16. Semaput

394 71 16
                                    

16. Semaput

Sayup-sayup suara azan menembus rungu, aku yang tertidur di sofa perlahan sadar dari tidurku.  Namun, enggan membuka kelopak mataku yang masih terasa lengket. Aku mengerutkan dahi saat sesuatu yang hangat dan kuat terasa mendekapku erat. Tubuhku terasa melayang,  tak lagi menyentuh sofa. 

"Kenapa tidur di luar dek? padahal itu bisa dilanjutkan besok," bisik abang dengan suara beratnya yang membuatku sedikit membuka kelopak mata. 

"Hm?" gumamku singkat yang kembali menutup mata ketika bang Hadi merendahkan tubuhnya untuk membaringkan tubuhku perlahan di ranjang. 

Tidak perlu diperjelas lagi, pasti abang menemukanku terlelap di sofa dengan posisi duduk dan laptop yang masih terbuka lebar di sampingku. Semalam usai kami saling memenuhi kebutuhan biologis, menyatukan dua tubuh yang saling memuaskan, meresapi sentuhan-sentuhan lembut yang silih mendamba sampai pada pelepasan nikmat yang mengantarkan kami pada nirwana. Aku yang ketika itu masih lelah, memaksakan diri untuk bangkit setelah mengecup pundak bang Hadi yang berpeluh. 

Aku membersihkan diriku, sebelum meraih ransel yang berisi laptop dan lembaran skripsiku yang tampak penuh coretan tangan akibat mengurai kritik, saran dan solusi dari dosen pembimbing. Besok aku harus menemui dosen pembimbingku setelah beberapa hari tak ada kesempatan untuk bimbingan. Bagaimana mau bimbingan jika dosen pembimbing saja gemar menghilang? suka ghosting kayak doi. Bukan menghilang secara harfiah, tetapi dospemku ini sering absen karena sering bepergian. Mahasiswa terlantar di kampus karena menunggu kehadirannya yang bak ninja. Sebentar di Samarinda, Bontang, Pontianak, Berau, Surabaya, Balikpapan dan yang paling jauh adalah beliau kemarin pulang dari negeri bunga sakura. Aku tak ingin kecolongan, semalam setelah mendapat info beliau sudah mendarat di Bontang, aku langsung berniat merevisi bab dua skripsiku. Ya, walau tertunda beberapa jam karena kepalang lupa daratan menikmati sensasi dopamin yang menjalar di sekujur tubuh. 

Kurang lebih sejam memangku laptop sembari merevisi landasan teori skripsi, aku pun tak lagi dapat menahan kantuk. Sampai akhirnya aku tak sadar memejamkan mata sambil menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Kini, aku berbaring di ranjang setelah abang mengangkatku masuk ke kamar. 

"Kamu panas dek," tangan abang terasa membelai leherku. 

"Hm..." gumamku tak jelas. Bibirku terasa kering dan tubuhku lemas. Bahkan aku lupa, sudah sampai mana landasan teori yang aku revisi. 

"Aku ketiduran ya?" cicitku lemah. 

"Laptopku mana bang?" lanjutku dengan kening yang mengerut. Aku menoleh ke kanan kiri, sedikit panik karena takut lupa menyimpan file yang sudah aku revisi. 

"Kamu demam dek, nanti dulu mikir skripsinya. Abang bilangkan semalam, itu dilanjut besok juga bisa."

"Iya, tapi aku rencana mau nunggu dospemku dari pagi bang. Jadi mesti aku selesaikan sebelum pagi," sorot mata abang yang tadinya tajam perlahan melembut. 

"Kalau tau gitu, tadi malam abang gak minta kamu-" ujar abang terhenti, tak mampu melanjutkan. Raut abang tampak diliputi rasa bersalah. Tatapannya redup bercampur cemas dan tak lepas dariku yang kini bergerak untuk duduk di pinggir ranjang. 

Aku tersenyum tipis, meskipun tubuhku terasa remuk. Aku tidak menyesal melayani abang semalam. Semalam bukan sekadar tentang memenuhi hasrat, tetapi juga tentang kami yang saling terkoneksi dalam lautan kasih. Kami berdua menikmati momen itu, tanpa merasa ada yang keliru. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bumbu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang