HAPPY READING MALOV🤍
.
.Hal yang pertama kali Juan dapati saat membuka mata adalah langit-langit berwarna putih bersih. Bau antiseptik memasuki indra penciumannya, membuat Juan yakin bahwa ia sedang berada di rumah sakit.
"Juju, udah bangun dari tadi? Kamu harusnya kalo sakit bilang, Ju. Jangan diem aja. Untung abang tiba-tiba pengen main ke rumah kamu coba kalo ngga? Kamu bakal pingsan semaleman tanpa ada yang nolongin. Kalau ada apa-apa gimana?" omel Dika yang baru saja keluarga dari kamar mandi. Ia benar-benar khawatir pada Juan. Apa lagi ia lah yang menemukan Juan pingsan di kamarnya tadi malam.
Namun, bukannya menjawab Juan malah balik bertanya, "Abang, Papa mana?"
Dika terdiam sejenak, membuat Juan heran.
"Oh, Papa lagi di kantin? Atau lagi pulang sebentar ambil barang?" tanya Juan lagi, tetapi, Dika masih tetap diam.
Juan kemudian tersadar, ia tersenyum kecil. Miris sekali nasibnya.
"Papa ga mau ke sini, ya?"
"Bukan, Om Jeff bentar lagi datang, Juju jangan negative thinking! Ga baik," kata Dika, berusaha menenangkan Juan.
Juan hanya diam, ia tidak menanggapi Dika sama sekali. Rasanya menyakitkan saat Jeffrey perlahan mulai menjauhinya. Mungkin benar kata Riden? Juan hanyalah anak yang menyusahkan.
"Abang kalo mau pergi gapapa, Juju bisa di sini sendirian," ucap Juan begitu menyadari Dika sudah rapi dengah stelan kantornya.
"Maaf, ya, Ju. Nanti begitu kerjaan Abang udah selesai, Abang ke sini lagi." Dika mengusap pelan kepala Juan. Juan sudah banyak berubah.
Dika ingat betul seberapa manja Juan, apa lagi ketika sedang sakit. Juan tidak akan mau ditinggal sendirian, ia akan membut semua orang terus di dekatnya. Dika bahkan sudah menyusun alasan-alasan agar ia bisa berangkat bekerja, tetapi, Juan justru mengizinkannya tanpa perlu di bujuk.
"Iya, gapapa,"
Juan juga sedikit bicara belakangan ini. Juan memang anak yang pendiam, tetapi tidak jika sedang bersama orang-orang terdekatnya.
"Nanti dokter ke sini. Kalo butuh apa-apa minta tolong perawat, ya? Abang berangkat dulu."
Begitu Dika pergi, Juan tak lagi sanggup menahan air matanya. Ah, Juan sudah lelah menangis. Juan malu jika harus menangis lagi, tetapi air mata itu keluar begitu Juan mengingat hal-hal indah di hidupnya dulu.
"Papa benci, ya, sama Adek?" gumamnya.
"Mama juga ga ada kabar, padahal mama suruh Adek ikut Mama kalau ga betah sama Papa."
"Mama marah, ya, sama Adek? Adek nakal, makanya Mama ga mau ketemu Adek lagi?"
Juan menghapus air matanya begitu mendengar suara pintu terbuka.
"Selamat pagi Juan, kayanya kamu kangen sama saya, ya? Sengaja banget ga makan? Ga minum obat juga?"
Juan tersenyum tipis begitu melihat dokter tersebut.
Dokter Ali, dokter yang menangani Juan sedari kecil. Juan cukup akrab dengan Dokter Ali.
Dokter Ali melakukan beberapa pemeriksaan pada Juan, ditemani seorang perawat perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐉𝐮𝐚𝐧𝐝𝐚 [TERBIT]
JugendliteraturHidup dengan limpahan harta dan kasih sayang sedari kecil, membuat Juan tidak tahu jika takdir ternyata begitu kejam. Di mata orang lain, kehidupan Juan sempurna. Ia tampan, kaya, dan keluarganya harmonis. Namun, siapa yang tahu takdir? Jika boleh...