Part 49 Tidak Baik-Baik Saja
“Apa kau tahu di mana Bastian? Atau … setidaknya dia memberitahumu ke mana dia pergi?” Suara panik Maida seketika terdengar dari seberang. Aleta tak sempat mendengarkan rentetan kalimat selanjutnya sang tante ketika ponselnya tiba-tiba ditarik dari arah belakang. Berpindah ke telinga Leon yang entah sejak kapan sudah bangun.
“Hmptt …” Pekikan Aleta terbungkam oleh telapak tangan Leon di mulutnya. Menarik tubuhnya kembali duduk di tepi ranjang, bersandar pada dada bidang Leon yang telanjang.
“Semalam dia mengatakan tentang Leon adalah saudara kandungnya. Wajahnya terlihat sangat kacau dan langsung meninggalkan rumah. Hingga sekarang, dia tidak pulang. Tante sudah berusaha mencarinya di mana pun. Tapi sampai sekarang dia masih belum kembali. Dan ponselnya juga sudah tidak aktif. Tante hanya cemas sesuatu terjadi dengannya. Apakah Leon yang memberitahu semua ini pada Bastian?”
“Ya, Tante.” Leon membalas. Kesiap kaget terdengardari seberang. Pria itu tersenyum dingin.
“L-leon?” Maida terkejut oleh Leon yang mengangkat panggilan tersebut sekaligus pengakuan sang keponakan.
“Kenapa kalian membiarkannya menjadi orang tolol selama ini? Menjadikannya satu-satunya orang yang paling tidak tahu hal sepenting ini. Bukankah itu yang lebih membuatnya terluka.”
“Kau benar-benar keterlaluan, Leon. Kau tahu dia masih …”
“Jantungnya baik-baik saja,” penggal Leon. “Dua bulan adalah waktu yang cukup untuk sembuh. Dan jangan mencemaskannya, Tante. Dia sudah dewasa dan cukup kuat untuk menerima kenyataan ini. Jika tidak, dia tak mungkin layak bersaing denganku.”
Tak ada sepatah kata pun yang terdengar dari seberang. Seringai Leon naik lebih tinggi membayangkan wajah sang tante yang menggelap. Mencengkeram ponsel dan menahan diri untuk tidak membantingnya ke lantai.
“Dan lagi. Istriku tak mungkin tahu di mana Bastian. Dia tak lagi punya urusan dengan hidup Bastian. Apalagi mengurusi hal remeh seperti ini.” Leon mengakhiri panggilan dengan senyum kepuasan yang semakin mengembang. Melepaskan bungkamannya pada Aleta.
Begitu lengan Leon yang menahan tubuhnya melonggar, Aleta langsung melompat berdiri. Mengambil ponselnya dari tangan Leon. “Kau benar-benar keterlaluan, Leon.”
Leon mendengus akan kata-kata makian yang sama yang didaptkannya dari saat yang hampir bersamaan. Membuat telinganya terasa gatal. “Kau masih menunjukkan kepedulianmu padanya?”
Kedongkolan di wajah Aleta seketika membeku. Suara rendah yang dikeluarkan Leon, syarat akan ancaman. Aleta menekan amarah yang baru saja akan mengembang di dadanya. Memaksanya mengempis dalam sekejap.
“Aku pria yang pecemburu, Aleta. Sebaiknya kau segera terbiasa dengan yang satu ini.” Pandangan Leon bergerak dari atas ke bawah. Mengamati penampilan Aleta yang setengah telanjang dengan gaun yang sudah robek. Menyadari tatapannya, gadis itu segera menahan robekan di depan dada. “Mau ke mana kau dengan pakaian seperti itu?”
“A-aku … mama baru saja menelpon dan bertanya kapan kita akan pulang.”
Leon melirik jam tangannya yang tergeletak di meja nakas. “Masih pagi.”
Aleta menelan ludahnya. Ketika pandangan Leon beralih kepadanya, kedua mata biru yang gelap tersebut menyiratkan sesuatu yang begitu familiar. Salah satu tangannya ditangkap, menarik tubuhnya kembali naik ke tempat tidur dan gaun robeknya kembali teronggok di lantai.
***
Aleta baru saja selesai mandi ketika bel kamar berdenting. Leon yang sudah berpakaian rapi beranjak dari sofa dan membukakan pintu. Saat berbalik, di tangannya menggantung kantung berwarna putih yang kemudian diberikannya pada Aleta.
“Semua yang kau butuhkan ada di sini.”
Aleta mengangguk. Kembali masuk ke dalam kamar mandi. Selesai mengganti jubah mandi dengan pakaian ganti tersebut, keduanya pulang. Tangan Leon tak melepaskan genggaman dari tangannya. Meski tak mengatakan apa pun, Aleta tahu pria itu tak berhenti mengamati ekspresi wajahnya. Membuatnya lebih berhati-hati untuk memikirkan apa yang terjadi dengan Bastian.
Di mana pria itu berada? Apa yang sedang dilakukan pria itu? Bagaimana keadaan pria itu? Apakah baik-baik saja?
Tentu saja.
Pria itu pasti membutuhkan seseorang untuk bersandar. Meski tak mengatakan apa pun atau mengungkapkan perasaan yang tengah dirasakan, Bastian hanya selalu membutuhkan kehadirannya.
“Kau memikirkannya.” Leon memecah lamunan Aleta. “Lagi.”
Aleta mengerjap. Baru menyadari keduanya berdiri di depan pintu mobil yang sudah dibukakan oleh Leon untuknya.
“Masuk.” Leon mendorong tubuhnya masuk ke dalam mobil. Memasang sabuk pengaman untuk sang istri sebelum berpindah ke balik kemudi.
Aleta berusaha lebih keras untuk tidak memikirkan Bastian sepanjang perjalanan. Yang entah bagaimana, Leon bisa mengendus isi pikirannya dengan sangat mudah. Satu pangggilan dari ponsel Leon, sepertinya dari kantor. Karena setelah panggilan berakhir, pria itu hanya mengatakan akan mengantarnya sampai di depan gedung apartemen. Harus langsung ke kantor.
Aleta turun sendiri, menunggu Leon menghilang dari pandangannya sebelum masuk ke dalam lobi gedung. Masuk ke dalam lift, ketika tiba-tiba lengannya ditarik. Menuju ujung lorong yang sunyi dan tersembunyi dari pandangan lalu lalang penghuni apartemen yang lain.
“B-bastian?” Aleta terkejut. Lebih terkejut lagi dengan penampilan Bastian yang tampak berantakan. Pakaian yang dikenakan tadi malam, tanpa jas. Dengan dasi yang sudah mengendor dan kancing kemeja yang terbuka dua teratas. Lengan kemeja digulung hingga siku. Rambut pria itu tampak kusut. Entah berapa kali pria itu menggusurkan jemari di sana.
“Bagaimana kau mengetahui semua ini?” todong Bastian. Cekalannya di lengan Aleta sedikit ditekan. Menunjukkan emosi yang begitu pekat yang tengah pria itu rasakan. Termasuk kekecewaan. “Kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku?”
Aleta menjilat bibirnya yang kering. “Aku tak tahu semuanya akan menjadi seperti ini, Bastian.”
“Enam bulan. Kita hidup bersama selama enam bulan. Tanpa melewatkan satu hari pun dengan berpelukan. Dan kau sama sekali tak punya kesempatan untuk mengatakannya padaku.”
“Itu hanya kecurigaan Leon. Yang juga baru disadari olehnya. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan padamu dengan semua kecurigaan itu.”
“Setidaknya kau mengatakannya padaku tentang kecurigaan itu, Aleta.” Bibir Bastian menipis. “Di antara semua orang, setidaknya kau yang tidak melakukan hal ini padaku.”
“Maafkan aku, Bastian.” Aleta menahan ringisan di wajahnya. Merasakan tekanan Bastian di lengannya yang semakin menguat dan menyakitinya. “Aku sungguh-sungguh minta maaf.”
“Kau bahkan tak menghubungiku ataupun bertanya apakah aku baik-baik saja. Apakah kau benar-benar tak punya waktu untuk mengirim pesan itu padaku? Kau tak membutuhkan lebih dari satu menit untuk mengetiknya, Aleta.”
Aleta menelan ludahnya. Bagaimana ia harus melakukannya. Leon benar-benar membuatnya sibuk mengurus pria itu. Tak memberinya kesempatan, bahkan hanya untuk memikirkan Bastian, apalagi memegang ponsel dan mengirim pesan tersebut. “Aku tahu kau tak baik-baik saja, Bastian. Dan membutuhkanku.”
“Tapi kau tetap tak melakukannya.”
Aleta kembali menelan liurnya, yang terasa pahit. Menguatkan hati, ia menjawab, “Aku memang tak seharusnya melakukannya, Bastian.”
Mata Bastian mengerjap terkejut dengan jawaban tersebut. Kekecewaan melintasi kedua sorot matanya yang diselimuti keputus asaan. Seolah belum cukup dengan pukulan telak yang dilakukannya Leon tadi malam untuknya, kini Aleta menusukkan pisau yang tajam lebih dalam di dadanya.
“Aku tahu betapa kau membutuhkanku di saat seperti ini. Tapi aku tak bisa lagi menjadi sandaran ataupun menghiburmu.” Sekali lagi Aleta meringis. Tekanan tangan Bastian semakin menguat. Membuatnya tak bisa menahan rasa sakit tersebut lebih lama lagi. “S-sakit, Bastian,” rintihnya. Berusaha melepaskan tangan Bastian.
Bastian tersadar, pegangannya seketika terlepas. Wajahnya yang lebih pucat tertunduk, menatap telapak tangannya. Kata maaf sudah sampai di ujung lidahnya, tetapi tidak pernah lepas dari sana.
Aleta mengusap lengan, tempat Bastian mencengkeramnya.
“Kenapa?” Suara Bastian berubah dingin. “Apakah kau juga lebih memilihnya dibandingkan aku? Seperti yang semua orang lakukan? Tahu bahwa aku tak akan mungkin menang melawannya? Tak mungkin bisa meraih posisiya direbut olehnya?”
Aleta menggeleng. Meski semua orang memilih Leon, ialah satu-satunya orang yang akan berada di sisi Bastian. Apa pun yang terjadi. Hanya saja, keadaannya memaksanya menyeret langkah di belakang Leon.
“Meski dia anak sulung papaku, tetap saja dia tak lebih dari anak haram papaku. Yang dilahirkan di luar pernikahan. Akulah anak sah Jacob Thobias. Aku memiliki hak lebih besar untuk menjadi pewaris tahta papaku.” Bastian menggelengkan kepala dengan keras. Wajahnya terlihat emosional. “Sedikit pun, dia bahkan tak punya hak untuk menjadi penerus papaku.”
Aleta tak tahu harus mengatakan apa untuk membuat perasaan Bastian yang dipenuhi kekalutan ini menjadi sedikit lebih baik. Memeluk pria itu? Tidak. Itu hanya akan membuat Bastian ingin membutuhkannya lagi dan lagi. Menghapus air mata yang berusaha pria itu urai di kedua mata? Ia pun tak lagi bisa melakukannya.
“Maafkan aku, Bastian,” ucap Aleta lirih, nyaris tak terdengar.
“Aku membutuhkanmu, Aleta. Aku membutuhkanmu untuk menghadapi semua ini.” Kali ini nada suara Bastian merendah. Tubuh pria itu jatuh berlutut di lantai. Kepalanya tertunduk dalam.
Aleta terkejut, tubuhnya bergerak mundur. Tetapi hanya mendapatkan setengah langkah karena punggungnya membentur dinding lorong. “B-bastian?”
Pundak Bastian bergetar, dan suara isak tangis memecah kesunyian lorong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sang Pewaris
RomanceLeon tak perlu mengerahkan kekuatannya untuk menarik tubuh Aleta ke pangkuannya. Selain karena tubuh gadis itu begitu mungil dan ringan, kedua kaki yang lumpuh itu tak bisa diandalkan untuk memberontak. "Kau bilang tak akan tertarik dengan gadis cac...