9. Minggu Pagi

1.1K 147 14
                                    

"Abang!" 

Napasku berpacu dengan keringat yang bercucuran. Aku butuh istirahat sebentar atau sekalian berhenti di sini saja, untuk mengisi perutku dengan semangkuk bubur ayam. Ya, aku sedang berdiri di dekat gerobak penjual bubur ayam, yang ada di pinggir jalan.

Bang Hadi menoleh ke belakang. Ya tuhan, emang boleh se-cakep ini? di saat aku malah tampak berantakan karena mandi keringat. Bang Hadi justru tambah memesona, dengan keringat yang mengalir melewati dagu dan turun ke lehernya.

"Kenapa?" Tanyanya singkat.

Abang tidak lihat? Ini istrimu ngos-ngosan, capek. Aku bukan tipe orang yang suka olahraga di luar. Aku lebih memilih treadmill di rumah, kalau di luar ribet, mesti ganti baju. Kalau di rumah sajakan praktis, tak perlu berganti baju. Pakai piama atau tanktop sudah bisa.

Alasanku mau diajak lari pagi hari ini karena bang Hadi bilang aku kelihatan pucat. Jarang kena sinar matahari katanya. Iya sih, aktivitasku banyak aku habiskan di dalam ruangan. Makanya aku putuskan ikut abang lari pagi hari ini.

"Istirahat dulu." Rengekku yang kini berjongkok.

"Belum ada lima menit, mau istirahat lagi dek?"

"Capek..." Desahku sambil mengusap dahiku yang basah. Aku dan bang Hadi mulai joging sejak jam tujuh pagi dan kami sudah empat atau lima kali berhenti untuk istirahat. Lebih tepatnya aku yang merengek supaya kami berhenti dulu.

Aku selalu tertinggal beberapa langkah dari bang Hadi karena setiap hendak memacu langkahku, pahaku akan terasa sangat gatal. Ini efek aku jarang berolahraga dan dari yang aku baca, sensasi gatal itu muncul karena pembuluh darah kapiler yang melebar.

Bang Hadi berdecak sambil berkacak pinggang. Dia menengok padaku yang berjongkok. Dari bawah aku bisa melihat kaus bang Hadi sudah setengah basah oleh keringat. Kaus itu cukup jelas mencetak dada abang yang bidang dan perutnya yang rata.

"Abang sarapan yok." Ajakku yang membuat alis bang Hadi menukik tajam. Sebelum joging, aku cuma makan sepotong apel dan sekarang aku merasa lapar.

"Nanti di rumah." Jawab bang Hadi yang mengulurkan tangannya padaku. Tanda dia ingin aku berdiri dan lanjut joging.

"Masih agak jauh loh bang, sarapan itu aja tuh." Aku memberi kode dari lirikan mataku yang mengarah ke gerobak bubur ayam, mengabaikan uluran tangannya.

"Di rumah dek." Tekan bang Hadi yang agak melotot.

"Abang... udah aja jogingnya, aku udah mandi keringat ini." Aku berdiri dan bergerak maju untuk menggandeng lengan bang Hadi.

"Kami pikir kalau udah mandi keringat, udah cukup? Padahal kita belum ada setengah jam joging."

"Tapi aku udah keringatan banget ini, udah aja ya?" Keluhku.

"Keringatan banget bukan berarti olahraganya udah efektif dek. Tapi dilihat dari durasi, sama intensitas, bukan dari banyaknya keringat. Kamu sampe mandi keringat gini bukan berarti udah bakar banyak lemak." Bang Hadi berdecak, lalu melirik beberapa orang yang mengantre bubur ayam.

"Iya, sore aja lagi jogingnya. Sekarang makan aja dulu. Lapar nih aku."

"Kamu bawa uang?" Jelaslah! Sebelum joging aku sudah mengantongi beberapa lembar uang sepuluh ribu sebagai pegangan kalau mau jajan sesuatu. Nah, benar kan? Hehe.

Kelihatan ya? aku tidak seratus persen niat keluar rumah untuk olahraga, tetapi mau jajan juga.

"Bawa nih." Kataku sambil menepuk kantong celanaku.

Bumbu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang