HAPPY READING MALOV🤍
.
.Sudah satu minggu sejak kepergian Nek Fatimah, tetapi Juan melihat Riden masih saja sering menangis sendirian di kamarnya. Sejak dua hari yang lalu, Riden akhirnya mau untuk tinggal bersama dirumah Juan. Bagaimanapun, hanya mereka keluarga Riden yang tersisa. Rumah dan toko peninggalan Nek Fatimah masih tetap dirawat oleh orang suruhan Jeffrey, Riden pun masih sering ke sana jika merasa rindu dengan neneknya.
Juan berjalan menghampiri Riden dan Biru yang tengah duduk berdua di ruang keluarga. Jeffrey dan Bunga saat ini tengah pergi keluar, sehingga hanya tersisah Juan, Biru, dan Riden di rumah. Sejujurnya, sejak kepindahan Riden ke rumahnya Juan merasa Biru tidak lagi dekat dengan Juan. Juan yang biasanya akan menghabiskan hari bersama Biru justru kini Ridenlah yang selalu menghabiskan hari bersama Biru. Bunga dan Jeffrey pun lebih perhatian pada Riden, entahlan, Juan hanya merasa kurang diperhatikan. Namun, ia berusaha mengerti bahwa Riden tengah dalam keadaan berduka, wajar jika semua orang lebih memperhatikan Riden saat ini.
"Kak Biru, Riden, keluar bentar mau ga?" ajak Juan. Ia merasa bosan jika harus keluar sendirian.
"Ayo, deh, bosen juga di rumah terus," kata Biru setuju dengan ajakan Juan.
Tetapi Riden tidak, ia nampak enggan. "Di rumah aja, gue mager. Ayo, sini, Ju. Duduk di deket gue," ucap Riden sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya.
"Yah, kok, gitu? bentar aja, udah sore juga jadi ga panas-panas banget di luar," balas Juan. Ia masih kekeh ingin keluar rumah. Lagi pula, ia hanya mengajak mereka ke taman yang tak jauh dari perumahan.
"Udah, Dek, duduk aja sini. Enakan di rumah juga kalo dipikir-pikir. " Biru menengahi keduanya.
Juan sebenarnya sudah ingin marah sejak tadi. Namun, ia sudah bertekad untuk tidak lagi menjadi orang yang egois. Kemudian, dengan berat hati akhirnya Juan mengalah. Ia memilih untuk berjalan-jalan keluar sendirian.
Juan menyusuri jalan perumahan yang sepi sore itu, sekarang sudah pukul lima mungkin orang-orang tengah bersiap untuk makan malam di rumah masing-masing.
Begitu tiba di taman, ia memilih untuk duduk di bawah pohon yang tidak jauh dari danau buatan. Sebenarnya Juan ingin membeli siomay, akan tetapi ia urungkan niat tersebut karena mengingat ia yang tidak bisa memakan siomay sebebas dulu.
Juan menghela napasnya, menyandarkan tubuhnya ke pohon lalu mulai memikirkan banyak hal. Juan dan sifat overthinking-nya yang selalu melekat. Ia tentu tahu kalau hal tersebut hanya akan memperburuk kondisi kesehatannya tetapi Juan tidak bisa menahan untuk tidak berpikiran buruk. Entahlah, Juan sendiri sudah merasa sangat lelah sekarang. Meskipun ia sudah mendapat keluarga baru, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan keluarganya yang dulu. Hanya ada ia, Jeffrey dan Tiffany, itu lebih baik bagi Juan. Lagi-lagi Juan menghela napas saat perasaan sesak memenuhi dadanya, bukan karena penyakitnya yang kambuh tetapi karena rasa rindunya pada Tiffany.
"Mama, Adek kangen. Mama kangen juga ga sama Adek?" lirihnya sembari memandang langit sore.
Juan beranjak dari duduknya. "Gue ga boleh gini terus, ayo, Juan! Lo pasti bisa, jangan egois!"
Nyatanya, perasaan sedih Juan sore ini hanya karena ia iri pada Riden. Ya, Riden mendapat perhatian penuh dari Jeffrey, Bunga, dan Biru, bahkan dari teman-temannya di sekolah. Hal tersebut membuat Juan merasa tersisihkan. Bukan kekanak-kanakan, Juan hanya tidak terbiasa. Rasanya menyakitkan saat semua orang seolah tidak melihat keberadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐉𝐮𝐚𝐧𝐝𝐚 [TERBIT]
Roman pour AdolescentsHidup dengan limpahan harta dan kasih sayang sedari kecil, membuat Juan tidak tahu jika takdir ternyata begitu kejam. Di mata orang lain, kehidupan Juan sempurna. Ia tampan, kaya, dan keluarganya harmonis. Namun, siapa yang tahu takdir? Jika boleh...