"Abella?! Hah?!" Mario kaget karena temannya berada di dekapan Jevano.
Jevano hanya terdiam sambil menggendong gadis itu masuk ke salah satu kamar. Dengan pelan, dia menidurkan gadis itu di atas kasur.
Lalu, dia beranjak bangun dengan memaksa Mario serta Hendra untuk keluar dari kamar.
"Jelasin ke gue. Kenapa Abella bisa sama lo, Jev?" tuntut Mario.
Keenam temannya berkumpul di meja bundar. Keadaan di lapangan memang sudah diketahui oleh Cello, Jero, dan Raffi. Namun berbeda dengan di markas yang tidak tahu apa-apa.
"Cewek itu ngelihat gue bunuh si Ikan Buntal."
Mario mengusap wajahnya kasar. "Terus, dia lihat muka lo?"
Jevano mengangguk. "Gue nggak ada pilihan lain selain membawa dia ke markas."
"Aduh, mati gue! Bisa-bisa dia ngadu ke Gina," ucap Hendra dengan risau.
Bukan hanya Hendra, tapi Mario pun sama risaunya. Ditambah dirinya melanggar janjinya untuk menjemput Abella di kafe malam ini. Gadis itu pasti akan membencinya. Ini salah Mario.
"Sekarang, lebih baik kita cari ide. Cewek ini mau kita apain? Ancam atau gimana?" usul Jendral.
"Asal jangan sakitin dia. Hidup dia udah tertekan selama ini. Dan gue yakin, dia nggak bakal bocorin apa yang udah dia lihat."
"Ya itu menurut lo, Bang. Kalau sampai dia bocorin gimana? Karena bukan hanya Jevano yang jatuh, tapi kita semua kena imbasnya," ucap Raffi dengan nada dingin.
Jevano melihat tatapan marah dan tak terima dari Mario. Dia segera berdeham untuk menginterupsi lelaki itu agar tak melanjutkan perdebatan ini.
"Begini aja, ki-" Belum sempat menyelesaikan ucapannya, suara decitan pintu dari kamar Abella membuatnya menoleh.
Ya, Abella telah sadar dari pingsannya.
Gadis itu berdiri di depan kamar sambil menatap tujuh lelaki yang sedang berunding itu. Ekspresi terkejutnya benar-benar tergambarkan saat melihat kehadiran Mario dan Hendra di antara tujuh lelaki itu.
Abella memang mengenal semua orang yang ada di sini, karena mereka berada di kampus yang sama dengannya. Namun sungguh dia tak menyangka bahwa orang terdekatnya ternyata membantu seorang psikopat membunuh seseorang.
"Kak Mario? Kak Hendra?"
Mario pun berjalan mendekati Abella. "Bell, gue bisa jelasin semuanya," ucap Mario sambil mencoba mengambil tangan Abella.
Gadis itu segera menepis tangan Mario. "Udah gila lo, hah?! Bisa-bisanya selama ini gue ketipu sama lo? Wah!" Abella mengusap wajahnya.
Keadaan semakin tak terkendali. Mario berusaha untuk meminta Abella mendengarkan penjelasannya, tapi ditolak mentah oleh Abella. Melihat situasi itu, Jevano akhirnya membawa gadis itu masuk ke dalam kamar lagi beserta Mario dan Hendra. Biarlah mereka mengurusi permasalahan mereka di kamar ini.
"Bell, percaya sama gue. Gue cuma bantuin, nggak ikut membunuh," ucap Mario.
"Tapi lo bantuin dia untuk bunuh orang. Udah nggak punya otak lo masih bela diri, Kak?!" ucapnya marah. Kemudian dia menoleh ke arah Hendra. "Dan lo, Kak. Kalau Gina tahu apa yang lo lakuin gimana, Kak?! Stress lo!"
"Ya makanya kita semua minta lo tutup mulut, Bell!" jawab Hendra marah.
"Tapi cepat atau lambat, pasti ketahuan! Kalian pernah mikir nggak sih sebelum bertindak?!" balas Abella tak kalah sengit.
Jevano berdeham yang membuat atensi menuju ke arahnya. "Lo nggak tahu apa-apa, jadi gue minta lo cukup diam setelah tahu hal ini."
Abella menjauh dari Mario dan melangkah mendekati Jevano. Air matanya benar-benar tak tertahankan lagi setelah mengetahui semua ini. "Lo mau tahu sesuatu? Sebelum Mama gue meninggal, Mama gue berwasiat kalau gue harus menikah sama lo. Mama gue sesuka itu sama lo, Kak," isaknya. Hatinya benar-benar hancur saat mengetahui sosok asli Jevano.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jevano
FanfictionJevano hidup bersama dendamnya. Dan, Abella hidup bersama penderitaannya. Mereka bertemu di waktu yang salah, tapi mengucap janji sehidup-semati. | Bluesy AU |