Desir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan?
Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
You're a part of my life, even the parts I don't want you to be involved in.
***
Kalana berdiri tepat di depan cermin yang berada di dalam kamar. Ia tatap pantulan wajahnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, tidak ada yang salah dari segi fisik. Namun, kesalahan itu rupanya ada di dalam hati dan juga pikiran gadis itu.
Maka, tak jarang sebagian orang menyimpulkan Kalana sebagai wujud yang tak berarti.
Kalana adalah sumber keraguan bagi siapa pun, dia adalah puzzle yang kehilangan beberapa bagian, dia adalah sekumpulan tanya yang tak pernah ditemukan jawabannya, dia terlalu rumit bahkan hanya untuk sekadar dibaca.
Saat itu, pada pertemuan yang entah ke berapa, Kalana berdiri di samping Raga, berteduh—menemani Raga yang tampak kesal, sebab hujan tak kunjung mereda.
"Kamu benci hujan, tapi hujan selalu menemani setiap pertemuan kita," kata Kalana, dengan pandangan yang tetap lurus ke depan.
Entah, kenapa bertemu dengan Kalana mampu berikan kenyamanan untuk Raga. Ada banyak hal baru yang ia dapat dari gadis itu, ada banyak cerita lucu yang selalu buat Raga tertawa karenanya. Tanpa pemuda itu ketahui, yang seharusnya dihibur itu adalah Kalana, gadis ringkih si pemilik mata nayanika.
"Coba kamu ulurkan tangan dan biarkan air hujan itu membasahi telapak tangan kamu, biar kamu sadar kalau hujan itu enggak bisa melukai siapa pun."
Tidak ada yang Kalana ketahui, hal apa yang membuat Raga membenci hujan. Pemuda itu hanya mengatakan bahwa hujan bisa menyebabkan seseorang terluka.
"Raga, dicoba."
Raga masih diam. Ia sama sekali tak tertarik dengan apa pun yang Kalana katakan perihal hujan. "Hujan itu enggak pernah salah, kenapa kamu harus membencinya sedemikian rupa?"
"Lalu, kamu sendiri kenapa begitu menyukai hujan?" Raga bertanya, hiraukan pertanyaan Kalana yang sedari tadi hanya mengudara.
Kalana menggeleng. "Memangnya, kalo kita menyukai sesuatu itu harus memiliki alasan?" tanya si gadis.
"Enggak semua luka bisa diobati dengan air hujan, justru air hujanlah yang akan membuat lukamu semakin menganga, Kala."
"Luka yang terus ditimpa luka, tidak akan pernah sembuh sampai kapan pun. Kamu terlalu memperhatikan orang-orang di sekitarmu, padahal yang seharusnya kamu perhatikan itu dirimu sendiri."
Selama beberapa detik Kalana terdiam, sebelum binar matanya menatap Raga. "Ada yang jauh lebih sakit daripada ini."
Kalana tersenyum, sedang Raga hanya diam—berusaha untuk mengerti, meski sebenarnya Kalana terlalu rumit untuk Raga pahami.