11: Decision

2.5K 188 66
                                    

○○●¥●○○

Taeyong terbangun di sebuah ranjang yang dikelilingi gorden. Mata bulatnya mengerjap menyesuaikan cahaya. Tak merasakan apapun kecuali denyutan nyeri di kepala dan rasa mual yang tak ada habisnya. Ia membiarkan dirinya berbaring karena tubuhnya pasti telah mencapai limit makanya ia berakhir di sini.

Nama Axel muncul dalam benaknya. Entah bagaimana keadaan lelaki itu. Apakah Axel baik-baik saja? Apakah kandungannya tak apa-apa? Apakah mereka akan tetap menikah setelah yang terjadi kemarin? Taeyong ingin tahu. Karena apapun itu, dia adalah dalang keributan malam itu.

Meski Taeyong yakin Axel tak ingin ia mencari tahu.

“Taeyong-ssi...” seorang perawat pria menyapa usai menggeser gorden, lalu meletakkan nampan di atas meja.

Perawat itu seorang lelaki muda yang tinggi dan tampak ramah. Senyum itu membuatnya tak mengeluarkan kesan mengintimidasi.

“Bagaimana keadaanmu? Apakah ada keluhan?” tanya perawat itu.

Taeyong memijat kepalanya. Merasa bersalah sebab terlalu lemah hingga tidak bisa membalas senyum perawat itu. “Kepalaku pusing. Aku mual, tapi aku yakin, aku takkan memuntahkan apa-apa. Dan badanku lemas sekali.”

Perawat itu masih tersenyum tapi sorot matanya menunjukkan ekspresi iba.

“Aku akan memberimu infus lagi,” ujar sang perawat. “Taeyong-ssi, kalau infus yang aku berikan ini sudah habis–dan kondisimu membaik–segeralah ke Poli Obgyn dan temui Dokter Baek.”

Taeyong mengangguk lemah. “Siapa yang membawaku ke sini?”

“Seorang laki-laki yang sangat tinggi,” perawat itu tampak mengingat-ingat. “Dia sangat panik saat membawamu masuk ke ruang gawat darurat.”

“Dimana dia sekarang?” tanya Taeyong.

“Aku memintanya beristirahat di ruang tunggu,” sang perawat tiba-tiba teringat sesuatu. “Sebenarnya ada seorang lagi yang menungguimu semalaman di sini, tapi dia baru saja pergi.”

“Dia punya banyak tindik di telinga?” Taeyong menebak.

Perawat itu mengangguk. Melihat lagi pergelangan tangan pasien yang pucat. “Taeyong-ssi dikelilingi orang baik.”

Taeyong akhirnya tersenyum. “Ya, maksudku–beberapa.”

“Beristirahatlah, Taeyong-ssi. Aku akan kembali setengah jam lagi,” pamit sang perawat dengan nampan aluminium di tangannya.

Iris Taeyong menerawang ke langit berplafon putih. Perawat itu tak lagi menutup tirai supaya lebih gampang memantau. Kondisi tempat ini tidak terlalu ramai. Ranjang di sebelahnya kosong, sementara beberapa ranjang lainnya diisi pasien yang salah satu di antaranya adalah korban kecelakaan.

Taeyong kembali memejamkan mata. Tubuhnya tak selemas tadi, meskipun denyut di kepalanya tidak mengalami perubahan. Tangannya mengelus-elus perut yang menonjol kecil, tanpa sadar meneteskan air mata karena Taeyong mampu merasakannya. Janinnya pasti sudah cukup besar sebab ia terlambat menyadari.

“Anak yang malang,” lirih Taeyong sembari mengusap air matanya.

Matanya baru saja terpejam saat suara gaduh menyerbu ruangan itu. Taeyong masih memejamkan mata, dia tak kuat kalau ternyata kegaduhan berasal dari kecelakaan dan ia harus melihat darah dimana-mana. Malangnya, pasien yang baru tiba itu dibawa ke ranjang tepat di samping Taeyong. Dia bisa mendengar kepanikan orang-orang yang membawa pasien itu.

Kim Mingyu-ssi, bisa kau dengar suaraku?

Taeyong terpaku mendengar nama itu. Tubuhnya membeku, matanya seketika terbuka melihat beberapa orang tengah mengelilingi ranjang sebelah. Rekannya juga ada di antara orang-orang itu, saat Taeyong memberanikan diri menoleh.

Interlude [bxb] [M-Preg] ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang