○○●¥●○○
“Kenapa ke club?”
Taeyong berbisik, usai Ten menyebut tujuan mereka pada sopir taksi. Sosok yang duduk di belakang kemudi lantas melajukan mobil setelah mengaktifkan argo. Sementara Ten tidak menanggapi pertanyaan Taeyong.
“Kau marah, Ten?” tanya Taeyong lagi. “Padahal aku yang diselingkuhi, kenapa kau semarah ini?”
“Karena kau menutupinya dariku! Kau bilang perpisahan kalian terjadi secara baik-baik–tapi apa-apaan?! Kenapa aku bahkan mengetahuinya setelah sekian lama?” Ten membuang napasnya kasar.
Jika teringat pengakuan Axel tadi, Ten dibuat semakin sakit hati. Pantas saja dia merasa Axel menghindari mereka.
Taeyong memberi usapan lembut di punggung tangan lelaki itu, berusaha mengurangi rasa kesal sahabatnya. “Aku tidak mau kau membencinya. Ini masalah personal antara aku dan Axel.”
“Aku sudah membencinya, Tae.” Ten menyahut cepat. “Dia bahkan berani menghianatimu, lalu apa yang dapat membuatku berpikir kalau dia tidak melakukan hal yang sama padaku?”
“Aku tak percaya kau menyembunyikan masalah sebesar ini. Jangan bawa-bawa persahabatan. Axel bukan lagi sahabat kita, di hari dia meladeni Jaehyun. Aku tidak peduli siapa menggoda siapa. Kau jangan coba-coba membela Axel. What a whore–ew.” Ten berjengit jijik.
“Inilah hal yang aku takutkan, Ten-ah. Lagipula apa yang harus aku katakan supaya tidak terdengar menyedihkan? Sahabatku sedang mengandung anak pacarku?” gumam Taeyong, kemudian menggeleng tak acuh. “Bagaimanapun caraku menyampaikannya, tetap saja aku akan terlihat sangat menyedihkan.”
Mobil berisikan tiga orang itu hening. Sopir yang tanpa sengaja mendengar percakapan kedua penumpangnya itu, hanya bisa menulikan telinga, enggan mendengar lebih jauh.
“Aku tak masalah jika harus kehilangan seorang teman,” timpal Ten lirih. Lelaki yang bersandar penuh di bahu terkejut, lalu bangkit untuk memperbaiki posisi duduknya. “Aku mengenal Axel karena kau yang membawanya. Sejak awal dia memang bukan temanku.”
“Ten!”
“Berhenti bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Kau berhak marah, Tae.”
“Apa gunanya?”
Ten menatap lekat netra sahabatnya, “Kau baik-baik saja?”
Butuh waktu lama hingga Taeyong mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
“Pembohong...” Ten bergumam, lantas melempar pandangan ke luar jendela. “Awas saja kalau goresan di pergelangan tanganmu bertambah”
○○●¥●○○
Dentuman memekakkan telinga telah menyambangi pendengarannya sejak satu jam yang lalu. Laki-laki berwajah boneka itu duduk di salah satu kursi yang berjejer rapi di depan meja bar.
Taeyong telah kehilangan Ten di lantai dansa. Sepertinya Ten masih tenggelam dalam kerumunan sementara Taeyong telah menyerah sebab tak kuat dengan bau rokok bercampur alkohol.
Ten sempat mencekoki Taeyong lewat segelas vodka dengan alasan supaya ia melupakan masalahnya. Sepertinya ini alasan mengapa dirinya merasa pusing luar biasa. Taeyong juga sangat haus.
“Hyung, aku mau air,” pintanya pada seorang bartender. “Pakai es.”
Kepala Taeyong terkulai di atas meja. Padahal ia telah bersumpah tak mau kembali ke tempat ini lagi walaupun Ten akan memohon sambil menangis darah. Tapi kali ini Taeyong tidak bisa menolak, karena Ten terus memasang wajah masam. Suasana hati Ten jelas sedang tak baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude [bxb] [M-Preg] ✅️
FanfictionTaeyong hanya dijadikan bahan obsesi. Tak ubahnya piala bergilir yang membanggakan jika dimiliki. ⚠️ Buku ini mengandung unsur hubungan antara laki-laki dan laki-laki