24. Keputus Asaan Bastian

1K 174 17
                                    

Part 24 Keputus Asaan Bastian

“Aleta?” Bastian yang baru setengah menutup pintu pun terkejut dengan keberadaan gadis itu di dalam toilet. Sebelum mencium Berlian, seingatnya Aleta masih  duduk di samping Leon di ruang keluarga.

Kesiap pelan Aleta memecah keterkejutan Bastian, melihat gadis itu yang menatap ke arah tangan kanannya.

“Kenapa dengan tanganmu?” Aleta mendorong kursi rodanya mendekat pada Bastian. Memeriksan luka di telapak tangan pria itu.

Bastian tak menjawab. Membiarkan tangannya disentuh oleh Aleta dan kecemasan di wajah gadis itu yang mengembangkan perasaan hangat di dadanya.

Aleta yang tersadar, seketika terdiam. Bimbang akan kecemasannya terhadap Bastian atau senyum yang mengembang di kedua ujung pria itu. Tangannya sudah akan melepaskan tangan Bastian ketika pria itu menahannya.

“Bisakah kau membantuku?” Bastian membungkuk, salah satu tangannya mendorong lengan kursi roda Aleta ke belakang. Ia duduk di penutup toilet dan memosisikan Aleta tepat di hadapannya lalu meletakkan tangannya di pangkuan gadis itu. “Aku tak pandai menggunakan tangan kiriku.”

Aleta menelan ludahnya. Wajahnya tertunduk, menatap telapak tangan Bastian yang masih dibasahi darah segar dengan beberapa pecahan kaca yang masih menempel. Menguatkan hati, ia berniat menepis kecemasan yang masih menyalimuti dadanya ketika tangan kiri Bastian mengeluarkan kotak p3k dari laci wastafel dan membukanya dengan sedikit kesulitan.

Tangan Aleta pun bergerak membantu, mengambil kasa dan mulai membersihkan luka Bastian. Meyakinkan hatinya sendiri bahwa ia akan tetap membantu siapa pun yang terluka. Ia melakukan semua ini bukan karena orang yang membutuhkan dan terluka itu adalah Bastian.

“Aku senang. Kau masih peduli padaku.” Bastian menyela keheningan tersebut. Senyum di wajahnya semakin mengembang setiap kali tangan Aleta menyentuh telapak tangannya. Rasanya ia rela terluka berkali-kali, asalkan Aleta yang mengobatinya seperti ini.

Gerakan tangan Aleta yang tengah mengoleskan salep di luka Bastian sempat terhenti dengan kata-kata pria itu. Senyum tipis tersungging di ujung bibir. Baru beberapa saat yang lalu Bastian mencium Berlian dan di saat berikutnya pria itu menggunakan mulut yang sama untuk mengatakan kalimat tersebut.

“Kau tak ingin menjelaskan padaku bagaimana Leon mengetahui hubungan kita?”

Aleta membeku. Wajahnya yang tertunduk sedikit menyembunyikan ekspresi wajahnya dari Bastian. “Dia mendengar pembicaraan kita di ruang tunggu. Di hari pernikahan kami.”

Bastian mengingat dan dialah yang seharusnya berhati-hati sebelum menghampiri Aleta. “Jadi salahku.”

“Tidak sepenuhnya. Lagipula semuanya sudah terjadi.” Suara Aleta datar dan penuh ketenangan. Mencoba tak menciptakan sedikit pun beriak emosi dalam suaranya. Seperti seharusnya hubungan mereka saat ini.

Hening lagi. Cukup lama.

“Pernikahanku akan dipercepat.” Bastian berkata lagi. “Dua minggu lagi. Karena Leon.”

Tangan Aleta yang memasang plester di telapak tangan Bastian sempat terhenti. Biasanya akan ada kejutan di tengah acara keluarga yang dilakukan setiap bulan ini, dan kali ini kejutan itu diucapkan oleh Bastian sendiri. Alih-alih diumumkan di hadapan seluruh anggota keluarga.

Semua yang terjadi belakangan tentang kepergian Leon yang dibatalkan dan tentang kemungkinan rahasia antara Leon dan Jacob Thobias. Bastian pasti satu-satunya orang yang tidak tahu tentang hal ini. Dan ia bisa membayangkan betapa akan terpukulnya Bastian dengan hal ini. Entah sampai kapan rahasia ini akan tetap terpendam. Leon jelas tak akan melepaskan Bastian.

Menepis semua pemikiran tersebut, Aleta segera menguasai perasaannya dengan cepat, setelah memastikan plester terpasang dengan baik, wajahnya terangkat. “Selamat. Dan aku sudah selesai,” ucapnya. Kemudian memutar kursi rodanya, yang lagi-lagi ditahan oleh Bastian.

“Apakah kau akan baik-baik saja?”

“Ya. Aku harus baik-baik saja.”

Mata Bastian berkedip sekali. Menatap wajah Aleta sedetik dan detik berikutnya menutup jarak di antara wajah mereka.

Aleta berusaha menghindar dengan menoleh ke samping, tetapi Bastian menarik kursi rodanya dan tangan lain pria itu menahan pipi Aleta. Mempertemukan bibir keduanya.

Bastian tak pernah memaksa Aleta, bahkan untuk sentuhan sekecil atau sekedar pegangan tangan. Namun kali ini ia menginginkan Aleta. Keinginannya terhadap gadis itu lebih besar dan kuat dari sebelumnya.

“Bastia …” Aleta berusaha memberontak. Wajahnya kembali ditangkap dan bibirnya kembali tenggelam dalam kelembutan ciuman Bastian. Aleta dibuat bimbang akan penolakannya atau rasa cintanya yang masih tersisa untuk pria itu.

“Aku mencintaimu, Aleta. Kumohon,” bisik Bastian di tengah ciumannya.

Aleta membeku. Merasakan keputus asaan yang begitu besar dalam suara Bastian. Meski ciuman Bastian sudah berhenti, ia tak lagi bergerak menjauh. Dengan telapak tangan yang masih merangkum wajahnya, pria itu bergerak menjauh. Menyisakan jarak yang cukup untuk bertatapan dengannya.

Air mata yang menggenangi kedua mata Bastian, adalah ketulusan yang tak pernah tidak berhasil menyentuh perasaannya.

“Aku menyesal. Aku menyesali semuanya. Kenapa kita harus menyembunyikan cinta kita di hadapan semua orang? Seharusnya kita memberitahu semua orang tentang hubungan ini. Seharusnya aku …” Kalimat Bastian terhenti oleh air mata yang jatuh ke tepi dan meleleh di pipinya.

Aleta menggeleng. Melepaskan wajahnya dari sentuhan Bastian. “Semua sudah berlalu, Bastian. Tak akan ada yang berubah dengan penyesalanmu.”

“Begitu pun dengan perasaanku.”

Sekali lagi kata-kata dan sorot cinta yang masih menyelimuti kedua mata Bastian untuknya, membuat Aleta kesulitan mengendalikan pengaruh pria itu terhadap perasaannya. “Aku sudah menikah dan kau pun akan segera menikah. Dan meski kita berdua tidak menikah dengan pasang masing-masing, semua terlalu mustahil untuk kita berdua. Aku bukan orang yang akan diinginkan mamamu sebagai seorang menantu. Itu alasanmu melindungiku darinya dengan menyembunyikan hubungan kita.”

Bastian menggeleng. “A-aku … aku tak akan pernah memenuhi ekspektasinya yang begitu tinggi. Jadi apa salahnya aku akan mengecewakannya tentang pasangan. Aku akan melepaskan posisiku. Dan kita bisa meninggalkan semua ini.”

Aleta terkesiap dengan keras. “A-apa maksudmu, Bastian?”

Bastian menggenggam kedua tangan Aleta. “Aku sudah muak dengan semua ini, Aleta. Tak ada satu hal pun yang berhasil untukku di sini. Pekerjaan bahkan dirimu. Satu pun tak ada yang bisa kupertahankan. Aku tak bisa menghabiskan seluruh hidupku dengan meratapi semua kegagalan ini. Apa kau ingin pergi denganku?”

Aleta masih membeku, otaknya berusaha mencerna kata-kata Bastian. Ke mana mereka akan pergi? Ke mana mereka bisa pergi?

“Kita bisa pergi ke mana pun. Ke tempat yang tak bisa ditemukan oleh semua orang yang mengenal kita di tempat ini. Lagipula papaku tak akan kehilangan apa pun. Leon selalu lebih membanggakannya dibandingkan aku. Apa kau mau?”

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang