2005
Musim dingin akan segera datang dengan aba- aba suhu mencapai 8 derajat celcius. Rasanya baru saja kemarin diadakan perayaan hari natal dan juga kembang api yang mewarnai langit. Entah waktu yang memang berjalan cepat atau setiap orang di bumi begitu menikmati kehidupannya sehingga tak terasa waktu terus berulang, musim dingin, musim semi, musim panas dan kembali dengan musim gugur.
Biasanya hujan turun lebih deras di peralihan musim, tetapi tampaknya tidak berlaku tahun ini. Hujan hanya turun ketika akhir musim gugur dan setelahnya hujan tak lagi datang seolah marah pada dunia yang terkadang mengumpat karena hujan datang. Kali ini, hanya ada dingin dan mungkin sebentar lagi salju akan datang, menunggu suhu mencapai 0 derajat.
Yang diharapkan makhluk bumi ketika Desember datang adalah hari libur dan hari raya yang meriah, biasanya perayaan natal begitu menyenangkan dan ramai di sepanjang jalan. Biasanya, setiap orang menikmatinya walaupun salju turun nanti. Namun, sosok pemuda yang tengah berdiri di hadapan jendela besar itu, terdiam dengan raut wajah yang tak memperlihatkan bahagia atau kesedihan, iris sehitam jelaga nya hanya memantulkan diri dan juga malam yang baru saja datang beberapa menit lalu.
Ruangan nya terasa hangat, kertas- kertas berserakan dan dibiarkan begitu saja, satu laptop diatas meja menyala, memperlihatkan deretan tulisan yang tampaknya membentuk suatu narasi. 'Bab 10', tulisan itu tampak jelas, tetapi hanya kosong di baris selanjutnya. Mungkin, pemuda itu tengah mencari inspirasi di tengah lampu temaram, suara air di dalam pemanas dan juga suara kertas yang bergerak karena angin, pemuda itu tampaknya lupa menutup jendela kecil di samping meja.
Helaan nafas terdengar pelan, wajahnya teralih pada suara kertas yang berisik dan mengganggu konsentrasinya, kakinya melangkah pelan, meraba kursi yang sedari tadi ia duduki dan kemudian menutup jendela tanpa kesulitan. Tatapannya masih terlihat kosong, karena hanya ada gelap, tak ada warna, tak ada bayangan dan tak ada yang bisa dilihatnya. Pemuda itu, tak bisa melihat.
Ia terhenti sejenak seolah menatap ke arah luar jendela yang begitu gelap, tetapi tidak segelap pandangannya hingga ia kembali menghela nafas, membiarkan pandangannya menunduk sebelum ia menyentuh jendela itu perlahan "Aku benci salju," gumamnya pelan. Ia membentuk suatu gambar di jendela yang tidak berembun di sana, tampaknya pemuda itu tengah menggambar hati yang terbelah dua dan dihapusnya dalam sekali usapan. "Mereka tidak bersuara dan aku tidak bisa merasakannya dari dalam rumah."
Kalimat itu selalu terucap setiap kali musim dingin tiba, mencoba untuk mengucapkan kekesalannya walaupun tak ada lagi yang mendengar. "Mungkin, aku butuh segelas kopi dingin." gumamnya lagi. Di tengah udara yang begitu dingin pemuda itu membayangkan kopi dingin melewati tenggorokannya hingga kakinya kini melangkah tanpa ragu, menginjak setiap kertas yang berserakan dan melewati buku yang sempat ia jatuhkan tanpa keraguan. Ia hendak mengambil mantel nya, tetapi suara dering telepon rumah itu menghentikan pergerakannya.
Ia berusaha menebak siapa yang menghubunginya di luar jam kerja, walaupun dirinya adalah seorang penulis, tetapi jam kerja tetap ia inginkan. Namun, panggilan itu tidak bisa ia abaikan, diambil nya mantel dan dilampirkan ke lengan sebelum ia mengangkat panggilan itu, ia berharap itu adalah panggilan penting. "Halo," ucap Jungkook ketika telepon rumah itu bersentuhan dengan telinga nya. "Jeon Jungkook," ia mengenal suara itu membuatnya menghela napas dan mengangguk pelan, "Ada apa, Ka Seokjin?" pria itu adalah editor nya dan mungkin ada perubahan yang harus ia kerjakan untuk bab sebelumnya. Jungkook sangat mencintai pekerjaannya dan ia tidak masalah jika ingin membahas isi cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Train To Soul - Taekook Ver
Romance"Orange itu hangat, merah itu terang dan biru itu dingin." Seseorang mengajarkanku bagaimana cara merasakan warna tanpa pernah melihat, seseorang mengajarkanku menggambar dunia lewat kata dan seseorang mengajarkanku mencintai tanpa pernah melihat. ...