2. Calon Tunangan

1.3K 183 5
                                    

Part 2 Calon Tunangan

Suara denting bel yang ditekan terus menerus memaksa Leon membuka kedua matanya. Dengan penuh keengganan, pria itu melangkah turun dari ranjangnya yang hangat. Yoanna Ezardy, anak kedua dari tiga bersaudara sekaligus mama kandungnya berdiri di depan pintu apartemen. Memasang wajah kesal ketika menerobos masuk ke dalam apartemennya.

“Mama tidak akan merestui pernikahanmu dengan anak cacat itu.”

“Kenapa? Dia keponakan mama.”

“Anak tiri,” koreksi Yoanna. Menahan kesal di kedua ujung bibir.

“Anak tiri tante Monica, adik mama.”

“Dia sama sekali tak memiliki hubungan darah dengan keluarga kita, Leon.” Suara Yoanna mulai diselimuti kefrustrasian akan permainan kata sang putri. “Tak ada keuntungan apa pun yang akan kau dapatkan dengan menikahinya.”

“Mama lebih suka aku menikah dengan Anna?”

Sejenak wajah Yoanna terdiam, tetapi kemudian menggeleng. “Berlian Mamora.”

“Calon tunangan Bastian?”

Yoanna mengangguk. “Mama sudah bicara dengan kedua orang tuanya. Kau hanya butuh mendekati Berlian. Bastian jelas tak lebih tampan dan pintar darimu. Dia akan lebih memilihmu.”

Meski Leon setuju dengan kalimat terakhir sang mama, kepalanya menggeleng dengan tegas. Keantusiasan sang mama pada Berlian dan ketidak sukaan yang terlalu jelas pada Aleta malah membuat Leon semakin tertantang. “Leon akan menikahi Aleta.”

Mata Yoanna membeliak akan keputusan telak sang putra. “Jangan gila kau, Leon.”

Leon mendesah pelan. Beranjak dari duduknya dan berjalan pergi. Hendak kembali tidur sebelum acara makan malam keluarga di kediaman Thobias. Acara keluarga yang diadakan sebulan sekali dan bergantian. Di minggu pertama. 

Yoanna setengah berlari menyusul langkah sang putra sebelum masuk ke dalam kamar. “Tantemu sengaja menjodohkanmu dengannya karena tak ingin kau mengancam posisi Bastian. Kau sadar apa yang akan kau lakukan?”

“Lalu, apakah sekarang mama meragukan kemampuanku untuk duduk di kursi tertinggi Thobias Group?”

Pertanyaan balasan Leon membuat mulut Yoanna terkatup rapat. 

“Percayalah, Berlian akan menjadi menantu yang lebih merepotkan ketimbang Aleta. Leon bisa melihatnya dengan jelas.” Leon menarik tangannya dari pegangan Yoanna. “Kecuali mama tak percaya dengan penilaianku.”

“Dia bahkan tak bisa menggunakan kakinya dengan benar.”

“Dokter mengatakan dia tidak akan bangun dari komanya lima bulan yang lalu.”

“Mama akan memilih mati daripada harus cacat.”

“Itulah yang membedakan mama dan Aleta.”

“Kau membela anak cacat itu?”

“Yang kutahu. Mama sebaiknya bersiap untuk acara keluarga nanti malam. Ada kejutan yang menunggu.”

Wajah kesal Yoanna berubah pucat. “N-nanti malam?”

Leon mengedikkan bahunya. “Mama hanya perlu tahu perjodohan ini serius, tak harus memberikan restu.”

*** 

Wanita dengan tinggi semampai itu melenggok penuh kepercayaan diri saat turun dari mobil mewahnya yang sudah terparkir rapi di halaman kediaman Thobias yang luas. Suara hak sepatu yang beradu dengan jalanan setapak menuju teras rumah, memecah keheningan malam. Udara malam yang dingin sama sekali tak membuatnya kapok untuk berpakaian tipis yang hanya sebagian menutupi tubuhnya. Mengabaikan rasa dingin menusuk kulitnya di mana-mana. Tak hanya perhiasan mahal yang menggantung di telinga dan melingkari leher serta pergelangan tangannya. Tas bermerk yang menggantung di pundaknya menyempurnakan penampilannya yang super mewah tersebut.

“Aleta?” Wanita itu memasang raut terkejut yang dibuat ketika langkahnya harus terhenti oleh seorang gadis yang duduk di kursi roda. Matanya yang bening mengamati penampilan sederhana dan pas-pasan Aleta.

Mata bulat Aleta terangkat, menatap Berlian yang menyilangkan kedua lengan di depan dada penuh keangkuhan. Wanita itu tampak berkilau. Terlalu berkilau hingga menyilaukan pandangannya. “Kau di sini?”

“Ya, tentu saja. Aku mendapatkan undangan langsung dari tante Maida.”

Mata Aleta berkedip. Kesedihan menyelimuti kedua bola hijaunya yang jernih saat wajahnya tertunduk. 

“Sebaiknya kau sadar diri, Aleta. Sebelum keinginanmu terhadap Bastian memberimu kekecewaan yang lebih besar. Hanya kau yang bisa menghentikan dirimu sendiri,” ucap Berlian dengan raut mencemooh. Sebelum kemudian berjalan melewati Aleta dan sengaja menendang roda kecil yang bahkan sama sekali tak menghalangi langkah wanita itu.

Aleta hanya mendesah pelan, menatap kepergian Berlian yang sudah menaiki undakan teras dan masuk ke dalam rumah. Kedua tangan Aleta kembali mendorong roda kursinya, sedikit kesulitan dengan undakan yang tak lebih dari lima senti tersebut. Beberapa kali usahanya tak membuahkan hasil, yang membuatnya tersadar akan kebenaran kata-kata Berlian.

Baru saja ia berpikir seharusnya menunggu mama dan papanya, tiba-tiba dorongan dari arah belakang membuatnya terkejut. Semakin terkejut ketika kepalanya berputar dan menemukan bukan sang mama yang membantunya.

“Terima kasih, Leon,” ucapnya dengan kaku. Mendorong kursinya maju, sengaja agar pria itu segera melepaskan pegangan.

Leon hanya mengedikkan bahunya. Kakinya menghalangi roda kecil Aleta, mencegah gadis itu menjauh.

“Lepaskan, Leon.” Kepala Aleta terangkat, masih berusaha mendorong kursinya. Tetapi kekuatan Leon jauh lebih besar ketimbang kedua tangannya kecil dan kedua kakinya yang sama sekali tak bisa digunakan untuk melawan. 

Leon menangkap kedua lengan kursi Aleta, mendorong mundur dan berjongkok di depan lutut Aleta. Kedua matanya yang tajam mengamati wajah Aleta yang tertunduk. Dengan tubuh yang beringsut ketakutan. “Kau sudah tahu?”

“T-tahu apa?”

“Kejutan di acara makan malam keluarga ini.”

Aleta menggeleng. “Selalu ada kejutan di setiap acara makan malam keluarga mama tiriku. Apakah aku masih perlu tahu itu?”

Kedua ujung bibir Leon melengkung membentuk senyum. “Kalau begitu, kau perlu lebih terkejut malam ini.”

Kedua alis Aleta bertaut tak mengerti. Terutama dengan senyum Leon yang semakin melebar.

“Lepaskan, Leon.” Suara panik dari arah belakang membuat Aleta bernapas dengan lega akan tatapan misterius Leon. Kursi rodanya ditarik menjauh dari Leon.

“Tante Monica,” sapa Leon dengan senyum yang berubah ramah. “Paman Nirel.”

“Leon,” angguk Nirel dengan seulas senyum. Berbanding terbalik dengan wajah dingin Monica. Yang lekas memanggil pelayan untuk membawa Aleta masuk ke dalam rumah lebih dulu.

“Apa yang kau katakan pada Aleta?” cecar Monica begitu Aleta menghilang dari pandangan ketiganya.

Leon hanya menggeleng ringan. “Leon hanya menyapa calon tunangan Leon, tante. Ah, apakah mulai sekarang Leon harus membiasakan diri memanggil paman dan tante dengan papa dan …”

“Tak perlu repot. Tante tak akan menyetujui perjodohan ini. Aleta bukan pionmu untuk meredakan perselisihanmu dan Bastian. Juga perselisihan mamamu dengan Maida.”

Nirel memegang pundak sang istri, berusaha meredakan amarah Monica yang nyaris tak bisa ditahan. “Leon sudah bicara denganku, Monica,” ucapnya dengan lembut. “Dan aku sudah menyetujui lamarannya.”

Kepala Monica berputar dengan cepat, menatap sang suami dengan kedua mata melotot tak percaya. “A-apa?”

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang