Salju pertama di Bristol turun kemarin pagi. Seharian kemarin Larasati hanya duduk di samping jendela, mengamati butir-butir salju yang melekat di kaca jendela. Beberapa mahasiswa asing seperti dirinya tampak berlarian di samping taman dengan kepala menengadah. Berharap ada butir salju yang mendarat di wajah mereka. Ia juga dulu sekemaruk itu di tahun pertamanya tiba di sini.
Tahun lalu, Larasati bahkan sampai menghubungi Damar Langit lewat panggilan video. Tujuannya hanya untuk memamerkan butir salju di telapak tangannya. Larasati ingat, kala itu Damar menerima teleponnya saat sore hendak beranjak mandi. Damar yang saat itu sudah tidak berbaju, malah balas menggoda Larasati untuk datang membawa salju dan ikut pergi mandi bersamanya.
Meski Dumaria menahannya agar jangan dulu kembali ke apartemennya sendiri setelah kejadian kemarin, Larasati menolak dengan halus. Ia sudah terlalu banyak merepotkan gadis Batak itu. Larasati sudah merasa jauh lebih kuat. Kini saatnya merenung untuk menentukan langkah ke depan. Masa-masanya bersama Damar Langit sudah bukan lagi hal yang penting untuk dipikirkan.
Kata-kata Dumaria memang ada benarnya. Larasati harus bisa melepas Damar Langit tanpa ada ganjalan apa pun di hatinya. Dumaria mengabari bahwa Damar terus-menerus mencoba menghubunginya, mengemis kesempatan agar bisa diperbolehkan berbicara dengan Larasati.
Tidurnya yang tak bisa nyenyak membuat Larasati sebentar-sebentar tersentak. Meski berat, perempuan itu memaksa bangun untuk berwudhu. Salat malam mungkin akan membuat perasannya sedikit lebih ringan.
Larasati duduk merenung setelahnya, membuka sebuah Al-Qur’an kecil yang dibekali sang nenek untuknya saat berangkat. Setahun belakangan Larasati lebih banyak melalaikan kitab itu, bahkan membuatnya tersisih dari buku-buku tebal berbahasa asing. Hampir saja ia melupakan betapa damai hatinya saat baris demi baris ayat-ayat suci tersebut terucap dari bibirnya. Larasati pun menangis sepuasnya, mengusap air matanya langsung dengan mukena yang ia kenakan.
Saat tangisnya selesai, Larasati meneguhkan hatinya untuk berbicara dengan Damar. Tanpa menunda, Larasati membuka status pemblokiran pada nomor kontak Damar dan melakukan panggilan. Berkali-kali ia menarik napas panjang sebelum panggilan itu akhirnya tersambung.
“Assalamu’alaikum, Mba Laras.” Sebuah suara perempuan yang terdengar riang menyapa lebih dulu.
Larasati sejenak ragu. Ia kenal suara itu. Ada keinginan untuk begitu saja membatalkan panggilan saat tahu bukan Damar Langit yang langsung menerima. Dengan menguatkan hatinya, Larasati menjawab salam itu setenang mungkin.
“Apa kabar, Kania?” Larasati berusaha keras agar getar suaranya tidak kentara.
“Aku baik.” Kania kemudian menjawab. “Mbak Laras sehat di sana?”
“Aku ingin bicara dengan Damar.” Larasati tidak berniat memperpanjang basa-basinya lagi. “Apakah dia ada?”
“Mas Damar masih tidur, Mbak.”
“Masih tidur jam segini?” Larasati kurang mempercayai jawaban Kania. Damar Langit tidak pernah bangun terlambat. Kania hapal kebiasaan lelaki itu.
“Kami baru saja sampai sehabis subuh tadi di Malang.” Kania menyahut lagi. “Mas Damar mungkin kelelahan sehabis menyetir semalaman.”
Larasati awalnya ingin memutus saja panggilan ponselnya dan mengulangi kembali nanti. Berbicara dengan Kania malah akan membuat luka di hatinya semakin menganga. Namun, rasa penasaran yang mendesak dari dalam membuat bibirnya bertanya lancang ingin tahu.
“Dalam rangka apa Mas Damar ke Malang? Kegiatan kopikah?” tebak Larasati.
“Bukan, Mbak.” Suara Kania terdengar gembira sekali saat menjawab. “Aku dan Mas Damar sedang berbulan madu di sini.”
Cukup sampai di situ, Larasati tahu harus berbuat apa. Ia tak lagi perlu menghubungi Damar setelah ini. Pernyataan Kania sudah sangat memuaskan. Tidak ada lagi yang perlu diluruskan, karena ini jelas bukan soal salah paham.
“Aku ucapkan selamat atas pernikahan kalian. Semoga selalu dilimpahkan kebahagiaan.”
Larasati perempuan cerdas. Ia tidak perlu bersilat lidah demi menuntaskan lukanya. Sebuah doa untuk Damar dan istrinya sudah merupakan bentuk penjelasan sikap. Dengan segenap hati, kini ia sudah merelakan Damar menjadi milik Kania.
***
“Aku mau mengajak kamu ke pasar malam.”
Delapan tahun lalu, Larasati yang sedang duduk sendiri membaca buku, menengadahkan kepala pada sebuah suara yang menyapa. Tak sampai beberapa detik, Larasati menunduk lagi. Tak sanggup membalas tatapan si pemuda yang menatapnya lekat.
“Aku tidak boleh keluar malam,” jawab Larasati saat itu.
“Kita perginya sore, sebelum maghrib sudah aku antar pulang.” Pemuda itu gigih membujuk.
“Aku tanya Mbah dulu, belum tentu dikasih izin,” tolak Larasati dengan sopan.
“Izin itu urusan nanti.” Pemuda itu ikut duduk di kursi kosong di depan Larasati. “Yang aku tanya, apakah kamu mau kalau aku ajak pergi ke pasar malam?”
Anggukan malu-malu Larasati itu yang akhirnya membuat motor Damar Langit terparkir di depan sebuah rumah sederhana di suatu sore. Pemuda itu duduk di teras ditemani Mbah Sulis menunggui Larasati selesai berpakaian. Entah berapa banyak wejangan yang Mbah Sulis keluarkan untuk Damar Langit hanya karena mengizinkan pemuda itu mengajak cucu semata wayangnya ke pasar malam.
“Inget, Nduk, harus sudah sampai rumah kembali sebelum maghrib.” Mbah Sulis mengucapkan lagi kalimat yang perempuan itu ulang-ulang terus sejak tiga hari lalu Larasati meminta izin pergi bersama Damar.
Namanya pasar malam, pasti ramainya di waktu malam. Saat itu, kios jajanan hanya baru separuh yang dibuka. Lampu-lampu permainan pun belum dinyalakan. Setelah puas berkeliling, Damar membeli dua corong es krim dan mengajak Larasati duduk di pinggir arena.
Es krim Damar sudah habis lebih dulu tak sampai lima menit berlalu. Es krim Larasati hampir meleleh separuh karena ia terlampau malu-malu menghabiskannya di depan Damar. Damar yang menyelesaikan sisanya setelah beberapa tetes akhirnya mengotori rok panjang Larasati.
Larasati tidak menyesali rok lipit putihnya yang terkena noda cokelat dari es krim yang meleleh, karena sore itu Damar Langit mengutarakan isi hati yang juga sudah lama dinanti olehnya. Ingin rasanya Larasati menjawab saat itu juga, tetapi ia ragu akan perbedaan status antara Damar dan dirinya yang terlampau mencolok. Damar adalah putera dari seorang pengusaha di desanya sementara Larasati hanya cucu dan seorang nenek yang berdagang di pasar. Maka, Larasati meminta waktu untuk berpikir sebelum ia menerima pernyataan cinta Damar Langit.
Berulang kali Damar Langit menawarkan Larasati untuk membeli apa yang ia mau sebelum diantar pulang. Dibalut rasa sungkannya, Larasati akhirnya memilih sebuah bando beludru berwarna hijau yang dijual di sebuah kios pernak-pernik. Ia melirik heran saat melihat si penjual membungkus satu bando lagi yang Larasati rasa tidak ia pilih.
“Satu saja, Damar. Satu saja sudah cukup,” ucap Larasati saat itu, tetapi Damar tidak memulangkan bando itu pada si penjual.
“Oh, yang satunya lagi untuk Ndari, adikku di rumah,” sahut Damar. “Kapan-kapan aku akan kenalkan kalian berdua.”
Seharusnya dari sana Larasati dapat memahami. Dirinya hanya pendatang baru. Kania Wedari sudah lebih dulu mendapat tempat di hati Damar Langit.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Kunci Tiga Hati
RomanceHutang budinya pada keluarga Adjie Gumilar membuat Damar Langit tak kuasa menolak saat lelaki yang sudah ia anggap ayah itu memintanya untuk menikahi Kania Wedari, sang adik angkat. Damar Langit punya tambatan hatinya sendiri. Ia hanya tinggal menun...