Part 6

261 14 0
                                    

"Raa, ada titipan ibumu di posko!" Desi yang baru saja kembali dari kantin memberitahukan bahwa ibuku menitipkan sesutu.

"Masa sih? Belum satu minggu ibu kirim titipan," jawabku.

Biasanya ibu mengirimku bahan makanan dan yang lainnya sebulan sekali, bukan karena tidak peduli padaku, tapi aku tau betul ibu tidak memiliki uang, apalagi ongkos titipnya pun lumayan 50 ribu untuk jarak dari rumahku ke pesantren.

Untuk makan saja aku tidak yakin ibu makan teratur dua kali sehari, biasanya ibu lebih sering berpuasa.

"Nggak tau, mending ke depan yuk."

Aku meletakkan kembali baju kotor yang menjadi tanggunganku untuk mencuci lalu berjalan dengan tergesa-gesa ke arah depan.

"Azahra, ka," aku mengatakan nama pada kakak-kakak yang duduk di bangku posko.

"Oh, ini titipan dari kampung," katanya menyerahkan kardus tidak terlalu besar.

Setelah mengucapkan terima kasih, kembali menuju asrama dengan rasa penasaran yang teramat sangat.

"Kira-kira ibu ngirim apa, ya?" tanyaku.

Setelah sampai di dalam asrama kubuka kardus tersebut dan mendapati beberapa baju atasan wanita muslim dan sarung.

Serta sebuah kertas tulisan khas tangan ibu.

*Ini baju milik Buk Sarina, dia nyumbang untukmu, baju bekas putrinya dulu. Ibu rasa kamu bisa pakai, Nak!*

Aku terdiam beberapa saat. Memang aku tak punya banyak baju dan sarung serta jelbab berbeda dengan santri-santri lain. Aku harus mencuci satu minggu dua kali agar tidak kehabisan pakaian, hanya memiliki empat baju, tiga satung dan lima jilbab.

"Baju baru ya Ra?" tanya Desi.

"Baju baru menurutku," jawabku sambil tertawa pelan.

Benar, masih sangat bagus-bagus baju yang diberikan Buk Sarina.

Aku melipat satu persatu baju-baju itu dan meletakkan di dalam lemariku yang sudah kosong karena memang aku hendak cuci baju semua pakianku tak ada lagi yang bersih, ah, berbicara tentang pakaian dalam, aku selalu malu menjemurnya, semua pakaian dalamku tak luput dari robekan, itu sebabnya kadang saat menjumur, benda itu aku tutup menggunakan jelbab. Karena tempat jemur di sini cuma satu untuk semua santriwati, di belakang kamar mandi, tali di ikat panjang beberapa baris, meski campur aduk begitu, tidak ada yang kehilangan pakaiannya, ah atau aku saja yang tidak pernah kehilangan karena siapa yang mau ambil punyaku?

Waktuku tidak banyak untuk mencuci, karena jam 9 nanti kami akan melaksanakan sholat dan pengajian dhuha. Memang untuk santri safiyah seperti kami lebih banyak waktu belajar kitab-kitab berbeda dengan santri di ponpes modern yang sistimnya jauh berbeda dari kami.

Pun di sini untuk semua kebutuhan santri tidak di sediakan oleh pihak pesantren, contohnya untuk makan, santri di harusnya untuk masak sendiri, sebenarnya menyediakan catering juga akan tetapi tidak banyak yang mengambil catering karena biayanya yang lumayan menurutku, hanya santri dari keluarga mampu saja yang mengambil jasa catering tersebut, namun untuk anak dari keluarga miskin sepertiku lebih memilih masak sendiri, masak apa saja yang ada jika tak ada berarti tidak makan.

Sebenarnya di sini juga menyediakan jasa londry, namun karena teman-temanku tahu bahwa aku berasal dari kelurga miskin mereka lebih memilih memakai jasaku, selain cuciku pakai tangan, mereka juga lebih nyaman karena harga yang kuambil perbaju tidak mahal. Sebagian temanku juga berniat membantuku.

Aku tidak pernah mau menerima bantuan cuma-cuma jadi semua orang di sini tau bagimana aku, hingga sebagian dari mereka memilih membantu dengan cara memakai jasa cuci.

Di sini aku lebih di kenal dengan panggilan, 'Zahra tukang cuci' namun aku biasa saja, tidak malu sedikit pun.

Toh untuk apa malu, aku tidak mencuri atau melakukan kesalahan apa pun, menurutku gengsilah yang menghancurkan gemerasi anak muda sekarang.

"Siang ini masak apa, Ra?"

"Nggak tahu Des, lihat dulu nanti," jawabku.

"Rencananya mau beli ikan asin saja 3 ribu, masih ada sisa sayur bayam yang ibu bawa kemarin."

Bersambung ....

SANTRIWATI MISKIN PILIHAN GUS TAMPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang