"Dapat, 50ribu, sepertinya semua dapat, yang nggak dapat langsung juga di titip," mendengar hal itu aku tertohok.
"Berarti cuma aku saja yang di asingkan."
"Dapat, 50ribu, sepertinya semua dapat, yang nggak dapat langsung, juga di titip," mendengar hal itu aku tertohok.
"Berarti cuma aku saja yang di asingkan."
Desi terdiam mendengar ucapanku.
"Kamu serius tidak dapat?"
"Biarkan saja, Des, aku tidak akan kelaparan tanpa uang 50ribu itu, ibuku bertanggung jawab," jawabku. Aku tidak masalah jika memang di lupakan, akan tetapi bohong jika aku tidak sakit hati dengan tingkah laku ayah, memangnya apa salahku?
Sekarang aku mengerti, mengapa dulu ibu memilih mengalah dan setuju untuk bercerai.
"Aku tidak mau menikah dan tidak akan pernah menikah! Semua laki-laki sama saja."
Melupakan semua rasa sakit dan kembali melangkah, tuhan tidak tidur, aku tak mengadu semua sakitku, tapi aku yakin atas semua perbuatan akan ada balasannya.
Setelah masuk mushollah, aku memilih shaf paling depan di belakang imam, sudah siap dengan mukena lusuhku dan sarung, lalu duduk dan menunggu santri yang lain berkumpul di sini, hendak memulai yasinan bersama.
Biasanya sebelum azan magrib berkumandang kami akan membacakan surah yasin bersama-sama lalu di lanjutkan dengan membaca beberapa sholawat yang memang sudah di anjurkan oleh Kiayi.
Sepanjang bacaan yasin, air mataku jatuh, aku sesak sendiri, padahal aku sudah berusaha untuk tidak mengingat apa yang aku alami, Desi melanjutkan bacaannya saat melihat aku berhenti karena sesegukan, sebelah tangannya mengelus bahu ini.
Sempat menatap mataku lalu memberikan isyarat, namun aku tak mengerti maksudnya.
"Allah maha melihat lagi maha mengetahui." Wanita itu berbisik.
Air mataku membasahi mukena yang sudah tidak putih lagi warnanya akibat sudah berumur 9 tahun, bukan tidak ingin berpakaian rapi dan baru saat menghadap sang pencipta, akan tetapi aku tak mampu membeli yang baru, pun aku ingat kata-kata ibu. "Yang penting bersih dan wangi, Allah juga tahu kalau kita susah."
Aku ingat betul, mukena ini dibelikan ibu dari hasil menjual singkong yang ia tanaman. Saat itu aku tak punya mukena, di rumah hanya ada satu mukenah saja, jadi saat ibu sholat, aku memutuskan untuk mengambil wudhu dan menunggu ibu selesai baru aku bisa melaksanakan sholat juga.
Aku mencoba menenangkan diri, berusaha untuk tidak menangis saat sholat nanti, menghela napas pelan dan melanjutkan bacaan yasinku. Akan tetapi baru selesai membaca satu ayat aku kembali memangis, tidak ada yang tau bagaimana rasa sakit yang aku rasakan, kulirik Risa—anak tiri ayahku, ia nampak sibuk berbisik dengan teman di sebelahnya, bahkan ia mengabaikan bacaan yasin berjamaah.
Dari tawanya tidak ada beban, wajahnya sumringah, aku tidak membenci Risa, dia tidak salah, hanya saja aku terus berandai-andai, andai saja ayah juga menyayangiku, pasti aku dan Risa akan bisa menjadi kakak-adik, andai saja ayah tidak membedakan aku dan Risa mungkin aku akan sangat senang.
Namun itu hanya andai-andaianku yang mustahil terjadi, aku pun tak tahu di mana letak salahku dan ibu hingga ayah begitu membenci kami. Ah, ternyata benar, laki-laki di uji saat memiliki segalanya sedangkan wanita di uji saat sang laki-laki tidak memiliki apa apa.
***
Kuakui magrib tadi merupakan sholatku paling sulit, aku harus menahan diri untuk tidak menangis karena aku tahu jika aku menangis maka bacaan dalam sholatku akan berantahkan.
Aku dan Desi memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar asrama, mengambil beberapa kitab pelajaran malam ini dan bergegas ken kelas.
Biasanya pengajian di mulai dari jam setengah sembilan malam hingga jam dua belas malam.
Aku selalu rajin dan bersemangat, aku paham betul, tidak mudah perjuangan ibu mempertahankan aku agar tetap di sini, jadi aku tidak boleh menghabiskan waktu sia-sia, harus benar-benar belajar.
***
Setelah sholat subuh, dan mendengar ceramah dari kiayi yang sudah menjadi kebiasaan setiap selesai subuh, aku keluar dari dalam musholla, namun entah menagapa seorang memanggilku membuatku terkejut dan tidak percaya.
"Siapa namamu, Nak?" Kiaya nampak tersenyum.
"Azahra," jawabku sambil menunduk.
Beliau menganggukkan kepala dengan senyum di sudut bibirnya lalu pergi begitu saja. Desi menyenggol bahuku pelan.
"Hayo kamu ngapain?"
"Memangnya apa?"
"Kamu bikin masalah apa?" kata wanita itu aku menggelengkan kepala dengan wajah tenang.
"Santai aja Ra, itu kiayi nanya namamu sambil senyum bisa jadi beliau tersanjung sama kamu," jawab Desi.
Aku diam saja tidak menjawab.
Setelah mengganti mukena, aku mengambil beberapa cucian dari teman-temanku yang memakai jasaku, sudah sejak pagi dua orang santriwati dari kamar asrama berbeda menyerahkan pakaian kotor mereka. Aku senang setidaknya aku tidak pusing memikirkan uang jajan.
"Raa, ada titipan ibumu di posko!"
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
SANTRIWATI MISKIN PILIHAN GUS TAMPAN
Fiksi RemajaAku yang menjadi buruh cuci di pesantren tiba-tiba mendapatkan pinangan dari Gus Tampan