16. Paman dan Keponakan

1.1K 171 9
                                    

Part 16 Paman dan Keponakan

“Apa yang kau lakukan, Anna?” delik Monica, segera mencerna keterkejutannya melihat Anna yang telah berhasil mendaratkan ciuman di bibir Leon. Mendorong tubuh Anna menjauh dari Leon yang hanya memutar bola mata dengan jengah karena sikap kekanakan Anna. “Kau mabuk?”

Anna hanya terkikik. Tubuhnya yang sedikit terhuyung berusaha mencari sandaran, lagi-lagi ke arah tubuh Leon. “Sedikit, Tante,” jawabnya dengan tawa kecil.

Delikan Monica semakin membulat melihat Anna yang bergelayut manja di lengan Leon. Kedua tangannya terulur, melepaskan pegangan Anna dan kembali menjauhkan gadis itu dari sang menantu. “Sedikit, itu artinya pikiranmu masih cukup waras untuk mengenali saudaramu sendiri dan tidak menciumnya.”

Anna mencebikkan bibirnya. “Ya, memang apa salahnya mencintai saudara sepupu sendiri. Mereka seharusnya tidak dijodohkan. Leon seharusnya menikah denganku, tante.”

Monica tercengang cukup keras dengan pengakuan tersebut. “K-kau apa?” Suara Monica tercekat di tenggorokan. “K-kau baru saja bilang mencintai Leon?”

Anna tertawa kecil. Mengangguk dengan penuh kemantapan. Kembali mencoba menjatuhkan tubuh ke arah Leon, yang lagi-lagi dicegah oleh menikah.

“M-mencintai seperti wanita dan laki-laki?”

Anne mengangguk lagi. “Kita tak pernah bisa mengatur kepada siapa hati kita akan jatuh cinta, Tante. Seharusnya paman dan tante melarang perjodohan ini karena Leon adalah milikku. Hanya milikku. Anna Thobias Ezardy,” kikiknya.

“Kau benar-benar sudah kehilangan kewarasanmu, Anna.” Monica memukulkan telapak tangannya di kening Anna. “Kau tidak boleh mencintai saudaramu sendiri.”

Bibir Anna semakin mengerucut. Mengusap keningnya. “Tante?” rengeknya.

Kerutan membentuk di kedua alis Leon yang saling bertaut. Keterkejutan di wajah Monica sama dengan keterkejutan yang ditunjukkan mamanya pagi itu. Apakah ini hanya suatu kebetulan? Atau memang ada sesuatu yang lain yang membuat kedua bersaudara itu tampak begitu histeris dengan perasaan Anna yang dimiliki untuknya. Tanda tanya itu semakin membesar, dengan kecurigaannya yang semakin meruncing. Terutama dengan kalimat terakhir sang tante.

“Leon, bawa Aleta ke bawah. Biar tante yang mengurus Anna.” Monica menarik lengan Anna. Kembali ke arah ballroom.

Leon masih tercenung di tempatnya berdiri, menatap sang mertua yang menyeret Anna menjauh dari mereka bertiga.

“Sepertinya papa harus kembali ke dalam,” ucap Nirel kemudian. Membungkuk untuk mencium ujung kepala sang putri dan menepuk pundak Leon menyusul sang istri. “Hati-hati di jalan.”

Aleta mengangguk dan tersenyum untuk sang ayah. Lalu pandangannya teralih pada Leon yang masih membeku. Bahkan tak membalas ucapan selamat malam papanya. Tampak tenggelam dalam pikiran pria itu sendiri.

Aleta ragu apakah harus mengalihkan perhatian pria itu sementara pintu lift bergerak tertutup. Tangannya sudah terulur, hendak memecah lamunan pria itu. Tetapi kembali turun dan ikut terdiam, menunggu pria itu tersadar sendiri.

Entah berapa lama keduanya tenggelam dalam kesunyian tersebut, denting pintu lift yang kembali terbuka di hadapan Aleta akhirnya memecah lamunan Leon. Pria itu mengerjap tersadar dan menatap Aleta. Tanpa sepatah kata pun, ia berdiri di belakang kursi Aleta. 

“Leon? Aleta?” Jacob melangkah keluar dari dalam lift. “Kalian akan pulang?”

Aleta dan Leon tertahan sejenak, membalas sapaan sang paman sebelum masuk ke dalam lift.

“Menurutmu, seberapa besar kemiripan paman dan keponakan biasa terjadi?” Pertanyaan aneh Leon menyela keheningan di dalam lift.

Kepala Aleta sedikit terangkat, menatap pantulan wajah Leon. Pria itu menatap lekat dan dalam, tampak mengamati dan menilai wajahnya sendiri. Keduanya baru saja berpapasan dengan paman Jacob, tentu saja satu orang yang dibandingkan oleh Aleta ketika menatap wajah Leon adalah pria itu dan Jacob Thobias. 

Pupil mata Aleta melebar, menyadari kemiripan sang paman dan Leon. Mulai dari bentuk rahang, hidung yang tegak lurus, bahkan gestur tubuh yang tinggi besar dan dua bola mata biru yang sama pekatnya. Lebih pekat dari yang dimiliki oleh Bastian.

Ujung bibir Leon menyeringai menangkap kesiap kaget Aleta, yang rupanya juga memahami apa yang yang dibicarakannya. “Tidak mungkin, kan?”

Seluruh tubuh Aleta menegang. Tahu ke mana arah pemikiran mereka berakhir. Meski ketidak mungkinan tersebut seharusnya menjadi 100 persen kemustahilan. Tetap saja apa yang terpampang di hadapan mereka terlalu jelas untuk diabaikan.

“Dan tampaknya, mamamu tahu lebih banyak,” tambah Leon lagi. Pandangannya turun, menatap kepala Aleta yang perlahan terangkat.

Aleta menelan ludahnya. Mamanya? Sikap mamanya pada Anna, juga kata-kata mamanya saat mereka pergi ke ruang ganti kembali muncul di benaknya. Yang semakin memperuncing pemikirannya tentang Leon dan Jacob Thobias.

‘Tak adil jika Leon anak Maida dan Bastian anak Yoanna. Maida yang merebut Jacob dari Yoanna. Masing-masing memiliki kelemahan.’

Aleta menggeleng, menepis pemikiran itu dari benaknya. Tetapi pemikirannya malah semakin menjadi. Ia membalas tatapan Leon. Berusaha mencari kemiripan Leon dan Lionel Ezardy. Papa Leon. Bentuk tubuh Lionel sama tinggi dan besar dengan Leon. Selebihnya, kemiripan Leon dan Jacob Thobias memang lebih dominan. Bahkan tinggi Bastian tak setinggi Leon. Juga bentuk wajah pria itu yang lebih mirip Maida.

Ia tak berani membayangkan. Jika ini benar-benar sebuah rahasia kelam yang terpendam jauh di masa lalu, di mana bahkan dirinya belum ada di rahim mamanya. Ia tak akan berani membayangkan jika hal ini sampai terbongkar. Tak hanya akan menggemparkan seluruh keluarga besar. Tetapi juga Thobias Group. Dan …

Bastian?

Mata Aleta terpejam. Sudah cukup dengan Bastian yang selalu menjadi bayangan Leon di balik kekuasan sang papa di perusahaan. Rahasia ini akan membuat pria itu semakin terpuruk sedih.

Lift berdenting dan pintunya bergeser terbuka. Leon mendorong Aleta keluar, menuju tempat mobil Leon diparkir. Masih tanpa bersuara, Leon memidahkannya di kursi penumpang, memasang sabuk pengaman dan melipat kursi rodanya sebelum menyimpan di bagasi.

Ada yang aneh dengan raut datar dan dingin pria itu yang terasa tak biasa bagi Aleta. Sepanjang perjalanan keduanya sengaja mempertahankan keheningan tersebut meski pemikiran yang sama tak berhenti memenuhi benak keduanya. 

Dan malam ini, Leon tidak melajukan mobil menuju kediaman Ezardy. Melainkan ke apartemen pria itu. Aleta tak berani mempertanyakan hal tersebut. Tanpe menggunakan kursi roda, Leon menggendong tubuh Aleta naik ke lantai tertinggi gedung. Begitu sampai di unit pria itu, Leon langsung membaringkannya di tempat tidur. Melucuti pakaian mereka dan menidurinya. Emosi dalam setiap sentuhan dan cumbuan pria itu kali ini terasa berbeda. Ada kemarahan yang berusaha dipendam.

Saat pria itu berhasil membawa keduanya dalam puncat kenikmatan. Leon lekas memisahkan tubuh mereka, melompat turun dari ranjang dan menghilang di balik pintu kamar mandi yang dibanting tertutup. 

Aleta menarik selimut, menutupi tubuh telanjangnya dan menatap pintu kamar mandi. Suara gemericik air terdengar cukup kencang. Dengan napas yang masih terengah, Aleta memekik kaget ketika suara hantaman dan pecahan kaca terdengar dari dalam. 

“L-leon?

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang