Bab 4 - Di Mana Semalam

14 4 0
                                    

Tepat pukul sepuluh malam saat wajah Kania Wedari sudah benar-benar bersih dari paes hitam yang sedari subuh terlukis di dahinya. Ronce melati juga sudah dilepaskan, berikut sanggul dan pernak-pernik lain yang menghiasi rambutnya. Kepala Kania terasa jauh lebih ringan sekarang.

Segelas teh jahe disuguhkan Mbok Mirah saat sang perias pengantin menyelesaikan tugasnya yang terakhir, menghapus sisa riasan di wajah Kania. Ia sendiri sudah teramat letih, sehingga beberapa pertanyaan dan obrolan yang dilontarkan sang perias hanya ditanggapi dengan anggukan. Kania hanya ingin cepat-cepat berbaring di ranjangnya. Andai beruntung sekaligus berlabuh di dada bidang Damar Langit.

“Mba Kania suka dengan riasannya?” Sang perias bertanya sambil membenahi peralatan. “Kalau ada yang kurang sesuai, mohon disampaikan langsung saja, Mba.”

“Suka, Bu. Saya terlihat cantik sekali hari ini." Kania berterima kasih. 

“Wah, Mas Damar bilang begitu?” Mata sang perias berbinar senang.

Kania menanggapi dengan senyum kikuk. Semua orang yang datang pasti mengatakan betapa cantik Kania Wedari hari ini. Semua orang, kecuali Damar Langit. Lelaki itu terlalu sibuk menatap kosong ke arah lain selama duduk berdampingan dengan Kania di pelaminan. Hanya tersenyum saat juru foto memintanya untuk itu, atau saat ada yang menyapa untuk bersalaman.

“Nanti kalau ada acara lain, saya akan tetap pakai jasa rias Ibu Sri.” Kania mengangguk saat sang perias hendak berpamitan. “Saya sangat puas dengan hasilnya.”

“Untuk acara tujuh bulanan nanti jangan lupa hubungi Ibu Sri, ya, Mba.” Sang perias memeluk Kania. “Semoga Mba Kania dan Mas Damar segera diberi momongan dan akur terus sampai jadi kakek-nenek.”

Kania m*raba perutnya yang tadi sempat diusap Ibu Sri. Konon saat perempuan yang lebih tua mengusap perut pengantin baru, maka ada doa yang terucap di sana. Namun, hanya keajaiban  yang bisa bekerja untuk menumbuhkan janin dalam rahim seorang ibu secara sepihak. Mustahil jika lelaki yang bertugas menebar benih malah tidak mengambil aksi sama sekali.

Tirai jendela yang tadinya ia singkap sedikit, akhirnya Kania tutup perlahan. Damar Langit masih betah duduk merokok di tempat yang sama sejak Kania meninggalkannya untuk bertukar pakaian. Lelaki itu mengutak-atik benda di tangannya. Sesekali terlihat berdiri, berjalan mondar-mandir dengan ponsel menempel di telinga.

Tak perlu penasaran bertanya pada Damar siapa yang lelaki itu terus-menerus hubungi. Kania Wedari paham. Di balik rasa bahagianya setelah berhasil merebut Damar Langit, ada sebuah hati yang sedang terluka parah saat ini. Kania tahu itu, hanya saja ia memilih untuk bersikap seolah tak tahu. Sejak dulu hingga ijab kabul tadi, tetap nama Larasati yang bersemayam di hati suaminya, Damar Langit.

Setidaknya Kania sudah melalui satu tahapan. Secara hukum, dialah istri sah Damar Langit sekarang. Perkara hati, itu soalan mudah. Tak ada laki-laki yang sanggup bertahan jika sudah merambat pada urusan hasrat. Kania Wedari hanya perlu membuat Damar Langit bertekuk lutut sehingga tak lagi sempat berpikir tentang Larasati.

***

“Kamu tidur di mana tadi malam, Damar?” 

Baik Kania maupun Damar Langit sama-sama mengangkat wajah dari piring berisi sarapan pagi itu. Kartini Gumilar datang mendekat dengan kursi roda yang berjalan lambat. Damar bergegas berdiri, membantu sang ibu mertua sampai benar-benar sampai di meja makan.

“Tidur di kamar Kania, Bu,” sahut Kania mewakili Damar sebelum lelaki itu memberikan jawaban berbeda.

“Ibu masuk ke kamar kamu jam dua pagi tadi.” Kartini Gumilar menoleh pada sang puteri dengan tatapan menyelidik. “Kamu malah tidur sendirian.”

“Mas Damar baru masuk hampir menjelang subuh.” Kania melirik Damar, memberi isyarat agar lelaki itu sepakat pada alur yang ia utarakan. “Masih banyak kerabat yang ikut membenahi kursi malam tadi.”

“Bagaimana kondisi kesehatan Ibu hari ini?” Damar mencoba mengalihkan pembicaraan dengan memberi perhatian pada Kartini Gumilar. “Apakah jadi Damar antarkan untuk periksa ke dokter spesialis?”

“Kamu nggak usah khawatirkan Ibu, Damar.” Kartini Gumilar menyesap teh hangat yang dituangkan seorang asisten rumah tangga untuknya. “Yang perlu kamu pedulikan itu Kania. Kamu dan Kania sekarang sudah menjadi suami istri, bukan lagi berstatus kakak dan adik angkat seperti kemarin.”

“Baik, Bu.” Damar kembali duduk di kursinya. 

“Ibu sudah atur agar kalian pergi berbulan madu di Malang. Setelah selesai sarapan, langsung berkemas saja.” Kartini Gumilar memberi perintah. “Urusan-urusan di sini biar Ibu langsung yang mengurus selama seminggu kalian pergi.”

“Ibu harusnya kasih tahu Kania dulu.” Kania pura-pura keberatan dengan rencana sang ibu yang sangat mendadak. “Masih ada teman-teman Kania dari luar kota yang hari ini menuju ke mari.”

Pernikahannya dengan Damar Langit yang diadakan di kampung halaman, membuat beberapa teman sedikit kesulitan untuk hadir. Sesuai kebiasaan di desa tempat Kania dilahirkan, acara akad nikah atau pun syukuran perkawinan bukan diadakan pada hari libur. Walaupun begitu, teman-teman kuliah Kania sudah berjanji akan tetap datang menyusul untuk memberi selamat. 

“Tidak pada menginap, toh, teman-teman kamu itu?” Kartini Gumilar mematahkan keberatan Kania. “Setelah mereka pulang, kamu dan Damar bisa langsung berangkat.”

Sedikit serba salah Kania mencari tatapan Damar. Lelaki itu hanya menunduk, terlalu asik dengan potongan ayam di piring nasi gorengnya. Kania tahu Damar pun pasti merasa keberatan dengan rencana bulan madu yang tiba-tiba ini. Bedanya, Damar tidak punya hak untuk menolak. Seperti halnya Damar tidak berhak menolak saat mendiang sang ayah meminta lelaki itu menikahi dirinya.

“Bagaimana pendapat Mas Damar?” Kania mencoba melempar masalah itu pada lelaki di sampingnya. “Apa tidak terlalu lelah harus menyetir jauh. Apalagi kondisi kita berdua masih kurang istirahat sejak kemarin.”

“Aku menurut apa kata Ibu saja.” Damar menjawab datar. “Kalau letih menyetir, nanti bisa berhenti.”

“Mobil yang akan kalian bawa sudah disiapkan oleh Pak Nyoto. Villa sudah disiapkan oleh teman Ibu di sana. Uang saku nanti ibu titipkan pada Kania.”

Nasi goreng di piring Kania masih bersisa separuh, tetapi ia sudah lebih dulu kehilangan selera makan. Hanya Damar yang masih terdengar berbincang menanggapi pertanyaan-pertanyaan Kartini Gumilar mengenai acara kemarin. Kania memilih diam. Berbicara pun tidak akan membuatnya terbebas dari himpitan ini.

Setelah tidak hadir di kamar pengantin malam tadi, kini Damar Langit tanpa terlihat terpaksa, menyetujui begitu saja usulan untuk berbulan madu dengan Kania. Jelas lelaki itu hanya ingin memakai kesempatan ini untuk menghindar dari situasi sulitnya sebagai suami yang masih mempunyai kekasih.

Kania sudah menutupi satu kebohongan Damar di depan Kartini Gumilar hari ini. Kelak, Kania masih harus menyiapkan banyak alasan untuk menyembunyikan kejanggalan lain dalam rumah tangganya dari pantauan sang ibu. 

Satu Kunci Tiga HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang