DERITA SI MISKIN DI PESANTREN 1
Penulis: Annisa Ryn
'Nak, ibu nggak bisa jenguk, jadi titip saja. Ibu sehat, ibu juga makan enak di sini kamu tenang saja.'
Aku membaca sebuah kertas yang dibubuhi oleh tulisan tangan ibuku.
Menghela napas pelan dan menyimpan kertas tersebut di dalam laci kamar yang aku tempati selama 6 bulan belakangan ini.
Kubuka kardus yang telah di bungkus rapi, di dalam sana terdapat sekantong beras dan singkong, jagung serta beberapa sayuran lainnya yang aku yakini di petik di kebun sendiri. Tak lupa ibu juga menyelipkan uang pecahan 5 ribu empat lembar di dalam plastik berwarna putih di ikat dengan kuat.
Melihat hal tersebut, bohong jika aku mengatakan bahwa aku tidak menitikkan air mata, hidup miskin benar-benar begitu menyedihkan, sebagai anak usia 20 tahun jelas aku iri melihat teman-teman santriku yang lain, serba berkecukupan, pun orang tua mereka selalu menjenguk setiap dua minggu sekali. Berbeda sekali dengan ibuku, selama masuk di pesantren ini, baru sekali ibu datang itu pun hari pendaftaran.
Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk bekerja saja, membantu ibu mencari nafkah, namun ternyata niatku di bantah keras oleh wanita setengah baya yang melahirkanku tersebut.
Ibu ingin aku menjadi Ustadzah.
"Hanya kamu harapan ibu satu-satunya, ibu ingin kamu berguna untuk agama, setidaknya meski kita miskin di dunia, kita kaya di akhirat, Nak."
Aku ingat betul, saat mendengar ucapan ibu, aku menangis haru, hingga aku setuju masuk ke salah satu pesantren sederhana yang terdapat jauh dari kampung tempatku tinggal.
Hanya ini pesantren yang biaya pendaftaran dan biaya bulanannya tidak terlalu mahal, itu sebabnya ibu memilih pesantren ini untuk pendidikanku meski jauh dari rumah.
Di pesantren ini masih menganut sistem santri mandiri, yang artinya, masak dan cuci tetap kewajiban sendiri.
"Zahra, bajuku kotor, mau cuci tidak?" Saat sedang sibuk dengan lamunan, teman sekamarku Ely menepuk pelan pundak ini.
"Boleh, mana?" tanyaku sambil tersenyum.
Di sini aku membuka jasa cuci baju, jadi bagi beberapa santriwati yang tidak sempat mencuci atau mungkin malas mencuci pakaian mereka, mereka bisa memakai jasaku, hanya seribu rupiah perbaju. Aku tidak malu sama sekali, toh uang yang diberikan ibu kadang memang tidak cukup dengan kebutuhanku di sini.
"Ada sekitar 15 baju, 15ribu kan?" tanya Ely.
"Iya Ly," jawabku pelan.
"Ini aku bayar sekarang saja," katanya sambil menyerahkan uang dua puluh ribu.
"Enggak usah kembalian, simpan saja nanti aku nyuci lagi." Aku mengangguk mengerti.
Ely adalah teman asrama alias pelanggan setiaku, ia tidak pernah mencuci baju. Orang tuanya kaya jadi uang dua puluh ribu tidak ada harganya bagi Ely.
Aku menyembunyikan hal ini pada ibu, aku tak ingin wanita itu sedih dan merasa gagal.
Aku rela mengorbankan waktu istirahatku demi mendapatkan uang.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
SANTRIWATI MISKIN PILIHAN GUS TAMPAN
Teen FictionAku yang menjadi buruh cuci di pesantren tiba-tiba mendapatkan pinangan dari Gus Tampan