4. all of the problem

411 44 9
                                    

Jevano sudah mengantar Abella ke tempat tujuannya. Dari kejauhan, gedungnya saja sudah terlihat mewah, Jevano yakin semua unitnya juga mewah. Dari mana Abella mendapatkan apartemen mewah ini?

"Lo nggak jual diri, kan?" ceplos Jevano.

Lagi, Abellah menampar pipi Jevano. Mulut lelaki itu selalu saja asal ceplos tanpa berpikir dahulu. "Mulut dijaga, ya, Kak! Emang gue cewek apaan?!"

Jevano meringis, tamparan dari Abella sakit sekali. "Tangan lo bisa diam nggak, sih? Sakit banget, gila, Bell!" protesnya seraya mengelus pipinya yang sakit.

"Makanya, jangan asal ceplos. Dipikir dulu kalau ngomong."

"Lagian, gimana gue nggak mikir aneh-aneh? Mama lo udah meninggal, Papa lo ngurangin duit jajan lo, terus gimana bisa lo dapat apartemen mewah di sini?"

Abella memutar bola matanya malas. "Banyak omong lo, Kak. Dah, ya. Gue pergi dulu."

Jevano ikut turun menyusul Abella. Gadis itu menghela napas lelah. Dengan tak tahu malu, Jevano mengikuti langkah Abella di sampingnya.

"Gimana bisa Mama gue suka sama cowok modelan lo, Kak? Gue nggak habis pikir," dumel Abella. "Kayaknya, Mama gue perlu kacamata tebal biar bisa lihat asli lo."

Jevano mengulum bibirnya untuk menahan tawanya. Baginya, tingkah Abella saat ini sungguh lucu. "Ya mungkin menurut Mama lo, gue adalah cowok yang baik buat lo," jawabnya seraya mengedikkan bahunya.

Di dalam lift ini, Abella mendelik ke arah Jevano. "Baik? Ngaca dulu perbuatan lo beberapa jam lalu, Kak."

"Tapi, Mama lo setiap ketemu gue selalu bilang, 'Jagain Abella, ya, Jevano. Cuma kamu satu-satunya yang saya percaya jadi pendamping hidup anak saya.'"

Gadis itu menoleh ke arah Jevano. Ekspresi wajahnya berubah sendu, tapi sebisa mungkin dia sembunyikan agar terlihat tak mempercayai ucapan Jevano. "Bohong lo, Kak."

"Gue nggak bohong. Lo bisa tanya sekretaris gue atau sekretaris Papa lo. Mereka dengar apa yang Mama lo bilang setiap ketemu gue. Gue nggak tahu pasti kenapa Mama lo bisa percayakan lo ke gue."

Abella pun tak paham mengapa mamanya begitu menyukai Jevano. Dia sudah mencari tahu hal itu, tapi tetap tak mendapatkan jawabannya.

Saat dia berpacaran dengan Mario sewaktu SMA, Mama menentang hubungan mereka. Entah apa alasannya, Abella pun tak mengerti. Abella dan Mario sudah berusaha untuk mendapatkan hati mamanya, namun tetap saja tak mendapatkan persetujuan. Sejak saat itu, Mario mulai menjauh dari dirinya. Perjuangan yang dia pikir akan berlangsung lama, tapi menyerah begitu saja.

Melihat sikap Mario itulah Abella yang memutuskan hubungan mereka. Karena bagi Abella, hubungan tanpa perjuangan dari dua belah pihak akan sia-sia. Jadi, lebih baik sendiri daripada harus berdua.

Lift pun berhenti di lantai 30. Abella melangkah ke arah unit nomor 3000 yang berletak di ujung koridor. Langkahnya terhenti di depan unit apartemennya. Dia pun memutar tubuhnya menghadap Jevano.

"Puas kan lo? Sekarang, lo bisa pergi."

Rasanya, Jevano ingin menemani Abella malam ini. Lelaki itu bisa melihat dari raut wajahnya yang menyimpan banyak masalah. Namun, dia akan pelan-pelan mendekati Abella. Dia akan membiarkan gadis itu beristirahat malam ini.

Jevano mengambil dan menyerahkan ponselnya kepada Abella. "Minta nomor telepon lo."

Abella menghembuskan napasnya kasar. Dengan berat hati, dia mengetik nomornya untuk disimpan sebagai kontak. Kemudian, dia mengembalikan ponsel itu.

JevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang