Dinner Amor dan Evas berjalan dengan lancar. Pihak hotel benar-benar melakukan pelayanan yang terbaik. Ruang makan tadi, dihias dengan beberapa lilin di tengah dan lampunya diganti temaram. Sementara chef andalan hotel menyelesaikan masakannya dari dapur kamar mereka.
Ada dua pelayan yang dengan ramah ketika menyajikan makanan mereka. Amor dan Evas seperti seorang raja dan ratu. Meski itu bukan yang pertama kali, Amor masih bisa merasakan kebahagiaan dan tidak berkurang sedikitpun.
"Happy?" tanya Evas setelah chef dan pelayannya undur diri.
Amor tidak langsung menjawab. Dia memotong strawberry panakota lalu memakannya. Barulah setelah itu menatap Evas. "Happy. Kan, makan enak."
"Jadi, karena makanan? Bukan karena aku?"
"Karena kamu juga."
"Kok jawabnya kayak keberatan gitu?" canda Evas.
"Sayang!" Amor mulai mengeluarkan jurusnya. Dia menarik bibir ke dalam lalu mengedipkan mata beberapa kali. "Semua ini karena kamu. Kalau nggak sama kamu, nggak mungkin hidupku sebahagia ini."
Evas tersenyum senang. "Jadi inget waktu pertama kali kita ketemu."
Amor menutup sisi wajahnya lalu memakan kuenya. "Jangan inget itu."
"Kenapa? Malu?" tebak Evas meski sudah tahu jawabannya. "Kalau malam itu nggak ketemu, nggak mungkin kita kayak gini."
"Iya, sih!" Amor menurunkan tangannya dan sepenuhnya menatap Evas. "Andai tahu bakal ketemu jodoh, pasti aku pakai baju yang lebih berkelas."
"Gitu?"
Amor mengangguk. "Hari itu aku habis gajian, terus makan enak. Aku nggak terlalu peduli sama penampilan, yang penting ke restoran yang aku pengen."
"Eh, ternyata mejanya sebelahan sama aku," lanjut Evas.
"Eh ternyata ada cowok yang ngajak kenalan."
Evas mengangguk samar. "Tapi, kayaknya kamu lihatin aku duluan."
"Ih, enggak, ya!" Amor menggeleng tegas. "Aku lebih fokus nikmatin steak yang harganya jutaan."
"Jadi, pesonaku dikalahin sama steak?"
"Iya! Kenapa?"
"Yakin?" Evas mengedipkan sebelah matanya. "Tapi, setelah aku ajak kenalan, kamu makin gencar chat. Ya, kan?"
"Huh...." Amor mengambil gelas minuman di depannya dan menegaknya pelan. "Ya karena kamu lama kalau bales. Sampai sekarang."
"Aku lebih suka telepon."
"Ya aku nggak betah nunggu teleponmu yang cuma malem doang," keluh Amor. Dia sudah berkali-kali mengatakan ini, tetapi tetap saja malu. Memang, jika dipikir Amorlah yang gencar mengirimkan pesan ke Evas. Meski, lelaki itu lebih dulu mendekatinya.
"Sekarang, kita udah jadi suami istri. Udah delapan tahun lagi."
Amor menatap wajah Evas yang semakin dewasa di usia 33 tahunnya. Dia menjadi saksi perubahan Evas yang dulu agak kurus, sekarang memiliki tubuh yang ideal. Dia menjadi saksi, Evas yang dulu selalu memotong pendek rambutnya, kini tatanannya lebih mengikuti tren.
"Makasih, selama delapan tahun udah setia nemenin," aku Evas.
Air mata Amor seketika turun. Dia selalu sedih dan terharu jika mengingat perjuangan mempertahankan rumah tangganya. Sementara ada sang mertua yang selalu menekannya. Bahkan, sempat meminta Evas menikah lagi. "Maaf, ya. Aku belum bisa kasih kamu keturunan."
KAMU SEDANG MEMBACA
MI AMOR: WANITA YANG DIKHIANATI
RomanceNamanya Amor. Delapan tahun menjalani kehidupan pernikahan, tapi belum memiliki momongan. Dia terus terusik ibu mertuanya yang terus menanyakan keturunan. Sementara suaminya, Evas, mulai terlihat ada tanda-tanda menduakannya. Apakah Amor bisa mempe...