01. Kehadirannya

1.1K 82 4
                                    


.
.
.
.
.
Byur

Baru juga beberapa langkah memasuki sekolah seember air kotor menjadi penyambut pagi bagi Angkasa, sebagian seragamnya kotor dan basah karena hal itu.

Angkasa menunduk, hal seperti ini bukan yang pertama kalinya, hampir setiap hari Angkasa mengalami perundungan seperti ini. Mungkin disiram air adalah perundungan paling ringan selama Angkasa bersekolah di sana, ya selama tiga tahun Angkasa di rundung dan selama itu Angkasa hanya diam.

"Wah lihat ada kelinci habis kecebur got!"

"Kasian ya, bau lagi."

"Hush... Hush... Pergi-pergi dasar bau."

"Uuuhhh kasian, dia pasti gak punya uang buat bayar air, makanya gak mandi sampai sekolah."

Angkasa menunduk, ucapan-ucapan seperti itu adalah makan sehari-hari baginya. Terutama saat melihat dua orang siswa kembar namun berbeda tampak tertawa kencang bersama dua teman nya, mereka lah yang menjadi dalang segala perundungan Angkasa.

"Duh kasian banget ya, makanya jangan sok pinter jadi orang." Kepala Angkasa sedikit terdorong saat Samudera mendorong kepalanya.

"Lo itu cuma murid beasiswa, jangan belagu ya, karena gue sama Langit ini anak pemilik yayasan." Angkasa tidak memiliki niat sedikitpun untuk membalas Samudera atau Langit, Angkasa sadar diri jika dirinya tidak akan bisa mendapat dukungan jika melawan anak kembar pemilik yayasan.

"Udahlah Sam, lo gak jijik tangan lo nyentuh kulit dia?" Samudera segera mengelap tangannya setelah Langit berbicara seperti itu.

"Jijik lah ya kali gue gak jijik nyentuh hama kayak Angkasa ini."
.
.
.
.
.
"Angkasa lo gak papa? Sorry gue sama Awan telat tadi, ban mobil gue pecah tengah jalan." Angkasa menatap kedua siswa yang merupakan sahabatnya dengan lekat dan menggeleng.

"Aku gak apa-apa kok, udah biasa juga." Bayu, salah satu sahabat Angkasa mengepalkan tangannya.

"Lo harus ngelawan dong Sa! Masa lo mau diinjek-injek sama mereka?" Angkasa tersenyum tipis dan menggeleng.

"Aku masih pingin sekolah Bay, kalau aku lawan mereka beasiswa ku bisa di cabut, dan lagi aku punya alasan kenapa aku gak lawan mereka." Bayu dan Awan berdecak kesal, karena jawaban Angkasa selalu sama.

"Ck, udahlah lo pasti jawabnya gitu mulu. Ayo ke kantin!" Angkasa menggeleng.

"Aku gak punya uang, aku belum gajian." Awan berdecak kesal.

"Gue bayarin, ayo." Angkasa akhirnya hanya pasrah saat Awan menarik tangannya.

Kantin tidak begitu ramai, karena memang biasanya sebagian siswa lebih memilih membeli makanan dan membawanya ke lapangan untuk melihat para cogan sekolah main bola.

"Oh iya Sa, kapan Bintang balik?" Angkasa menatap sekilas pada Bayu sebelum kembali menunduk.

"Semalam Bintang bilang sih dia bakal balik ke sekolah minggu depan." Bayu mengangguk.

"Setelah itu Bintang pasti bakal lebih sering sibuk Sa, setelah ini tim basket sekolah bakal ke tingkat nasional." Angkasa mengangguk dan tersenyum.

"Ya gak apa-apa, aku gak mungkin ngekang Bintang buat terus stay sama aku kan, lagi pula itu hobi Bintang Bay." Bayu mengangguk.

"Nih makan, jangan banyak protes kayak Bayu ya." Angkasa melihat semangkuk bakso polos yang baru saja di letakan Awan dihadapannya.

"Makasih Awan, nanti kalau aku udah gajian aku ganti ya." Awan menggeleng.

"Gak usah diganti, kayak sama siapa aja."
.
.
.
.
.
Angkasa menatap sendu pada seorang wanita yang sedang menjemput dua siswa yang familiar untuk Angkasa, dua siswa itu memiliki darah yang sama dengan Angkasa, dulu kehadiran mereka sangat Angkasa tunggu.

"Mama, Angkasa juga pingin mama jemput kayak mereka." Ya, wanita yang sedang Angkasa perhatikan adalah sang ibu, ibu kandung nya.

"Angkasa kangen ma, tapi mama gak mau ketemu sama Angkasa, bahkan mereka gak tau kalau mereka punya kakak bernama Angkasa." Angkasa tersenyum sendu.

Angkasa bisa saja menemui kedua adiknya dan mengatakan jika dia adalah sang kakak, dengan segala bukti yang dia punya mustahil jika adik-adiknya tidak akan percaya.

Namun kembali lagi baik sang mama atau pun sang papa, melarang Angkasa melakukan itu. Bahkan mereka mengancam akan menjual rumah peninggalan nenek Angkasa jika Angkasa berani melakukan hal itu.

"Angkasa, cukup puas bisa melihat kalian dari jauh, meskipun Angkasa juga ingin memeluk kalian." Angkasa terus melihat ketiga nya hingga mobil milik sang mama menghilang dari pandangannya.

"Ayo Angkasa semangat, kamu harus bisa kerja, punya uang banyak dan sukses, biar mama sama papa bangga dan mau lihat ke arah kami."

Ya, begitulah cara Angkasa menyemangati dirinya sendiri, dengan mengucap hal-hal positif yang menggambarkan jika dia akan bisa berkumpul bersama keluarganya jika dia sukses.

"Angkasa kerja dulu ma, nanti kalau udah sukses Angkasa pasti bakal datang ke mama, kayak janji Angkasa ke nenek."
.
.
.
.
.
"Angkasa, tolong antar ke meja sepuluh."

"Angkasa, tolong meja tiga di beresin."

"Angkasa, tolong itu meja sembilan belas mau tambah pesanan."

Angkasa hanya bisa menurut saat dirinya di perintah oleh pegawai lain, karena bagaimana pun Angkasa hanya pekerja paruh waktu.

Tidak semua pegawai menyukai Angkasa, beberapa bahkan sengaja memerintah Angkasa agar mereka bisa sedikit bersantai.

"Angkasa, udah jam berapa ini, kamu gak mau pulang?" Angkasa melihat ke arah jam digital kecil yang ada di samping meja kasir.

"Sebentar lagi mas, mau beresin meja lima dulu habis itu pulang." Angkasa menatap manager cafe yang bisa di bilang peduli padanya itu.

"Oh iya Sa, besok kamu bisa masuk lebih awal?" Angkasa terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk, lagi pula besok dia tidak memiliki janji.

"Bisa mas." Manager cafe itu tersenyum dan menepuk pundak Angkasa.

"Kalau gitu tolong datang dua jam lebih awal ya." Angkasa kembali mengangguk.

"Iya mas Nat, kalau gitu saya pulang dulu ya." Manager yang akrab di panggil Nat itu mengangguk.

"Iya hati-hati."

Angkasa berjalan pulang dengan pikiran kosong, selalu seperti ini jika dia sendirian. Angkasa terkadang sangat takut dengan isi pikirannya sendiri, karena Angkasa bisa berbuat nekat jika menuruti pikirannya.

Jarak rumah dan cafe tempat Angkasa bekerja hanya tiga puluh menit jika berjalan kaki, itulah kenapa Angkasa terlalu biasa pulang dengan berjalan kaki.

Langkah kaki Angkasa berhenti saat sampai di depan sebuah rumah minimalis dengan pagar kayu, halaman rumah yang tidak begitu luas itu terlihat cantik saat pagi karena banyak sekali bunga yang ditanam disana.

Rumah itu adalah rumah peninggalan sang nenek dari pihak ibu nya, rumah yang menjadi saksi bagaimana Angkasa kecil tumbuh tanpa orang tuanya. Rumah yang ikut menjadi saksi tangis Angkasa kecil saat sang ibu mengantarnya ke sana dan meninggalkannya dengan sang nenek, sedangkan sang ibu akan tinggal sendiri dan akan segera menikah dengan lelaki pilihannya begitu bercerai dengan sang ayah, dan hanya membawa salah satu adiknya saja.

Angkasa bersyukur karena sang ibu tidak menjual rumah ini, karena Angkasa akan sangat bingung mau tinggal dimana jika rumah itu dijual, terutama karena sang nenek sudah meninggal enam tahun lalu.

"Nenek, Angkasa sekarang sudah SMA, sebentar lagi Angkasa lulus dan Angkasa akan cari beasiswa ke kampus impian Angkasa dulu. Angkasa harap nenek bangga sama Angkasa, jaga Angkasa dari atas sana ya nek, Angkasa sayang nenek."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat malam
Aku bawa book baru nih
Hasil request dari Epphaa
Sebenernya udah ngedraft dari akhir tahun lalu, tapi baru sempet di up habis lebaran ini...
Semoga nantinya book ini sesuai sama request nya ya...

Selamat membaca dan semoga suka

See ya

–Moon–

Home?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang