Part 14

272 17 0
                                    

Setelah selesai pengajian dengan Kyai aku bergegas menuju ke arah rumah Ustadzah, hendak menelpon ibu, nyatanya Kyai menyuruh semua Santri untuk menyampaikan undangan pada orang tua masing-masing.

Meski aku merasa sudah tidak enakan dengan Ustadzah karena terus menerus meminjam telponnya akan tetapi entah aku harus memberanikan diri.

"Kenapa Zahra?"

"Ustadzah ...."

Aku tidak berani mengatakan langsung.

"Kenapa Zahra?"

"Boleh tidak Zahra pinjam lagi ponsel Ustadzah?"

"Boleh, ini, nomornya udah Ustadzah simpan," katanya memperlihatkat. Benar Ustadzah telah menyimpan nomor Mbak Yanti dengan nama Wali Zahra.

Setelah menekan tombol telpon aku menunggu beberapa saat, sedangkan ustadzah memilih pergi sedikit berjauhan, mungkin tidak ingin aku merasa tidak leluasa berbicara.

"Assalamu'alaikum Mbak! Ini Zahra."

"Oh Zahra toh."

"Mbak boleh tidak kasih hp sebentar pada Ibu. Sebenarnya Zahra sudah tidak enakan mengganggu mbak Yanti terus menerus," kataku.

"Nggak papa Raa, ya ampun kamu kayak sama siapa saja, sebentar ya Mbak ke rumah kamu," katanya.

Rumah Mbak Yanti dan rumahku lumayan berjauhan. Alhasil wanita itu harus jalan kaki melewati 7 rumah baru akan sampai di rumahku.

Di kampungku hampir 70% masyarakatnya miskin, meski tak semiskin aku dan ibu, setidaknya mereka masih memiliki sawah dan ladang berbeda denganku, tanah yang aku tempati saja milik orang, bahkan dapat di usir kapan saja.

Semiskin itu aku dan ibu, dulu saat aku masih memiliki ayah namun aku tak merasakan sosok ayah sedikit pun. Karena apapun tetap ibu sendiri yang lakukan, dulu ayah bangun tidur jam 12 siang, saat bangun tidur mengambil uang ibu dan memilih nongkrong di warung kopi dan akan pulang magrib, setelah makan beliau akan pergi lagi.

Namun kerena ayah memiliki paras yang lumayan tampan di usianya yang sudah lima puluh tahun jadi tak heran janda kaya raya terpikat padanya.

Namun ibuku pernah bilang.

"Kalau nanti kamu nikah, jangan pilih rupa saja, tidak mengapa jelek tapi bertanggung jawab dan rajin. Jangan cari seperti ayahmu!"

Dulu aku selalu membantah ucapan ibu, aku marah saat ibu menjelek-jelekan ayah, namun sekarang aku mengerti.

"Sebentar, ya Raa, aku panggil dulu ibumu," kata Mbak Yanti membuat lamunanku terbuyarkan.

"Buk Lastri! Buk!" Mbak Yanti terdengar memanggil sambil mengetuk pelan pintu rumahku yang terbuat dari papan batang kelapa.

Tak ada sahutan dari dalam hingga beberapa saat.

"Mbak! Lihat ibunya Zahra tidak?" tanya Mbak Yanti pada seseorang yang aku pun tak tahu siapa.

"Setahu saya Buk Lastri tadi pagi kekampung sebelah bawa bekal tanya ada yang upah nanam padi."

Ibu suara tetangga samping rumahku.

"Oh, gitu, ya, makasih Buk."

Terdengar langkah Mbak Yanti mungkin wanita itu menjauh dari sana.

"Zahra! Ibumu tidak ada," katanya.

"Kamu mau ngomong apa memangnya nanti aku sampaikan," kata wanita itu. Sebenarnya aku tidak enak jika mengatakan. Pasalnya mendengar ibu pergi jauh-jauh demi uang 80ribu sehari penuh.

"Zahra! Katakan saja."

"Ini Mbak, besok lusa ada acara di pesantren Zahra. Acara maulid dan semua wali santri di undang. Zahra cuma mau menyampaikan undangan itu saja," kataku.

SANTRIWATI MISKIN PILIHAN GUS TAMPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang