Chapter 3 - Meeting in the Middle of the Weather

1.2K 80 10
                                    

Sepulang dari kampus, aku dan Alisha-teman sekelasku di kampus datang ke toko buku dan alat tulis terdekat di dekat perempatan jalan raya. Menurut ramalan cuaca, siang ini akan turun hujan, akan tetapi aku tidak begitu mempedulikannya karena semenjak pagi dan siang ini, sinar matahari begitu terik. Begitu kami keluar dari toko sembari menentang beberapa tas berisi barang-barang, kami langsung diterpa oleh angin dan air hujan. Beruntung, hujannya tidak disertai petir.

Aku menyadari bahwa hari ini adalah hari pertama hujan turun setelah berhari-hari dilanda kekeringan. Setelah beberapa saat menghabiskan waktu untuk berdiskusi, akhirnya aku dan Alisha memutuskan untuk berteduh di depan toko ini yang kebetulan memiliki sebuah meja dan beberapa kursi yang melingkari meja tersebut. Kami tidak membawa payung atau jas hujan, juga tidak ada toko yang menjual payung di dekat sini, jadi kami akan menunggu sampai hujan reda untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Untung saja aku sempat membeli camilan!" ucapnya sembari mulai membuka sebuah tas yang berisi berbagai macam makanan pedas sekaligus hangat yang biasa di jual di pinggir jalan. Saat ia sibuk dengan makanannya, aku memilih untuk melihat barang-barang yang aku beli di toko buku, memastikan mereka lengkap dan aman.

"Kamu mau?" tanyanya sembari meniup makanan berbumbu balado yang sudah ada di antara sumpitnya.

Aku menggelengkan kepala seraya memeluk tubuhku sendiri dengan kedua tangan. Seperti sebelum-sebelumnya, aku rentan terhadap cuaca dingin. Suhu di luar ruangan terasa lebih dingin karena aku bisa merasakan secara langsung angin yang berhembus serta cipratan air hujan yang jatuh tak jauh dari tempat kami berteduh saat ini. Hari ini aku tidak memakai pakaian yang panjang dan tebal, melainkan hanya memakai rok setinggi lutut dan kaus sablonan bergambar kartun dengan lengan pendek.

"Pedas sekali!" keluhnya sembari mengibaskan tangan di sekitar area wajahnya.

Wajah Alisha mulai kemerahan, dan ada beberapa peluh di sekitar wajahnya. Ia hanya makan beberapa tusuk dan reaksinya sudah sangat parah.

"Apa kau tidak masalah makan makanan pedas?" tanyaku pada akhirnya. Sebab, akhir-akhir ini aku sering melihatnya makan makanan pedas dengan porsi yang banyak. Aku hanya khawatir jika sakit perutnya kambuh seperti sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, aku tahu Alisha adalah maniak makanan pedas, oleh karena itu aku tahu aku tidak akan bisa menghentikannya dengan mudah.

Dia berkata sembari mengunyah makanan, kedua pipinya sampai menggembung seperti bola. "Aku sudah sarapan, tenang saja ... ini tidak terlalu pedas."

Aku mengerutkan kening, "Barusan kau bilang itu pedas-"

"Panas, maksudku panas!"

"Oh ... tapi tetap saja-"

"Percayalah, aku tidak apa-apa. Kau tahu? Cita rasa pedas jauh berkali-kali lipat lebih enak dibanding makanan tanpa bubuk cabe!"

"Yah, aku sudah bisa menebaknya dari selera pelanggan di tempat kerjaku, kecuali ...."

Entah mengapa saat memikirkan kegemaran orang dengan makanan pedas, tiba-tiba saja aku teringat Andrew. Pria itu tidak bisa makan pedas, bahkan mencoba sedikit saja dia tidak mau.

Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat ke atas saat memikirkannya.

"Nah!" Alisha menjentikkan tangannya, "kau sendiri juga tahu 'kan? Justru aneh jika ada orang yang tidak suka makan pedas!"

"Hey, kau pikir semua orang itu sama? Makan pedas itu pilihan, sama seperti kau yang tidak bisa minum alkohol."

Alisha terkekeh, "Kau juga tidak bisa minum 'kan?"

Aku menghela napas, "Ngomong-ngomong, sampai di mana projek melukismu?"

Aku sedang membicarakan tugas kuliah. Karena kami adalah mahasiswi jurusan seni rupa, maka kami diharuskan untuk setidaknya memiliki satu karya lukis yang nantinya akan dipamerkan di pameran saat menjelang UAS.

Midnight Rain (Pindah Noveltoon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang