Chapter 03

386 49 1
                                    

Arranged Marriage – Chapter 03


Melvin memakirkan mobilnya di depan café yang menjadi tujuanya. Membuka pintu dan membuat bunyi gemerincing terdengar. Matanya mengedar mencari sosok yang akan ditemuinya. Sudut bibirnya terangkat ketika menangkap sosok itu sedang duduk di meja dekat jendela.

"Sudah lama menunggu?"

"Tidak."

Melvin mendudukkan diri di depan orang itu. Merasa terabaikan karena orang itu lebih memilih memandagi jalanan lewat jendela daripada memandangnya.

"Jadi? Bagaimana pernikahanmu?"

Melvin menundukkan kepalanya. Berusaha menghidari pertanyaan yang baru saja terlontar. Tangannya meremas celana jins yang ia kenakan. Tidak sanggup menatap mata sayu orang di depannya.

"Aku harap kau akan bahagia dan pengorbananku melepaskanmu tidak sia-sia."

"Aruna"

Suara Melvin sangat lirih. Hanya bisa didengar oleh kekasihnya yang duduk di hadapannya. Kekasihnya ya? Harusnya seperti itu sebelum ia menikah dengan Yesha. Aruna. Gadis yang duduk dihadapannya ini adalah kekasihnya yang harus ia tinggalkan untuk menikah dengan Yesha. Melvin meringis melihat jejak air mata di pipi Aruna dan mata gadis itu yang masih terlihat membengkak. Jantungnya seakan diremas melihat orang tekasihnya seperti ini.

Melvin mencintai Aruna. Sangat mencintainya. Tapi Melvin tidak bisa menghindari pernikahannya dengan Yesha. Ingin sekali Melvin menolak pernikahan bisnisnya dengan Yesha ketika sang ayah membicarakannya dulu. Tapi melihat ibunya yang memandangnya penuh harap, hanya anggukan yang bisa Melvin lakukan, menyetujui pernikahan yang sudah orang tuanya rancang. Ia mencintai Aruna tapi ibunya terlalu berharga untuknya. Melihat ibunya yang antusias atas penikahannya dengan Yesha, menyetujui pernikahan itulah yang bisa Melvin lakukan untuk ibunya. Melvin merasa dirinya belum melakkan banyak hal untuk membahagiakan orang tuanya.

Melvin belum pernah mengenalkan Aruna pada kedua orang tuanya dan saat akan melakukan hal itu, perjodohan itu datang seperti serangga yang mengusik. Ada perasaan sesal membiarkan gadisnya terluka dan menangis karena pernikahan ini. Melvin hanya bisa memaki dirinya sendiri.

Melvin masih ingat betapa frustasinya dia ketika harus membicarakan pernikahannya pada Aruna. Melvin tidak sanggup melukai gadis itu. Ingatan tentang Aruna yang menangis terisak ketika ia membicarakan semuanya masih membekas jelas di kepalanya. Membuat Melvin selalu dihantui rasa bersalah.

"Jadi kita akhiri hubungan ini. Kau harus bisa bahagia dengan istrimu."

Melvin tahu, meskipun Aruna memang merelakannya, gadis itu sakit karena ini semua. Melvin tidak suka membiarkan Aruna dalam keadaan seperti ini, tapi nyatanya ia hanya bisa membiarkan mantan kekasihnya itu menaggung semua rasa sakit itu.

"Aku juga akan pergi, Vin. Aku akan berusaha melupakanmu jadi aku memilih untuk pergi jauh darimu. Dan kita masih bisa berteman."

Pergi? Jadi gadis yang masih mengisi hatinya ini akan pergi? Meninggalkannya di sini dengan rasa baru yang tidak ia pahami? Melvin tidak mau melepaskan Aruna, tapi ia juga tidak bisa egois dengan menahan Aruna di sampingnya yang hanya akan menyakiti beberapa pihak.

"Aku mencintaimu"

Aruna tersenyum tipis. Jemarinya bergerak meyentuh jemari Melvin yang ada di atas meja. Memberikan senyuman terbaiknya untuk pria itu. Aruna mengangkat sedikit tubuhnya kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Melvin. Mengecup singkat bibir pria itu. Kecupan singkat itu membuat dada Melvin bergemuruh.

"Aku juga –tapi mari kita lupakan perasaann itu."

***

Yesha baru saja selesai memasak makan malam ketika Melvin melenggang masuk ke dalam rumah. Pria itu tampak kusut, Yesha mengerutkan dahi melihat suaminya itu. Sepertinya pria itu tidak dalam kondisi mood yang baik. Apa ia baru bertemu dengan seseorang yang membuatnya begitu? Yesha tidak ingin ikut campur dengan urusan lelaki itu tapi diabaikan ketika mereka sedang melakukan makan malam –memaksa Yesha untuk bertanya, meskipun ia mendapatkan hasil nihil untuk jawabannya.

"Kau tidak apa?"

Melvin menggeleng dan terus melanjutkan makannya. Setelah selesai, Melvin langsung pergi begitu saja. Yesha kira pria itu akan membantunya mencuci piring seperti tadi siang. Sepertinya pria itu sedang butuh waktu sendiri.

***

Yesha memasuki kamarnya dan tidak menemukan Melvin di sana. Mungkin suaminya itu sedang berada di ruang kerja. Yesha menghembuskan napasnya, tungkainya melangkah mendekati kopernya yang sudah terbuka. Ia mulai melanjutkan aktivitasnya memasukkan pakaiannya ke dalam lemari yang tadi sempat tertunda untuk memasak makan malam.

Yesha mengangkat tumpukan bajunya dan memasukkannya ke dalam lemari. Gerakan tangannya terhenti ketika ia menemukan figura foto di balik tumpukan bajunya. Hatinya teremas mengetahui foto apa itu. Fotonya bersama Ghava ketika mereka melakukan perayaan kelulusan mereka.

Yesha mendudukkan diri di atas ranjang. Mengamati figura foto yang ada di tangnnya lamat-lamat. Matanya memanas, mengingat kepingan memori yang ia jalani bersama Ghava. Tangan mungilnya bergerak mengelus foto Ghava di sana dan saat itulah air matanya jatuh. Ghava cukup berarti bagi Yesha. Laki-laki lain selain kakaknya yang dekat dengan gadis itu. Malaikat penjaganya. Ia sudah bersama Ghava sejak ia masih kecil, bersekolah di tempat yang sama dan hidup bersebalahan.

Sudut bibir Yesha terangkat menginat Ghava yang selalu melindunginya ketika sang kakak tidak ada. Ingatan Yesha masih begitu jelas mengingat Ghava yang hampir mematahkan tangan seorang siswa yang sudah berani mengganggunya.

Sepasang kekasih bukan frasa yang tepat mendefiniskan hubungan keduanya karena memang mereka tidak pernah terlibat dalam hubungan seperti itu. Mereka memahami perasaan masing-masing dan hubungan mereka berjalan begitu saja. Takut jika memang hubungan mereka lebih dari sekedar teman, suatu hari mereka akan terpisah karena hubungan yang mereka jalin itu. Dan nyatanya walaupun tidak ada kata kekasih di antara mereka, mereka harus terpisah.

Ghava memiliki tempat tersendiri di dalam hati Yesha. Dan masih menang sampai saat ini, meskipun Yesha sudah memiliki Melvin sekarang. Tidak mudah meskipun berkali-kali Yesha menghilangkan bayang-bayang Ghava. Pria itu seakan terpahat sempurna dalam hati Yesha. Ghava orang yang sangat khusus bagi Yesha sama seperti Jeffrey. Bahkan ketika sedang sedih pun, yang selalu Yesha butuhkan adalah Ghava sebagai sandarannya dan begitupun sebaliknya, maka dari itu tidak mudah menghapuskan nama Ghava dari hatinya. Sama seperti tinta hitam pekat yang melekat di kain putih.

Yesha hanya sedang merindukan lekaki itu. Yesha memejamkan matanya berusaha mengingat-ingat Ghava di kepalanya, mengingat kembali kenangan manis mereka. Gadis itu hanya berusaha mengobati rasa rindunya.

Ceklek

Suara pintu terbuka, membuat Yesha segera menghapus air matanya kasar. Pintu kamarnya terbuka menampilkan sosok Melvin yang berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan alis terangkat. Yesha jadi kelabakan, gadis itu bangkit dari duduknya, kemudian menyembunyikan figura fotonya di balik tumpukan bajunya.

Melvin mencoba mengabaikan apa yang dilakukan istrinya itu meskipun ia sedikit penasaran dengan mata sembab Yesha. Melvin melangkah ke kamar mandi, membersihkan diri lalu beristirahat karena hari sudah larut malam.

Yesha mendesah lega ketika tubuh Melvin sudah tertelan di balik pintu. Ia menutup lemarinya setelah semua bajunya sudah masuk ke sana. Ia tadi juga sudah membereskan baju-baju Melvin. Gadis itu membuka sisi lemari yang lain dan mengambilkan piyama untuk suaminya itu.

Aku merindukanmu, Ghav.


-to be continue


Arranged MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang