"Boleh Ra, kebetulan ibu kamu masih di sawah saya bersihin rumput itu ..."Deg!
Dadaku berdenyut sakit mendengar ucapan Mbak Yanti.
"Sejak kapan Mbak? Kok siang-siang masih di sawah?" tanyaku.
"Sejak tadi jam 1 siang, padahal saya sudah suruh pulang, nanti sore kerja lagi tapi ibu kamu ngeyel katanya dikit lagi, tanggung sudah kotor," jelas wanita itu.
Aku sesak menahan diri untuk tidak menangis, aku tahu betul biasanya upah membersihkan rumput di antara tumbuhan padi sehari hanya 25ribu.
"Kamu balajar yang giat, ya, kasian banget ibu kamu di kampung, minggu kemarin ibumu ikut nyebur ke tambak buat bantu ngambilan ikan Pak Aryo, kasian banget upahnya cuma 20ribu padahal capek lho, tapi mau gimana lagi kata ibumu kamu butuh kiriman, malah uang 20 ribu itu di kirim ke kamu semua." Bibirkan bergetar hebat, aku tidak tahu harus menjawab apa.
Ibu sendiri di sana berjuang untukku.
"Sekarang semua serba mesin jadi ibumu sudah tidak nyuci baju orang lain, semua udah pada beli mesin cuci!"
Mbak Yanti berbicara sambil berjalan, namoak napasnya yang terdengar sedikit memburu.
Aku semakin bingung, sangat kurang ajar jika aku malah mengatakan bahwa aku butuh uang untuk beli baju setelah tahu bagaimana keadaan ibu.
Pikiranku malah semakin tak karuan, rasanya aku ingin keluar saja dari pesantren dan membantu ibu di kampung. Akan tetapi aku mencoba menepis semua itu, aku tahu bahwa aku dan ibu sedang di uji.
"Buk, Zahra nelpon!"
Terdengar suara Mbak Yanti memberitahu ibuku bahwa aku menelpon.
"Wah putri saya, ya?"
Jawaban itu sangat antusias, meski dari suara itu terdengar nada lelahnya.
"Assalamu'alaikum, Nak?"
"Wa'alaikumussalam!"
"Kenapa nelpon Zahra? Ada masalah?" tanya ibu karena selama ini aku memang jarang sekali menelpon.
"Kangen saja Buk! Ibu sehat?" tanyaku.
"Sehat, kamu bagimana?"
"Zahra juga sehat!"
"Apa uang dan belanjaanmu kurang, Nak? Biar ibu kirim besok," tanya ibu, seolah ia ingin menunjukkan padaku bahwa ia memiliki uang banyak.
"Cukup Buk, Zahra selalu makan enak di sini," sahutku.
"Wah sama, ibu juga."
"Ibu lagi kerja ya?" tanyaku. Cukup lama ibu diam.
"Ibu bosan sudah tiga hari rebahan saja di rumah, kalau sudah tau begini tidak baik tidak memiliki kegiatan apa pun," jelas wanita itu.
"Ibu makan teratur atau sering puasa?" tanyaku.
"Sekarang jarang ibu berpuasa!"
"Yasudah Buk, Zahra matikan, ya, soalnya mau dengar suara ibu saja, kangen!" alibiku.
"Sok atuh nak," jawabnya.
"Assamu'alaikum."
Setelah mendengar jawaban darinya aku mematikan sambungan telpon.
"Ini ustadzah," kataku sambil menyrarahkan uang serta ponsel pada wanita itu.
"Kamu ada masalah, ya Nak? Sini cerita sama ustadzah," katanya. Wanita itu menolak uang lima ribu pemberianku.
"Cuma kangen ibu saja," jawabku.
"Aku bicara lumayan lama tadi, ini ambil saja aku tidak enak."
"Tidak papa, ustadzah udah dapat bayaran dari allah berupa pahala tau," katanya.
"Terima kasih, ustadzah." Wanita itu manggut-manggut.
Aku kembali dan berlari ke arah kamarku. Sepertinya kali ini tidak ada kelas pengajian nampak beberapa santri wati sadang gotong royong bersama dengan beberapa pengurus.
Mengganti mukena dengan gamis sumbangan Buk Sarina dan jelbab. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Kemarin ibu kirim beberapa singkong yang belum ku oleh, bagaimana jika aku rebus dengan air gula dan kujual agar uang terkumpul untuk membeli baju.
"Ide bagus," batinku.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
SANTRIWATI MISKIN PILIHAN GUS TAMPAN
Novela JuvenilAku yang menjadi buruh cuci di pesantren tiba-tiba mendapatkan pinangan dari Gus Tampan