02. Bullyan si kembar

605 63 8
                                    


.
.
.
.
.
Tidak ada hari tanpa adanya perundungan bagi Angkasa, sejak menginjakan kakinya di area sekolah hingga pulang sekolah.

Angkasa bukan tidak pernah mengeluh, namun dia cukup sadar diri tidak ada yang akan membantunya dari perundungan. Bahkan kedua sahabatnya, entah kenapa mereka selalu tidak ada setiap kali Angkasa di rundung.

Seperti hal nya saat ini, Angkasa menunduk saat Bumi sengaja menumpahkan sebotol air keatas kepalanya, tentu saja dimana ada Bumi, disana ada Fajar, Langit juga Samudera.

"Ups, sorry, tangan gue gak sengaja nih." Angkasa meremas tali tasnya, dia ingin melawan tapi dia sadar diri, dia masih ingin sekolah hingga lulus.

"Wah ada yang kehujanan pagi-pagi, padahal gak hujan." Suara tawa nyaring terdengar dari Fajar, remaja itu selalu paling bersemangat jika menyangkut soal merundung Angkasa.

"Gue kira lo bakal berhenti sekolah, ternyata lo mental baja juga ya." Bumi menatap Angkasa yang masih setia menunduk.

"Kalau ada orang ngomong itu lihat orang nya sialan!"

Buagh

Angkasa memejamkan matanya saat Bumi tiba-tiba memukul perutnya.

"Ugh." Bumi tersenyum miring saat mendengar rintihan pelan Angkasa.

"Angkasa... Angkasa... Harus nya lo itu sadar diri, gak bakal ada yang ngebela lo disini, lo itu sendirian!" Angkasa menggigit bibir bawahnya saat Langit berbicara padanya.

"Mana dua temen lo itu? Mereka gak bakal berani bantu lo, lo itu cuma sampah Angkasa!" Langit tertawa pelan, namun sejujurnya ada sedikit rasa tidak nyaman yang selalu dia rasakan setiap kali melihat wajah sendu Angkasa.

"Ck, cabut!" Samudera menatap aneh pada Langit yang sudah melangkah pergi, selalu seperti ini setiap kali kakak kembarnya itu menatap wajah Angkasa.

"Apa yang lo lakuin ke Langit sampai dia kayak gitu?" Angkasa menggeleng pelan.

"Inget Angkasa, jangan sampai lo macem-macem sama saudara gue, atau lo gue habisin!!"
.
.
.
.
.
"Lo di rundung lagi?" Angkasa hanya tersenyum saat Awan menanyakan hal itu.

"Aku gak apa." Awan mendengus pelan.

"Kapan lo mau ngelawan mereka sih Sa? Lo kau diem sampai lulus?" Angkasa tersenyum sendu mendengar ucapan sarkas Bayu.

"Aku bisa apa Bay? Aku cuma anak beasiswa yang bisa aja kehilangan beasiswa nya kalau berani ngelawan mereka." Jawaban Angkasa membuat Awan dan Bayu terdiam.

"Aku cuma pingin cepet lulus, terus bisa cari beasiswa ke universitas, aku mau bikin nenek bangga." Entah kenapa ucapan Angkasa membuat Awan dan Bayu mengalihkan pandangan mereka.

"Terserah lo aja deh Sa." Awan langsung meninggalkan Angkasa dan Bayu setelah mengatakan hal itu.

"Gak usah mikirin tingkah Awan, nanti dia juga baik sendiri." Angkasa hanya mengangguk.

Siang ini Angkasa menghabiskan waktu istirahatnya dengan berdiam di taman sekolah, Angkasa sengaja membawa bekal karena tidak ingin kembali berhutang pada sahabatnya.

"Maaf ya Bay, aku gak bermaksud nyinggung kamu atau Awan, aku cuma sadar diri aja, aku beda sama kalian." Bayu mengangguk kecil.

"Iya, gue ngerti. Ayo balik ke kelas."
.
.
.
.
.
"Kamu bodoh Angkasa, harusnya kamu bisa bilang ke mereka kalau kamu ini kakak mereka, bukan cuma bisa diem kayak gini." Angkasa mengepalkan tangannya erat, beruntung toilet di lantai tiga tempat kelasnya berada jarang sekali dimasuki oleh murid-murid lain.

"Harusnya aku bisa sehat, biar mama sama papa gak merasa terbebani dan akhirnya ninggalin aku kayak gini. Tapi aku gak pernah minta terlahir sakit, kalau aku bisa, aku juga mau sehat." Air mata menetes dari netra hitam Angkasa. Pemuda itu meruntuki nasib nya yang harus berjuang sendirian, juga untuk melawan rasa sakit yang sering kali dia rasakan.

"Aku capek, tapi aku gak mau pulang duluan. Aku masih mau lihat mereka, aku pingin mama dan papa lihat aku sebagai anak mereka." Angkasa terus bergumam pelan, lagi pula dia yakin jika sekolah pasti sudah sepi karena memang mereka pulang lebih awal karena guru-guru sedang rapat.

Namun Angkasa tidak menyadari jika ada seseorang yang mendengar semua gumaman nya dari balik pintu toilet.

"Jangan ngeluh Sa, sekarang saat nya kamu kerja. Lusa udah gajian dan kamu bisa beli obat."

Ya, begitulah cara Angkasa menyemangati dirinya sendiri, tidak akan ada yang menyemangatinya selain dirinya sendiri.

"Semangat Angkasa!"

Cklek

Seorang siswa keluar dari bilik toilet setelah Angkasa meninggalkan toilet, wajah nya tidak bisa dibaca. Dia mendengar semua keluhan Angkasa, namun dia tidak ingin mengambil pusing hal itu.

"Bukan urusan gue."
.
.
.
.
.
"HEH SIALAN!!"

Angkasa terpaksa berhenti melangkah saat Samudera dan Langit berdiri dihadapannya, belum lagi Bumi dan Fajar yang kini audah berada di belakang nya.

"A-ada apa?" Samudera tersenyum miring.

"Lo nanya ada apa?" Samudera melangkah mendekati Angkasa yang berusaha melangkah mundur, namun terhalang oleh Bumi dan Fajar.

"LO LUPA TUGAS LO SIALAN?! KEMANA LO WAKTU ISTIRAHAT TADI HAH?!" Angkasa menunduk, dia memang sengaja tidak ke kantin karena dia tidak membawa seragam lain.

"Si miskin ini berubah bisu Sam, habisin aja lah." Ucapan Fajar membuat Samudera semakin tersenyum senang.

"Lo bener, sampah ini sekarang berubah bisu, gimana kalau kita bikin dia tau kalau seharusnya dia gak ngelawan kita?" Fajar tanpa aba-aba langsung mendorong tubuh Angkasa kearah Samudera.

Buagh

Bruk

"Berdiri!!" Angkasa mencoba berdiri setelah Samudera membuatnya jatuh berlutut.

"Lo itu harusnya gak pernah ada di sekolah ini sialan!!"

Buagh

Buagh

"Ugh... A-ampun."

"T-tolong lepasin aku... aku harus kerja sekarang." Samudera seolah tuli akan permohonan Angkasa, pemuda itu tetap memukul Angkasa dengan keras.

Suara tawa dari Bumi dan Fajar terdengar saat Samudera menendang Angkasa, sedangkan Angkasa sibuk melindungi kepala dan wajahnya.

Duk

Duk

Duk

"Aakkhh.." Jeritan Angkasa terdengar saat tendangan Samudera tepat mengenai ulu hatinya.

"Uhuk... Uhuk..." Samudera menatap datar pada Angkasa yang sepertinya kesulitan bernafas.

"Sam, udah. Ayo mama udah di depan." Samudera memberi kode pada Bumi dan Fajar untuk pergi, meninggalkan Angkasa yang sedang mengerang kesakitan di koridor sekolah mereka.

"Sampah akan tetap menjadi sampah!"
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Home?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang