Sudah lewat empat jam sejak Damar Langit naik pitam dan begitu saja meninggalkan Kania, cangkir kopinya yang masih bersisa dua pertiga, serta setangkup roti bakar yang bahkan belum disentuh sama sekali. Dikunci atau tidak, jika gelagatnya sudah seperti itu, Kania tidak akan berani mencari Damar di kamarnya. Percuma saja, amarah Damar akan semakin memuncak jika banyak ditegur sapa. Lebih baik Kania mendiamkan saja sampai rasa kesal Damar berkurang.
Waktu yang bergerak lambat itu Kania isi dengan membaca buku sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Beberapa buku sengaja telah ia persiapkan dari rumah, untuk berjaga-jaga menghadapi situasi seperti ini. Situasi di mana tidak ada bahan omongan lagi yang bisa Kania bincangkan dengan Damar. Situasi di mana mereka berhadapan layaknya dua manusia yang tidak saling mengenal.
Perut Kania sudah berbunyi sejak tadi. Ia sudah merebus satu bungkus mie instan, tetapi tetap saja rasa lapar masih mengganggunya. Lapar itu akhirnya perlahan-lahan dikalahkan oleh kantuk yang menyerang mata Kania saat cerita di buku yang ia baca mulai membosankan. Kania berbaring di sofa, meluruskan kaki, dan memeluk buku yang telah ditutup.
Kania terjaga saat merasa pelantang telinga yang masih menyuarakan musik dari daftar putar di ponselnya, dilepaskan oleh seseorang. Saat mata Kania sudah jelas mencerna, ia melihat Damar Langit telah berdiri di sisi sofa. Rambutnya sudah rapi, sudah berganti pakaian, sudah tercium aroma sabun mandi dari tubuhnya. Semuanya sudah terlihat lebih segar, kecuali air mukanya yang tak menunjukkan perubahan.
“Stok rokokku habis,” ujarnya datar. “Kamu mau ikut atau tinggal di sini?”
***
Sejak dulu setiap menyetir, Damar Langit selalu tidak banyak bicara. Bila Kania berceloteh dan meminta pendapatnya, Damar hanya mengangguk atau menggeleng, baru kemudian mengucapkan satu patah kata saja jika Kania masih bertanya ulang karena tidak melihat gerak kepala Damar. Kali ini Kania tidak berselera memulai percakapan apa pun. Ia hanya menatap apa saja yang dilewati dari kaca mobil di samping kiri, dan membiarkan Damar menyetir sesukanya tanpa ia meminta ke mana ia ingin dibawa.“Kamu ingin makan apa?” Kania akhirnya bersyukur Damar cukup peka akan kondisi lambungnya yang sudah hampir menjerit. “Sekalian carikan rutenya jika ada kios makanan khas yang ingin kamu kunjungi.”
Damar Langit sudah kembali menatap jalanan saat Kania merasa tiba-tiba bersemangat dan mengubah posisi duduknya tegak tanpa bersandar. Jika Damar sudah bersuara, menandakan suasana hatinya sudah membaik.
“Aku ingin Bakso Malang. Tinggal lurus saja lima ratus meter di depan.”
Tempat makan yang Kania ingin tuju ternyata sedang ramai pengunjung. Pelayan menjelaskan bahwa mereka harus menunggu sekitar setengah jam untuk menunggu meja yang lain kosong. Kania kembali ke mobil dengan tidak bersemangat.
“Harus di tempat yang itu?” Damar bertanya saat Kania sudah duduk. “Kita sedang di Malang. Warung bakso mana saja pasti rasanya sama.”
“Temanku bilang di situ yang paling enak.” Kania memberi alasan.
“Kalau kamu mau menunggu, aku tinggalkan di sini.” Damar menawarkan solusi.
“Mas Damar mau ke mana?” tanya Kania bingung.
“Warung Padang,” jawab lelaki itu. “Aku sudah terlanjur kelaparan.”
***
Lelaki di depannya menghabiskan isi piring tak sampai sepuluh menit, itu pun sudah termasuk porsi tambah dua kali, sementara Kania masih mengaduk-aduk nasinya yang telah dibanjiri kuah. Impiannya terlampau tinggi jika berharap ia dan Damar akan menghabiskan waktu mencoba berbagai tempat makan yang terkenal di Malang. Nyatanya, Damar lebih peduli pada ponselnya dari pada memastikan apakah Kania menyukai apa yang dia makan atau tidak.“Setelah ini mau ke mana?” Damar bertanya tanpa mengalihkan mata dari benda di tangannya.
“Pulang.” Kania menjawab dengan malas.
“Tidak ada tempat lain yang mau dikunjungi?” Damar menoleh pada Kania kali ini.
“Aku capek," ucap Kania sedikit ketus.
“Kenapa nasinya tidak dihabiskan, Ndari?” Damar melirik piring Kania yang isinya masih tersisa separuh. “Bapak tidak pernah mengajarkan kita membuang makanan seperti itu.”
Suara Damar yang penuh ketegasan membuat Kania menarik kembali piring yang sebelumnya sudah ia geser menjauh. Meski nasinya sudah terlanjur dingin, Kania tetap menyuap sedikit-sedikit sampai isinya mulai berkurang. Ia terus menunduk hingga mendengar Damar mengatakan sesuatu yang membuat Kania tiba-tiba merasa sangat haru.
“Kalau nasinya habis, nanti aku antar kamu ke tempat Bakso Malang yang ramai tadi. Kita beli bungkus saja untuk makan malam.”
***
'Kalau makannya dihabiskan, nanti Mas belikan gula kapas di depan sekolah.''Kalau sayurnya dimakan semua, nanti Mas ajak ikut main layangan di lapangan.'
Atas sebab apa pun Kania merajuk, Damar akan menjadi orang yang paling mahir membujuk. Tidak perlu banyak kalimat, tidak perlu banyak janji, Kania selalu menurut bila Damar yang meminta. Bahkan Bapak hanya menempati urutan kedua setelah Damar dalam urusan rayu-merayu.
Saat sang ayah wafat, Kania merasa sangat kehilangan tempat bergantung. Kania tidak terlalu dekat dengan Kartini Gumilar. Sosok sang ibu lebih banyak tergantikan oleh Mbok Mirah yang hampir setiap hari sepenuh hati mengurusi ia dan Damar. Kania sama sekali tidak menyangka sang ayah menitipkannya pada Damar saat penyakitnya semakin parah. Ia ingat hanya pernah mengungkapkan satu kali isi hatinya tentang Damar pada sang ayah. Kania tak mengira ayahnya menanggapi dengan serius. Tak menyangka meminta Damar menikahinya.
Kuah bakso yang dihangatkan sudah lama menggelegak. Kania mengaduk sambil melamun sampai-sampai Damar yang datang ke dapur untuk menumpang menyulut rokoknya di kompor, yang kemudian mematikan api. Kania tersenyum canggung meski Damar sudah berlalu. Buru-buru ia menyediakan dua buah mangkuk dan membagi rata isinya.
“Aku minta maaf soal Mbak Laras tadi pagi,” ucap Kania saat ia mulai makan.
Porsi Damar masih dibiarkan saja oleh lelaki itu, mungkin menunggu sampai rokok yang ia hisap habis terbakar. Kania ingin mengingatkan agar tidak sampai dingin, tetapi ia urungkan saat melihat dahi Damar tampak berkerut.
“Tak mengapa Mas Damar mencintai Mbak Laras, asal tetap mau belajar mencintaiku.” Kania berucap pelan.
Damar tetap bergeming, menatap kosong dengan asap mengepul yang diembus dari hidung.
“Aku sudah memutuskan.” Kania menarik napasnya sebentar.” Jika Mba Laras masih mau menerima Mas Damar kembali, Mas Damar boleh menikahinya.”
Pandangan Damar kini beralih pada Kania. Rokok yang masih bersisa separuh, lelaki itu matikan dengan menekan kuat pada asbak.
“Mas Damar boleh menikahi Mba Laras,” ulang Kania untuk menegaskan keputusan itu. “Asal tidak menceraikan aku.”
Jika kehilangan sang ayah telah membuat Kania gamang, tak sanggup rasanya jika ia juga harus kehilangan Damar. Meski pedih, berbagi adalah cara terbaik dari pada tidak bisa memiliki sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Kunci Tiga Hati
RomanceHutang budinya pada keluarga Adjie Gumilar membuat Damar Langit tak kuasa menolak saat lelaki yang sudah ia anggap ayah itu memintanya untuk menikahi Kania Wedari, sang adik angkat. Damar Langit punya tambatan hatinya sendiri. Ia hanya tinggal menun...