"Jadi, kalian habis dari Jepang?"
Dua orang yang sedang menyantap makanan itu seketika mengangkat wajah. Salah satu dari mereka lalu menjawab. "Iya, Ma. Nyenengin istri," lalu menatap sang istri yang duduk di sebelahnya.
"Habis liburan gitu, bakal jadi nggak?"
Wanita yang mengenakan atasan berbahan knit itu mencengkeram garpu kala mendapat pertanyaan bernada mengejek itu. Dia lalu memaksakan senyuman. Pertanyaan semacam itu sudah sering dia dapat, tapi selalu membuatnya sebal. "Doain, ya, Ma."
"Kalian udah nikah delapan tahun, loh."
"Sabar, Ma."
Amor menatap suaminya yang menjawab dengan lembut. Dia lalu melanjutkan makan, meski ekor matanya mampu melihat mama mertuanya menatap tajam. Dia mencoba terlihat biasa saja, meski rasanya ingin segera kabur.
Amor Tatyana, sudah delapan tahun menjalani kehidupan rumah tangga bersama Evas Ferdinan. Kondisi mereka sama-sama sehat. Bahkan, sebelum menikah mereka sempat konsultasi ke dokter dan mengecek kesehatan masing-masing. Dari awal menikah, mereka sudah berencana ingin segera memiliki anak. Sayang, delapan tahun berlalu, mereka belum dikaruniai buah hati.
"Kalian nggak mau coba bayi tabung aja?"
Belum juga Amor tenang, pertanyaan dari mama mertuanya kembali terlontar. Dia menatap suaminya yang menyeduh teh hangat pesanannya. Kemudian dia menatap mama mertuanya yang memperhatikannya. Bahkan, wanita itu terlihat tidak tertarik dengan steak berharga jutaan yang dipesan.
"Amor maunya yang alami aja," ujar Evas sambil meletakkan gelas ke meja. "Iya, kan, Sayang?"
"Iya." Amor tersenyum puas. Dia paling senang jika sang suami membelanya. Tidak seperti mama mertuanya yang terus menyudutkannya. Amor merasa, mertuanya banyak berubah di tahun ketiga pernikahannya. Mulai mendesak ingin cucu dan bahkan selalu mengomentari ini itu.
Ayum geleng-geleng, melihat dua orang di depannya yang begitu santai. "Umur terus jalan. Nggak kasihan anaknya nanti kalau kalian keburu tua?" tanyanya. "Mama juga udah makin tua."
"Ma, memang belum waktunya dikasih aja," jawab Amor pelan. "Aku juga pengen cepet-cepet ngasih cucu buat mama."
Evas mengangguk setuju. "Sabar bentar ya, Ma."
"Mana bisa mama sabar?" Ayum mengambil minumannya dan menegaknya kasar. Setelah itu dia menatap anak satu-satunya itu. "Vas, suruh istrimu nerapin hidup sehat. Bukannya males-malesan terus."
Tangan Amor terkepal erat. Wajahnya yang tidak ditutupi make up seketika memerah. Dia sangat lelah, baru pulang dari Jepang dan langsung menemui sang mertua. Justru, mertuanya membahas masalah ini.
"Coba ikut kelas yoga, terus konsultasi ke dokter. Jangan males-malesan kalau diajak suami ke dokter."
"Ya, Ma!" Amor mengambil air mineral lalu meminumnya dengan posisi agak menyerong.
Ayum mendengus melihat kelakuan menantunya yang lama-lama menyebalkan. Dulu, dia sangat kagum ke Amor. Wanita itu cantik dan terlihat penurut. Tetapi, lama kelamaan wanita itu semakin tidak bisa dibilangi. Setiap dinasihati, ekspresinya selalu terlihat mengejek. Dia jadi kasihan ke anaknya yang sering kali menuruti mood Amor.
"Udah, jangan bahas itu," ujar Evas tidak ingin suasana menjadi kacau.
Amor meletakkan botol air mineralnya dan melanjutkan memakan steak. "Kabar Papa gimana, Ma? Kok nggak ikut makan malam?"
Ayum menatap Amor yang terlihat sekali berusaha menghindari pembicaraan. Dia lalu menatap Evas yang menyudahi kegiatan makannya. "Kamu ingat anak Bu Wardani?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MI AMOR: WANITA YANG DIKHIANATI
RomanceNamanya Amor. Delapan tahun menjalani kehidupan pernikahan, tapi belum memiliki momongan. Dia terus terusik ibu mertuanya yang terus menanyakan keturunan. Sementara suaminya, Evas, mulai terlihat ada tanda-tanda menduakannya. Apakah Amor bisa mempe...