✨ - 09

2.5K 186 32
                                    

HAPPY READING MALOV🤍
.
.

Hari yang tidak pernah Juan harapkan terjadi, kini justru tengah ia hadiri.

Dulu waktu kecil, Juan pernah bertanya hal random pada orang tuanya. 'Mama, Mama sama Papa, kan, sudah menikah. Kenapa waktu Mama sama Papa menikah Adek ga diajak? Adek, jadi ga ada di foto nikahnya Mama sama Papa'

Ternyata lebih baik ia tidak ada di foto pernikahan orang tuanya, daripada ia harus menahan tangis di acara pernikahan Papanya. Jeffrey terlihat sangat tampan hari ini.

Juan tidak menyangka semua ini nyata, ia benar-benar ingin menghilang saja rasanya. Dika berdiri di samping Juan, ia senantiasa merangkul bahu lebar Juan. Tidak akan Dika biarkan orang lain memandang Juan lemah. Juan lah yang terkuat di sini. Dika akan terus merangkul bahu itu, agar tidak luruh.

"Abang, Juju masih berharap semua ini cuma mimpi. Takdir jahat banget jadikan hidup Juju sebagai permainan," lirih Juan sambil menahan tangis. Dika menatap lekat netra berkaca Juan, kepalanya sedikit menunduk karena perbedaan tinggi badan mereka.

"Juju, ingat kata Abang? Takdir itu ga jahat, ini semua bukan salah takdir. Kamu mengalami ini, pasti ada hikmahnya."

Benar, Juan kira ini semua karma yang harus ia tanggung.

Acara berlangsung dengan lancar. Beberapa kerabat datang ke acara bahagia tersebut. Tidak ramai, tamu yang datang mungkin hanya sekitar empat puluh, samai lima puluh orang.

Semua orang saat ini tengah mengantri untuk mengambil foto dengan Jeffrey dan Bunga. Kecuali Juan tentunya.

Ia hanya duduk di kursi yang letaknya paling jauh dari keramaian.

Juan menoleh saat merasa ada yang duduk di kursi sebelahnya. Juan kira itu Dika yang baru saja selesai berfoto, tetapi bukan. Orang itu adalah Biru dan seorang pemuda di sampingnya.

Tatapan Juan justru dengan refleks melihat tangan Biru yang dibalut kain kasa berwarna putih. Ia kembali mengingat kejadian kemarin, hatinya kembali sakit. Apa setelah ini, Jeffrey akan sering membentaknya?

"Juan, gimana perasaan kamu?" tanya Biru dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Biru tampak sangat bahagia.

Juan menolehkan kepalanya, kemudian kerucap, "Menurut, lo? Gue bakal seneng ga saat kehilangan sesuatu yang gue sayang?"

"Ngga Juan, kamu ga kehilangan. Malah nambah, kan?" gurau Biru. Namun, sepertinya Juan terlalu serius.

"Lo seneng? Wajar, sih, orang tua lo lengkap sekarang. Ga kaya gue." Juan melirik Biru sinis, nada bicaranya pun sangat ketus.

Biru canggung. Ah, ia melupakan sesuatu.

"Oh, iya. Kenalin, ini Riden. Dia sepupu aku," ucap Biru memperkenalkan pemuda yang sedari tadi menatap Juan lekat dan sepertinya pemuda ini membenci Juan.

Hanya dugaan Juan saja, jika benar pun ia tidak heran. Semua orang berpihak pada Biru saat ini.

Biru justru menjadi semakin canggung saat Juan dan Riden hanya saling tatap. Keduanya saling melempar tatapan tajam.

Biru menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia kemudiam pamit pada keduanya untuk mengambil air minum sejenak.

Juan dan Riden masih saling diam. Juan sendiri merasa tidak ada yang perlu dibicarakan dengan Riden.

"Juan, lo ga bahagia dengan pernikahan ini? Kenapa?"

Juan mengela nafas begitu suara Riden mamasuki gendang telinganya. "Gue udah jawab tadi," jawabnya singkat.

𝐉𝐮𝐚𝐧𝐝𝐚 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang