07

718 98 23
                                    


Acara peresmian bangunan TK yang baru sudah berakhir sejak satu jam yang lalu dan para tamu pun sudah pulang ke rumah masing-masing. Saugi yang awalnya berangkat sendiri, akhirnya mengajak Joanna, Nyonya Kanaya dan Karin untuk ikut bersamanya. Sebenarnya ia ingin mengajak Alin juga namun wanita itu sudah lebih dulu pulang dengan sahabat-sahabatnya.

Ya setidaknya itu adalah hal yang bagus dibanding ia pulang dengan Werdiyan.

Si Monolid mengantar Joanna lebih dulu ke mess lalu membawa Kanaya dan Karin pulang. Dikarenakan rumah wanita itu tidak bisa dijangkau oleh mobil, maka Saugi memarkirkan kendaraannya di depan gang.

Si kecil sudah terlelap selama di perjalanan karena ia aktif bermain dengan teman-temannya di playground selama acara berlangsung, ia pasti kelelahan.

Itulah alasan mengapa Saugi berinisiatif untuk mengantar sang sekretaris, baru Kanaya, karena ia tidak mungkin membiarkan wanita itu menyusuri gang gelap sambil membawa Karin sendirian. Jadi ia pun mengambil alih untuk membawa si gadis kecil ke dalam gendongannya sekaligus menemani ibu muda itu pulang sampai ke rumah.

"Pak Saugi tahu tidak, dulu saya itu tidak suka dengan bu Alin." ungkap Kanaya tiba-tiba. Pria di sampingnya tentu saja terkejut untuk dua hal. Satu, karena wanita itu secara mendadak membahas Alin. Dua, mengetahui bahwa ia sempat membenci mantan kekasihnya tentu membuat Saugi penasaran dengan alasannya.

"Kenapa anda tidak suka dengannya?" tanya si pria. Kedua tangannya bersilang di paha Karin, menguncinya agar tidak jatuh dari gendongan.

"Suami saya sering membandingkan beliau dengan saya. Katanya bu Alin itu cantik, baik, dan pintar. Sedangkan saya tidak cantik, beban suami dan juga bodoh karena hanya lulusan SD." Kekehan pelan dikeluarkan oleh wanita itu, namun Saugi tidak menemukan dimana bagian lucunya.

Alinnya memang cantik tapi Kanaya tidak seburuk itu hingga harus dibanding-bandingkan fisiknya. Untuk kecerdasan, mungkin Kanaya tidak pandai di akademik tapi dengan dirinya yang mampu membesarkan anak sepintar Karin lalu bekerja dan memiliki kemampuan memasak yang baik, tentu kecerdasan emosional dan keterampilan Kanaya tidak perlu diragukan lagi.

Ia jadi penasaran, seperti apa suami Kanaya itu hingga pantas berkata demikian.

Si Pria kembali memerhatikan Kanaya yang menatap langit malam yang cerah dengan senyuman di wajah.

"Tapi semua ketidaksukaan itu hilang saat saya tahu kalau beliau juga sama seperti saya," tambahnya. Ia menoleh pada Saugi dan senyumnya memudar, "Kami sama-sama korban kekerasan."

Mata monolid itu terbuka lebih lebar, tidak menyangka jika Kanaya juga mengalami hal serupa dengan mantan kekasihnya. Tapi ironisnya adalah, Kanaya tidak menyadari bahwa sosok yang ia ajak bicara adalah seorang pelaku kekerasan untuk orang yang sedang dibicarakan.

Pantas raut wajah wanita itu muram saat Saugi menanyakan keberadaan suaminya. Dan Karin pastinya juga sering menjadi saksi dari tindakan tidak manusiawi pria yang harusnya menjadi pelindung keluarga itu.

Sekarang ia paham kenapa si gadis kecil berkata bahwa ia tidak menyukai papanya dan layak disebut jahat.

"Tapi bu Alin lebih beruntung…” Saugi memusatkan perhatiannya pada wanita itu lagi. “…karena beliau memiliki sahabat yang siap membantunya menyelamatkan diri, sedangkan saya harus terpenjara di sini.”

“Beliau pernah menyuruh saya untuk pergi menyelamatkan diri ke yayasan, tapi suami saya tahu dan mengancam kalau akan membawa Karin pergi jika saya sampai berani ke sana. Jadi saya menuruti dan bertahan demi Karin. Dia adalah satu-satunya kekuatan yang saya punya saat ini. " tutupnya.

Saugi menganggukkan kepala, paham. Selalu ada alasan kuat bagi setiap orang yang memilih untuk bertahan meski jalan yang dilalui berat, seperti Karin untuk Nyonya Kanaya dan Alin untuk dirinya.

Second Chance (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang