"Tadi makan sama garam?"Deg!
"Des! Ya ampun kamu bikin aku kaget saja," cetusku kesal sambil memukul pelan lengannya.
Aku berusaha bersikap biasa saja, jangan sampai salah tingkah.
"Aku sejak tadi di sini merhatiin kamu," katanya, seketika aku terdiam, merasa malu.
Desi melihat gerak-gerikku yang terkesan begitu kampungan, makan sembunyi-sembunyi plus terburu-buru.
"Sudah berapa kali kukatakan padamu, aku tak suka kau makan nasi dengan garam, jika begitu apa pentingnya aku? Bagaimana jika kita tidak usah berteman saja? Kau terlalu egois Zahra! Sebenarnya rasa egoismu itu yang membuat kau tak mau menerima bantuanku kan? Baik jika begitu maumu, kau sendiri saja mulai sekarang, kita tak usah berteman," katanya. Aku tertohok, tak tau harus menjawab apa.
"Des, bukan begitu aku ...."
"Apa Zahra? Berapa kali lagi harus ku jelaskan, jika memang lapar dan tidak ada makanan, buka saja lemari penyimpan makananku, kau bisa ambil apa yang ada di sana, tapi ternyata kau tak suka di bantu, kau sombong!"
Aku bergeming mendengar suara Desi.
Aku tahu ia tidak berniat mengatakan semua itu, akan tetapi kuakui, ucapannya tadi membuat hatiku berdenyut sakit, aku menelan ludah, lalu duduk di atas kursi di samping.
"Kamu anggap aku sombong?"
"Iya!" tegasnya.
"Des, kamu tidak mengerti apa yang aku rasakan, aku berasal dari kampung, rumahku jelek bahkan hampir roboh dan kamu mengatakan aku sombong? Coba sekali saja kamu menjadi aku, setiap bulannya aku hanya mendapatkan kiriman beras satu plastik kecil, sayur mayur yang ibu petik dari kebun serta uang jajan 20 ribu, ah, 20 ribu itu sudah lumayan bahkan aku pernah di kirim uang 15 ribu saja!"
"Selama aku di sini, apa yang pernah aku berikan untukmu? Makanan enak? Daging? Ikan? Des, mau beli ikan asin 3ribu saja aku susah sangat bersyukur. Aku selalu menerima bantuanmu sedangkan aku tak pernah membantumu, bukan karena aku pelit, tapi karena aku tak mampu itu sebabnya jika menerima bantuan seseorang, aku pasti merasa tidak enak, karena aku tahu bahwa aku tidak akan bisa membalas mereka."
"Aku selalu sesak Des, bayangkan saja, saat aku makan nasi dengan garam, ayahku mengirimkan banyak makanan mewah dan enak untuk Risa. Tanpa peduli aku sudah makan atau belum! Ia memberikan seluruh santri uang kecuali aku! Kamu pikir aku baik-baik saja? Demi Allah aku sakit hati. Sebegitu bencinya kah ayahku terhadapku dan ibu?"
"Rasanya aku ingin mati saja Des, agar ayahku senang dan puas, ia tak perlu menatap wajah yang menjijikan ini, pun Risa tak perlu membuang tenaga untuk membullyku, dan ibu, ia tidak akan kesusahan lagi mencari uang untuku." Tangisanku pecan. Aku mentupi wajah dengan kedua tangan. Tubuhku bergetar hebat, rasanya aku seperti baru saja melepas beban yang selama ini menjerat bahuku, aku puas!
Aku juga tak tahu apa yang ia lakukan, sekedar menatapku saja atau mungkin pergi dan tidak berniat berteman denganku lagi. Namun nyatanya dugaanku salah. Aku mendengar isak tangis Desi, aku merasa ada seseorang yang memeluk tubuhku sambil mengatakan kata maaf berulang kali. Tangisan Desi begitu menyakitkan di telinga.
"Kamu kuat sekali, mungkin jika aku menjadi kamu aku sudah lama bunuh diri." timpalnya di sela-sela isak tangisnya.
"Kamu benar-benar insan terpilih untuk di uji!"
Aku tak menanggapi ucapan Desi.
"Kau pernah dengar? Jika seseorang kesusahan dan menderita saat hidup dengan orang tuanya, tuhan akan mengangkat derajatnya lewat pasangannya."
"Des! Aku tak yakin ada laki-laki yang mau denganku."
"Jika suatu saat kamu berhasil keluar dari semua kesakitan ini, aku adalah orang pertama yang menjadi saksi nyata perjuanganmu."
****
Setelah menunaikan sholat Dzuhur berjamaan, kini saatnya seluruh santri masuk kelas pengajian. Setiap hari kamis biasanya yang mengisi pengajian di kelas kami adalah Kyai sendiri.Selama 6 bulan masuk ke pesantren ini aku tak pernah libur kelas, meski sakit aku selalu mengusahakan untuk tetap hadir, aku hanya tak ingin ketinggalan apalagi jika bersama Kyai.
Untuk pengajian tiap hari kami, kelas kami mengkhususkan harus menggunakan gamis berwarna putih dan jelbab berwarna hitam.
Jika di tanya tentang bagaimana bentuk gamisku, jawabannya tidak ada bedanya dengan mukena. Warnanya sudah menguning serta ada sedikit robekan di bagian pergelangan sebenarnya sudah kujahit namun karena sering di cuci pakai tangan itu sebabnya robekannya semakin membesan dan menyebar.
Aku menggunakan Jelbab yang masih lumayan bagus, dikirim dari kampung oleh ibu. Jelbab sumbangan orang.
"Yok, Ra," ajak Desi. Sebenarnya aku masih merasa sedikit kaku dengan wanita itu, merasa malu dengan kejadian tadi siang. Aku malu sudah menumpahkan semuanya pada gadis itu.
Desi adalah sosok gadis baik dan tulus, aku bersyukur mengenalnya. Ia bahkan tidak berniat meninggalkan aku.
Saat masuk ke kelas aku duduk di tempat biasa. Kelas kami mirip seperti balai-balai, tidak ada kursi atau meja, jadi kamu hanya duduk bersimpuh di atas lantai bergelarkan ambal. Kami semua di haruskan menggukan cadar jika guru pengisi pengajian adalah laki-laki. Sudah menjadi peraturan umum.
Tidak berselang lama, Kyai hadir dengan seorang laki-laki. Wajahnya terasa familiah, saat melihat santriwati lain yang begitu antusis aku jadi tahu bahwa laki-laki itu adalah anak Kyai.
Biasanya ustadz Hanan yang menjadi tangan kanan Kyai, yang selalu menemani beliau ke mana pun. Namun sekarang Kyai tidak bersama ustadz Hanan.
"Gus Fatus, tampan banget, pinter, kaya, masya allah banget, dapat suami gini saa sudah syukur." Aku mendengar bisikan Ely pada teman di sampingnya.
Hanya aku saja yang biasa saja dan tidak hoboh, aku tidak terlalu peduli tentang lawan jenis, bahkan sejak dulu aku tak pernah dekat dengan laki-laki, cukup ayah saja yang menjadi laki-laki terkejam dalam hidupku, jangan ada yang lain.
Apalagi untuk menganggumu Gus-Gus, ah, jadi ngeri sendiri.
"Gus tadi natap kamu lama banget, kayak penasaran gitu," kata Desi setengah berbisik, aku memang tidak menyadari karena sejak tadi hanya menunduk saja.
"Oh, biarkan saja, liatin baju aku kali, soalnya di sini baju aku yang paling burik," jawabku sambil terkekeh.
Memang di antara santri lain yang memakai gamis putih, hanya aku saja yang memakai gamis berwarna kuning. Bukan kotor tapi karena keseringan di cuci dengan air sumur pun umurnya yang sudah lama.
"Bukan! Liatnya kaya heran gitu, penasaran." tambah Desi.
"Suka kali sama kamu?"
"Suka apanya? Lihat aku saja tidak pernah! Lagi pula nggak minat di sukai akumah," jawabku santai.
"Woi ini anak Kyai, Raa, bukan preman jalanan, yakali kamu nggak mau jadi menanti Kyai, mendadak jadi Ning, serius nggak mau jadi Ning?"
Aku menghela napas pelan menatap Desi jenggah, ia membuatku geram.
"Mustahil, Des! Lagi pula aku tidak akan menikah dengan siapa pun sampai aku mat*."
"Waduh!"
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
SANTRIWATI MISKIN PILIHAN GUS TAMPAN
Fiksi RemajaAku yang menjadi buruh cuci di pesantren tiba-tiba mendapatkan pinangan dari Gus Tampan