damar teringat lupa apakah ia sudah mengunci pintu sebelum mengurung diri di kamar. Separuh mengantuk ia berjalan keluar. Hujan dengan angin sekencang itu bisa saja menerjang pintu dan membasahi isi vila.
Pintu depan rupanya telah terkunci, begitu pula empat jendela yang mengelilingi vila. Damar hanya membuka ikatan gordennya dan menarik agar rapat. Ia baru saja hendak kembali ke kamarnya saat melihat gelungan selimut yang menempati sofa. Gelungan itu mengingatkan Damar pada sebuah sosok dalam selimut merah jambu di sebelah kamarnya.
“Ndari, kenapa malah tidur di sini?” Tangan Damar m*raba untuk menentukan di sebelah mana posisi kepala perempuan itu.
Gelungan selimut itu bergerak saat Damar menarik perlahan. Sebuah wajah yang tertutup helai rambut terlihat setelahnya. Kania bersembunyi di dalam, dengan mata tertutup dan dahi berkerut, dengan wajah yang sama ketakutannya dengan sosok dalam selimut merah jambu belasan tahun lalu dalam ingatan Damar.
“Petirnya besar.” Damar mendengar gumaman Kania. “Aku takut sendirian di kamar.”
Damar melengos pelan. Kania pasti hanya berpura-pura. Perempuan itu bahkan menumbalkan petir agar bisa tidur seranjang dengannya malam ini. Damar tidak akan terbujuk dengan akal-akalan murahan seperti itu. Dengan malas ia kembali ke kamarnya dan berbaring di sana.
Sepuluh menit kemudian Damar Langit sudah berada di luar kamar, berdiri merokok di dapur dengan sepasang matanya menatap gelungan selimut di sofa. Lima menit setelahnya lelaki itu sudah duduk di sofa tunggal, bersebelahan dengan sofa panjang yang menampung si gelungan selimut, berperang dengan isi kepalanya sendiri apakah ia tetap di sana atau kembali ke kamarnya. Dua menit kemudian ia memutuskan kembali ke kamar, dan kemudian keluar dengan sebuah selimut di tangannya.
Damar memiringkan posisi duduknya, merebahkan kepala pada pegangan sofa dan membiarkan kedua kakinya menjuntai. Setidaknya sofa tunggal itu cukup nyaman untuk tempatnya sekadar menyandarkan tubuh sampai pagi datang.
***
Pagi-pagi sekali Kartini Gumilar sudah menelepon Damar, padahal ia baru saja berniat pindah tempat dari sofa untuk melanjutkan tidur di kamarnya. Damar melayani pembicaraan sang ibu angkat dengan nada terlalu sopan. Sejak kecil memang hubungan mereka tidak pernah dekat layaknya ibu dan anak.
“Ibu ingin berbicara denganmu.” Damar Langit mengangsurkan ponselnya pada Kania yang sedang menggoreng telur di dapur. “Bicara saja, biar aku gantikan.”
Kania menatap ponsel Damar sebentar, kemudian menyerahkan spatula di tangannya tanpa mengatakan apa-apa. Telur dadar yang sedang menunggu matang, Damar angkat dari penggorengan. Ia suka telur yang tidak terlalu garing jika itu untuk diletakkan di antara helai roti. Jika Kania kurang suka, nanti perempuan itu bisa menggoreng sendiri.
“Aku sehat, Ibu.” Suara Kania terdengar. “Kami hanya di vila saja seharian kemarin. Cuma keluar sebentar untuk cari rokok buat Mas Damar dan ... beli Bakso Malang.”
Cara berbicara Kania yang berubah riang saat menyebut Bakso Malang membuat sedikit rasa bersalah merasuki hati Damar. Seolah-olah hal tersebut adalah hadiah terindah dari Damar untuk Kania di hari pertama bulan madu mereka.
“Vilanya enak.” Kania menjawab lagi, pasti sedang menyahut selidik ibunya. “Aku dan Mas Damar tidur dalam satu kamar, kok, Bu. Kami pindah ke vila yang bertingkat karena pemandangan dari kamar di lantai dua jauh lebih indah.”
Roti yang Damar sedang olesi seketika robek di bagian pinggir karena menteganya membeku. Tidak sabar, roti itu ia gulung begitu saja dengan telur dadar separuh matang tanpa mengisi saus di tengahnya.
“Hari ini belum tahu mau ke mana.” Kania melanjutkan. “Aku ikut Mas Damar saja.”
Gulungan roti isi telur itu sudah akan Damar masukkan ke mulut saat tiba-tiba selera makannya sirna hanya karena mendengar ucapan Kania setelahnya.
“Ibu minta dikirimkan foto-foto bulan madu kita.” Kania memberi tahu sambil mengembalikan ponsel Damar. “Meski Mas Damar tidak suka, aku mohon berpura-puralah berfoto mesra untuk menyenangkan Ibu.”
BERSAMBUNG
***
Hai, Pembaca Tersayang. Bab ini adalah bagian terakhir yang aku tayangkan di sini. Kelanjutannya bisa diikuti di KBM App, ya, akun RimaHutabarat. Di sana sudah tayang sampai Bab 31
Selamat membaca!
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Kunci Tiga Hati
RomanceHutang budinya pada keluarga Adjie Gumilar membuat Damar Langit tak kuasa menolak saat lelaki yang sudah ia anggap ayah itu memintanya untuk menikahi Kania Wedari, sang adik angkat. Damar Langit punya tambatan hatinya sendiri. Ia hanya tinggal menun...