27. Ke Mana Pun Akan Pergi

926 140 8
                                    

PART 27 KE MANA PUN AKAN PERGI

Aleta tersenyum dengan perkembangan kakinya sepanjang satu minggu ini. Dan sepanjang terapi, perkembangannya belum pernah sepesat ini.

Ia tak tahu apa yang mendorong dirinya akan semangatnya yang terasa berapi-api. Dengan kedua tangan berpegangan pada pagar lintasan, kakinya mulai melangkah dengan perlahan. Hari pertama latihan, ia bisa mendapatkan dua langkah yang cukup menguras tenaga. Akan tetapi, hari selanjutnya semuanya berjalan lebih mudah dan semakin mudah.

"Kerja bagus, Aleta," puji Bastian yang menyambutnya di depan pintu ruang terapi. "Jika seperti ini terus, tak menunggu berbulan-bulan bagimu untuk berjalan dengan kedua kakimu sendiri."

Aleta tersenyum dan mengangguk. 

"Tanpa alat bantuan," tambah Bastian dengan penuh kepuasan. "Ini benar-benar suatu keajaiban."

Senyum Aleta sudah mengembang lebih lebar ketika tiba-tiba Monica muncul dari ruangan dokter. Ia segera melenyapkan senyumnya dan menatap sang mama. Begitu pun dengan Bastian.

"Bastian?" Monica yang terheran dengan keberadaan Bastian tampak menahan senyum bahagianya. "Kau di sini?"

Bastian tersenyum ramah. "Ya, Tante. Bertemu teman saja. Revan dan kebetulan melihat Aleta."

Monica manggut-manggut. "Ah, temanmu yang dokter itu?"

Bastian mengangguk. Melemparkan satu lirikan pada Aleta.

Perhatian Monica beralih pada Aleta. Dengan senyum yang lebih lebar, merangkum wajah mungil Aleta dengan kedua telapak tangannya. "Bagus, sayang. Mama baru saja bicara dengan dokter. Mama tak sabar memberitahu tentang ini pada papamu."

"Seharusnya kita membuat pesta untuk merayakan semua ini. Tapi …" Monica menoleh pada Bastian. "Tiga hari lagi pesta pernikahan Bastian. Jadi kita bisa menundanya."

Aleta hanya memberikan satu anggukan. Saat mamanya membungkuk dan memeluknya, pandangannya bertemu dengan Bastian. 

Tiga hari lagi.

*** 

Seperti yang sudah diperkirakan, pesta pernikahan Bastian dan Berlian akan menjadi pesta termeriah dan termewah yang sudah disiapkan oleh Maida. Dan tentu saja jauh lebih baik dari pesta pernikahan Leon dan Aleta.

Aleta menatap pantulan tubuhnya di cermin. Mengenakan gaun pesta berwarna biru muda, yang dikirim oleh Maida dengan rancangan khusus. Yang pasti senada dengan seluruh anggota keluarga besar.

Aleta menurunkan kakinya ke lantai, menatap heels yang tampak sempurna di kakinya dengan senyum yang tak berhenti melengkung. Menggerak-gerakkannya ke kiri dan kanan. Masih butuh sedikit waktu baginya untuk berdiri dengan sepatu indah ini.

“Jadi ini perkembangan yang dikatakan oleh mamamu?” Leon tiba-tiba berdiri di belakang kursi roda Aleta. 

Aleta segera menaikkan kakinya, menyembunyikan sepatunya di balik gaun panjangnya dan menatap bayangan wajah Leon di cermin. Meski sering mengantar jemputnya di rumah sakit, pria itu tak pernah tahu perkembangan terapinya.

“Sepertinya kau tak perlu menginjak kakiku saat berdansa nanti.”

“A-aku masih belum bisa berdiri dengan baik.”

“Kau hanya perlu bersandar padaku.”

Aleta menggeleng. “Aku tak ingin menjadi tontonan, Leon. Jika kau ingin berdansa, kau bisa mencari wanita lain.”

“Anna?”

Aleta tak membalas. Siapa pun, tak akan menjadi masalah untuknya.

Kedua tangan Leon memegang pundak Aleta. “Mungkin Berlian?”

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang