TW: Implying of Selfharm
Suara kertas yang dibolak balik menjadi satu-satunya suara yang memenuhi ruangan tersebut. Ada dua orang pria dan seorang wanita di dalamnya. Tuan Anggara duduk di kursi kebesarannya, memerhatikan kedua anaknya yang sedang memeriksa berkas penting perusahaan.
Beberapa jam lalu, mereka bertiga baru saja melakukan rapat internal yang cukup penting bersama para dewan direksi dan sekarang adalah waktu 'santai' mereka.
"Nanti kita makan malam bersama ya. Papa sudah reservasi restoran favorit kalian." Pria tua itu mengumumkan keinginannya. Maklum saja, keluarga kecilnya itu sudah jarang sekali berkumpul semenjak istrinya meninggal. Sebagai orangtua ia menyadari kesalahannya di masa lalu, dan kini ia berusaha untuk memperbaikinya, walaupun mungkin saja sudah terlambat.
"Okay," Si Wanita yang merupakan anak pertamanya, menjawab. Sedangkan Sang Adik memilih untuk menatap layar handphone di tangannya.
Sejak perbincangannya dengan Alin beberapa hari lalu itu, Saugi tidak lagi menghubungi Sang Mantan. Ia bukan marah, tapi malu. Terlalu banyak luka yang ia berikan pada Alin hingga dirinya merasa tak lagi pantas mengharapkan wanita itu untuk kembali bersamanya. Tapi membayangkan wanita itu menjadi milik orang lain pun, ia tidak rela.
"Progress pabrik sudah sampai mana, Gi?" pertanyaan Sang Papa jelas membuat pria muda itu terkejut. Apalagi ditambah posisi orangtuanya itu sudah duduk di sofa single, di sampingnya. Entah kapan ia berpindah posisi.
"Sudah 90 persen, pah. Bulan depan mungkin sudah bisa saya lepas." Saugi menjawab sambil mematikan layar ponsel dan kembali mengantunginya.
"Bagus." Tuan Anggara mengangguk, mengapresiasi pekerjaan anak bungsunya. Ia tidak menyangka jika Saugi yang dulu selalu ia khawatirkan masa depannya akan seperti apa, sekarang justru bisa membuatnya bangga.
"Tapi tidak perlu menunggu bulan depan, sisanya serahkan pada Manajer dan Konsultan di sana saja. Minggu depan kamu urus pabrik mie instant kita ya, Papa dapat info kalau ada masalah di sana." Pria tua itu memberitahu. Si Sulung menghentikan kegiatannya, kini fokusnya beralih pada Sang Papa.
"Masalah apa?" tanyanya. Saugi juga ikut menunggu penjelasan.
"Orang-orang asli di sana mengklaim bahwa tanah pabrik itu adalah milik mereka yang diakui Pemda setempat. Tapi saat dimintai sertifikat tanahnya, mereka mengatakan kalau sudah hilang dan alas an lainnya. Awalnya mereka meminta uang ganti rugi tapi kita tolak, lalu mereka meminta agar orang-orang sana dipekerjakan di pabrik, tapi tidak ada yang memenuhi kualifikasi karena tamatan tertinggi di sana hanya SMP. Jadi sekarang mereka mengganggu para pekerja dengan teror-teror seperti melempar bangkai tikus, menyiram darah ayam sampai menyuruh preman untuk menakut-nakuti para pekerja wanita." Tuan Anggara bercerita. Tiffany mendesis, tidak suka saat mendengar bagian akhir cerita. Bisa-bisanya mereka mengganggu wanita yang tidak tahu apa-apa dan hanya datang untuk bekerja.
"Tidak lapor polisi?" tanyanya.
"Sudah, tapi polisi pun menyarankan untuk damai saja dengan memberi uang kompensasi seperti yang mereka minta."
"Pakai cara lama saja." Tiffany mengusulkan.
"Jangan." Penolakan dari Saugi membuat sang Papa dan Kakak menoleh padanya. "Tidak semua warga di sana terlibat, terutama wanita dan anak-anak. Kalau memakai cara lama pasti semuanya akan kena."
Si Monolid tahu pasti, apa itu 'cara lama' yang dimaksud oleh keduanya. Dan ia tidak menyukainya.
"Aku akan mengurusnya setelah persiapan pabrik air mineral selesai seratus persen." Sambungnya. Tuan Anggara dan Tiffany saling melirik, sebelum mereka setuju untuk menyerahkan masalah itu pada Si Bungsu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance (?)
Fanfiction❗Gen-Ben❗ Alternate Universe Sequel of 3 Stages Of Loving You