"Aku memang miskin, ibuku miskin!"
"Ayahmu nggak kasih kamu uang?"
"Bahkan ia sudah tidak menafkahiku semenjak bercerai dengan ibuku."
"Astagfirullah Raa, ada ya bapak tega liat anak kandungnya di sini kesusahan sedangkan anak tirinya berkecukupan dan tidak kekurangan sesuatu apapun!" Ely menggelengkan kepalanya.
"Nanti cerita lain di dalam kamar, di sini takutnya ada yang dengar," kata Ely, aku mengangguk setuju. Benar kata Ely, apalagi jam gotong royong hampir habis. Pasti nanti akan banyak santri yang ke sini untuk mandi atau membersihkan tubuh.
Setelah selesai mencuci, aku mulai membilas satu persatu pakaian yang ku cuci tadi lalu memisah-misahkan yang mana milikku dan yang mana milik teman yang memakai jasa cuciku.
Setelah itu berpamitan dengan Desi dan Ely, menyuruh dua gadis itu untuk masuk duluan, pasalnya aku harus menjemur pakaian ke belakang sebentar.
Untuk masalah makan siang ini, aku tidak terlalu ambil pusing, masih ada sisa rendang kemarin yang di simpan di kulkas milik ustadzah.
Jadi kamu tinggal memanaskan saja, untuk nasi, Desi sudah masak tadi. Ia tahu aku sudah tak memiliki sedikit pun beras.
Hari berikutnya tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, memang begini kehidupan sebagai seorang santri, setiap harinya kami harus melakukan hal yang sama dan berada di lingkungan yang sama pula. jika aku merasa bosan. Aku dan Desi memilih keluar dan duduk di warung ustadzah. Setidaknya di sana kami bisa melihat jalanan dan juga motor serta mobil. Rasa rindu pada kampung halaman setidaknya terobati.
Aku melewati suka duka di pesantren dengan hati sabar. Kadang aku masih sering menangis saat melihat ayah yang menjenguk Risa kadang juga aku sering menangis saat pusing tidak tahu harus makan apa.
Semua aku telan mentah-mentah, setidaknya aku mendapatkan pengalaman berharga, hingga tak terasa aku sudah 9 bulan di pesantren ini.
Hari ini aku senang bukan main mendapatkan kiriman dari ibu. Ibu memang selalu rutin mengirimkan bahan makanan setiap satu bulan sekali.
Aku berjalan ke arah posko dengan hati yang berbunga-bunga. Desi berada di sampingku. Gadis itu juga mendapatkan kiriman dari ibunya.
Saat berdiri di posko, kulihat ayah juga menitipkan sesuatu untuk Risa.
"Untuk Clarissa Nadya! Jangan di banting ya Dek, banyak buah-buahan di sini, seperti kelengkeng, mangga, alpukat, buah naga!" Sengaja nada suara Ayah terdengar naik satu oktaf, entah lah aku merasa ia sedang memperdengarkan padaku.
Ayah mengingatkan pada wanita yang menggunakan cadar duduk di posko. Tangan ayah merongoh saku.
"kasih ini, ya!"
Ayah menyerahkan uang seratur ribu lima lembar.
Wanita itu mengangguk. Aku mengatakan namaku dan kardus kecil yang tertera namaku pada kertas di atas kardus itu d serahkan padaku.
"Terima kasih, Ustadzah."
Desi juga mengambil kirimanya. Tak ada tegur sapa sedikit pun antara aku dan Ayah, entahlah aku sudah tidak bersemangat untuk sekedar menyumggingkan sebuah senyuman untuk ayah. Aku tahu betul, Ayah pasti tidak akan memedulikan aku. Desi sempat menatap ayahku lama.
Aku menepuk wanita itu pelan. Bukan apa, aku hanya tak ingin Ayah tahu bahwa Desi juga mengetahui bahwa dia adalah ayahku. Bisa-bisanya aku akan semakin di benci oleh ayahku sendiri.
"Ayo Des," kataku.
Saat aku dan Desi pergi, ayah sempat menatapku. Dan pergi juga dari sana.
"Sakit?"
"Aku sudah biasa saja Des," jawabku.
"Bagus deh, Zahra yang aku kenal nggak lemah."
Setelah masuk ke dalam asrama. Kutatap nanar kardus itu.
Mulai membuka dengan pisau kecil. Merobek di bagaian lasiban.
Hal pertama aku dapati adalah beras yang berada dalam kertas putih, ibu sengaja memasukkan beras di atas agar tidak terhimpit dengan lainnya yang lebih berat.
Mataku membelak kala melihat banyak sekali makanan. Tak ada singkong atau jagung. Yang kudapati biskuit, kue dan juga bolu, meski sudah sedikit penyok di bagian samping kiri mungkin di banting saat dalam perjalanan.
Desi juga menatap tidak percaya. Selama 9 bulan berada di sini, baru kali ini Desi melihat ibuku mengirimkan makanan enak.
Aku mengeluarkan semua dari dalam sana, menyuruh Desi untuk membagikan kue tersebut pada teman-teman yang sering membantuku. Saat sedang sibuk memotong kue, mataku tertuju pada kertas putih yang di ikat kuat. Ya. Seperti biasa isinya uang, namun yang membuat aku terkejut adalah jumlah uang yang lumayan banyak.
Tiga lembar uang 100 ribu. Di sana juga terdapat sebuah surat. Buru-buru membuka dan membaca tulisan tangan ibu.
*Di sini ibu sehat, ibu harap kamu juga sehat. Ibu sedikit terkejut kemarin saat pemimpin pesantrenmu ke rumah kita bersama keluarganya. Akan tetapi ibu tidak bisa memungkiri rasa senang ibu, anak ibu akhirnya ada yang lamar, selamat ya nak, Kyai juga puji kamu kemarin, ngomong-ngomong siapa nama calon kamu? Ibu setuju sekali, masya allah anak ibu jadi menantu Kyai, tapi itu semua ibu serahkan padamu, jika kamu setuju ibu juga setuju. Nanti kalau ada waktu telpon ibu, ya.*
Aku membaca tulisan itu sedikit menyerngit. Tidak percaya akan tetapi ini tulisan tangan ibu, aku kenal betul, ibuku tamatan smp, tulisannya tak terlalu bagus.
Meneguk saliva susah payah. Bahkan tubuhku sudah keringat dingin.
"Raa! Ini di belah berapa?" Desi bertanya. Aku tidak menyahuti.
"Raa? Ely makan di sini saja, buat kelas sebelah cukup segini nggak?"
"Biskuit juga banyak banget, gila kayak makanan orang lamaran," kata Desi. Memang ada beberapa kue yang dibuat khusus untuk orang lamaran. Seperti sudah menjadi adat kami untuk membawa kue tersebut.
Desi nampak kesal sendiri. Gadis itu menghampiriku dan menepuk-nepuk pelan bahu ini.
"Heh! Jangan bilang kamu menjadi tuli?"
"Astagfirullah Azahra binti ..." Desi tidak melanjutkan ucapannya, aku menoleh dan menatap gadis itu cukup lama.
"Apa aku saja yang tidak tahu?" tanyaku.
"Atau ibuku yang sedang bercanda?" tanyaku. Akan tetapi tidak mungkin ibu bercanda ia terlihat begitu sungguh-sungguh menagatakan itu lewat surat. Aku kenal betul ibuku.
Apalagi melihat kue-kue dan juga uang, dari mana ibu mendapatkan semua itu.
"Des!" panggilku pelan.
"Apa sih??"
Aku menggelengkan kepala sambil menyerahkan surat itu untuknya.
"Kenapa?"
"Baca, Des! Baca!"
Gadis itu mulai fokus pada selembar kertas putih itu.
"Raa? Sumpah demi apa? Kamu?"
"Raa? Ya allah Raa, ini beneran?"
"Aaa!" Hadis itu berteriak sambil melompat-lompat senang.
"jadi menantu Kyai!"
"siapa?" Ely menghampiri dengan rasa penasaran.
"Siapa menantu Kyai?"
"Des, masih belum jelas jangan teriak!"
"Belum jelas bagaimana? Jelas-jelas kamu ..."
"Desi Wulandari!"
Bersambung ....
Jangan lupa komen biar aku semangat up part selanjutnya. Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
SANTRIWATI MISKIN PILIHAN GUS TAMPAN
Ficção AdolescenteAku yang menjadi buruh cuci di pesantren tiba-tiba mendapatkan pinangan dari Gus Tampan