Chapter 9 | Ciuman Pertama?

135 12 0
                                    

Chapter 9 | Ciuman Pertama?

"Padahal sudah lama sejak kali terakhir dia begini." Ayn melipat tangannya setelah melihat laporan kesehatan Lyn. Arsene yang berdiri di sampingnya tidak memberi tanggapan, hanya berdiri diam setelah salah satu dokter memberikan penjelasan mengenai kondisi terkini Lyn.

"Pertanyaanku adalah, kenapa wajah adikmu seperti itu?" Ayn bertanya, Anna yang masih menggenggam tangan Lyn memasang wajah suram yang sembab karena menangis.

"Ahh, entahlah."Arsene malas menjelaskan. Tentu ia tahu alasannya, setelah kejadian di masa lalu saat mereka pergi ke taman bermain atas permintaan Anne, kondisi Lyn memang semakin memburuk.

Terlebih, saat itu belum ada yang mengetahui dengan pasti mengenai kondisinya.

Saat ini, Anne menyalahkan dirinya sendiri.

"Mau kemana?" Ayn bertanya saat Arsene berlalu pergi.

"Untuk apa aku disini lama-lama?" Tanya Arsene keheranan. "Setidaknya bawa pergi adikmu, mengganggu pandanganku." Ayn berujar melirik lengan Lyn dan Anne yang masih bertautan.

"Kau pikir dia akan mendengarkanku?"

"Ah benar juga..."

Setelahnya, pembicaraan mengenai hari sang pisau cantik tumpul berlutut akhirnya usai, kini pembicaraan mengenai acara pernikahan kedua pewaris cemerlang yang hangat dibicarakan.

Anne menjadi kian menempel pada Lyn, menginap di kediaman Lyn jika Lyn tidak mau menginap di kamarnya. Terus menempel padahal banyak yang harus mereka siapkan karena pekan ujian akan segera datang.

"Kau sudah mencoba gaunnya?" Anne bertanya soal gaun yang akan mereka kenakan di pernikahan kedua kakak mereka.

"Itu sedikit kebesaran, aku pikir masih harus mengecilkannya." Anne mengernyit. "Aku sudah menyesuaikannya dengan ukuranmu, berat badanmu turun lagi?" Lyn menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengoles selai kacang. "Ahh, begitukah?"

"Pantas saja..." Anne menopang dagunya sambil terus memandangi Lyn.

"Aku rasa volume dadamu juga mengecil, instingku berkata begitu saat merabanya semalam." Ucapan Anne membuat wajah Lyn seketika memerah. "Kau apa?" Lyn membeo sambil meletakan rotinya.

"Meraba dan meremasnya sebentar. Kau malu?" Anne malah kian menggoda Lyn.

"Kalian, tidak bisa diam?" Arsene bertanya. Percakapan tidak masuk akal yang dibicarakan dua remaja di hadapannya kian membuat jengkel.

"Permisi..." Lyn yang wajahnya memerah langsung pamit pergi, sampai lupa membawa tasnya.

"SUDAH KUBILANG PERBAIKI CARA BICARAMU!" Anne berteriak marah. "Apa sulit untuk bicara lebih lembut pada Lyn? Jantungnya itu lemah, dia bisa terus jantungan jika kau terus menatapnya tajam sambil berkata dingin begitu." Anne bangkit berjalan pergi sambil membawa tas Lyn yang tertinggal.

"Anak-anak berisik itu..."

Arsene meletakan sendok dan garpunya, melirik kursi yang sempat diduduki oleh Lyn sebelumnya. Tidak ada percakapan yang terjadi sejak hari itu, ia tampak terpaksa menurut setiap kali harus berada di satu tempat dengan Arsene.

Arsene bisa melihatnya...

Air muka keterpaksaan yang tergambar jelas.

Terlalu jelas, sampai-sampai Arsene merasa mulai jengkel karena ketidaknyamanan gadis itu terhadap dirinya.

Lalu malam itu...

Anne lagi-lagi memaksa Lyn untuk menginap, namun tampaknya Lyn memberi alasan yang membuat Anne melampiaskan kemarahannya pada semua orang di rumah.

Blue: Beg Like a Pretty Blunt KnifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang