13. hug again

275 35 0
                                    

Jevano masih berada di kamar Abella, duduk di kursi sambil menggenggam tangan gadis itu. Dia sungguh sakit melihat kondisi Abella.

Apa benar dia sudah melewati batas?

Dia hanya ingin memiliki Abella seutuhnya. Dia takut, Abella akan pergi meninggalkannya saat mengetahui sisi gelapnya.

Lelaki itu menatap Abella yang terbaring lemah di kasur. Tangannya bergerak merapikan rambut Abella. "Kalau tahu lo seperti ini, gue nggak akan biarin lo sendiri, Bell."

Setelah ini dan seterusnya, dia akan memastikan bahwa Abella tak akan seperti ini lagi. "Gue janji, Bell. Gue janji, gue akan bahagiain lo. Tapi, gue mohon, jangan seperti ini lagi, ya. Jangan menyakiti diri lo sendiri. Gue takut, Bell."

Seorang pembunuh sepertinya bisa merasakan ketakutan saat melihat kondisi wanita kesayangannya.

"Maafin gue, Bell."

*****

Abella mengerjapkan matanya sebelum dia sadar sepenuhnya. Dia merasakan sebuah tangan menggenggamnya. Perlahan dia melirik ke arah sampingnya, dapat dia lihat Jevano tidur sambil nenggenggam tangannya.

Dia pun mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ini masih di vilanya.

"Kak ..."

Jevano perlahan bangun dari tidurnya. "Bell! Akhirnya!" Dia tampak antusias melihat Abella sudah sadar. "Mau minum?"

Abella mengangguk. Dengan pelan dia bangun dari tidurnya dibantu oleh Jevano. Dia meminum dari gelas yang dibawakan oleh lelaki itu. Lalu, gelas itu dikembalikan di tempat yang semula.

Gadis itu menyandarkan tubuhnya di kepala kasur.

"Ada yang sakit, Bell?"

"Enggak ada, Kak."

"Istirahat lagi, ya. Tubuh lo butuh istirahat penuh."

Tangan Jevano ditahan oleh Abella saat ingin membantu gadis itu merebahkan diri. Gadis itu membawa tangan Jevano untuk digenggamnya. Mau tak mau, Jevano duduk di pinggir kasur gadis itu, membuat jarak di antara mereka semakin dekat.

"Ada apa? Lo butuh sesuatu?"

"Lo ke sini sama siapa?"

Jevano berdeham sebentar. "Teman-teman lo dan teman-teman gue."

"Mereka tahu kondisi gue?" tanya gadis itu.

Jevano mengangguk. "Mereka melihat. Tapi, cuma sekilas karena Bang Mario langsung bawa mereka keluar. Jadi, di dalam ruangan itu hanya gue dan lo."

Gadis itu hanya menghela napas. Dia menunduk lalu memainkan selimutnya. Ada ketakutan dalam dirinya saat mengetahui hal itu. Seperti ...

"Mereka nggak akan ninggalin lo, Bell."

Abella mendongakkan kepalanya. Dia terdiam sejenak mendengar ucapan Jevano. "Kenapa bisa lo mikir gitu?"

"Dan kenapa bisa lo mikir mereka bakal ninggalin lo?" tanya Jevano balik. "Karena kondisi lo?"

Abella mengangguk lagi. "Gue gila. Gu—"

Lelaki itu langsung memotong ucapannya. "Lo nggak gila. Lo juga nggak berharap ada di kondisi ini kan?" Dia menghembuskan napas sebelum lanjut bicara. "Bell, mereka sayang sama lo. Mereka nggak akan ninggalin lo hanya karena kondisi lo itu."

Jevano menggenggam erat tangan Abella. Gadis itu hanya terdiam menerima perlakuan lelaki itu. "Jangan pernah merasa sendiri lagi, ya. Lo nggak papa nggak percaya sama gue, tapi lo harus percaya sama teman-teman lo. Mereka selalu ada untuk lo. Mereka paling dekat sama lo, Bell."

"Lalu lo?"

Jevano mengerutkan alisnya. "Gue?"

"Apa yang akan lo lakukan selanjutnya kepada gue?"

"Gue akan berusaha meyakini lo untuk lo menikah dengan gue. Dan yang pasti, selanjutnya, gue nggak bakal melepaskan lo."

Abella menghembuskan napasnya kasar. Dia mengusap wajahnya pelan. Sepertinya, tak ada cara lain selain menikah dengan Jevano. "Gue belum siap, Kak."

"Lo pikir gue sudah siap untuk menikahi lo? Menikah itu nggak segampang yang orang bilang," balasnya. "Tapi, kalau kita belajar bersama, gue yakin segalanya akan berjalan dengan mudah. Semuanya butuh proses, Bell. Dan ..."

"Dan apa?"

"Ini satu-satunya cara untuk lo bisa lepas dari Papa lo."

Abella hanya menghela napasnya. Dia menunduk sembari mengusap tangan Jevano yang berada di genggamannya. "Gue harap begitu."

"Maaf, Bell."

Abella mengangkat kepalanya. "Maaf untuk apa?"

"Maaf karena lo sudah melihat sisi tergelap gue."

Abella terdiam. Dia mengeratkan genggamannya pada tangan Jevano. "Lo nggak perlu minta maaf. Lo yang memutuskan untuk memilih jalan itu. Gue nggak akan ikut campur. Tapi, gue masih berharap lo untuk berhenti, Kak."

Dalam hati kecil, Jevano juga berharap demikian. Namun, rasanya sulit membebaskan orang-orang yang sudah menghancurkan keluarganya. Dia tidak bisa membiarkan mereka hidup bahagia.

"Boleh peluk, Bell?"

Abella tersenyum. Dia merentangkan tangannya. "Boleh."

Jevano langsung memeluknya. Menghamburkan rasa rindunya dan amarahnya.

*****

gue ada promosi cerita ini di tiktok @/zcllllluv bisa kalian cek ya 💖

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang