Bab 3 - Cinta Selesai di Sini

26 5 0
                                    

Warna merah hijau kuning yang terlihat samar-samar saat Larasati membuka mata, perlahan-lahan membuatnya sadar bahwa ia tidak sedang berada di apartemennya. Warna-warna itu setelah ia amati lagi adalah pantulan dari lembar bendera negara Jamaika. Poster lelaki berambut gimbal di sebelah bendera tersebut membuat Larasti yakin ia sedang terbaring di kamar Dumaria, perempuan berdarah Batak yang sama-sama berangkat ke Bristol dengan dirinya.


Meski kepalanya terasa berat, Larasti berusaha bangkit. Sepasang sandal berbulu halus dengan pernik telinga kelinci ia pakai separuh terseret menuju pintu. Tubuh Larasati terasa sangat lemas. Ia bertumpu pada dinding saat berjalan mencari Dumaria.


“Pegangan sama aku.” Dumaria yang sedang berbaring di sofa bergegas menghampiri dan siaga menjaga agar Larasati tidak limbung dan terjatuh. “Harusnya kau jangan keluar kamar dulu. Teriak saja panggil aku.”


“Boleh ambilkan aku segelas air hangat, Duma?” pinta Larasati saat sudah duduk bersandar di sofa.


“Mau aku bikinkan teh atau susu?” Dumaria menawarkan pilihan.


“Cukup air hangat saja. Aku haus.”


Larasati memejamkan mata sejenak. Namun, cepat ia buka kembali. Bayangan foto akad nikah Damar Langit langsung menggempur pikirannya tanpa ampun. Larasati tidak menangis. Sejak awal pun ia tidak menangis. Air matanya seperti tersumbat dengan gumpalan amarah yang bertumpuk di ulu hati.


“Aku masak sup ayam kalau kau lapar.” Dumaria menyerahkan segelas air hangat yang Larasati pinta. “Kau menginap saja di sini malam ini.”


“Cora yang mengantarku ke mari?” Larasati mencoba menebak bagaimana ia bisa sampai di apartemen ini.


“Cora telepon aku, tapi aku lagi mandi. Lalu, dia text aku. Aku sama Eric langsung ke sana jemput kau.” Dumaria menjelaskan.


Larasati mengangguk sebagai isyarat terima kasih. Betapa segan rasanya sampai harus melibatkan Eric kekasih Dumaria. Mau bagaimana lagi, hanya Eric yang mereka kenal dekat dan punya kendaraan roda empat.


“Aku pingsan, ya, Duma?” Larasati merasa perlu kembali meyakinkan dirinya sendiri tentang apa yang terjadi. “Sampai jatuh?”


“Kau hanya lemas saat kujemput. Tapi sampai di apartemenku kau malah pingsan.” Dumaria bercerita ulang.


“Padahal paginya aku sudah sarapan,” gumam Larasati sembari menyeruput sedikit dari gelas yang berisi air hangat. “Mungkin karena Damar.”


Sungguh berat rasanya untuk Larasati menyebut nama itu kembali. Nama yang kemarin masih kepunyaannya, tetapi sekarang sudah menjadi milik perempuan lain. Perempuan yang ia kenal baik. Rasanya tak mungkin akan tega merebut sang kekasih hati.

Satu Kunci Tiga HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang