Chapter 8 | Sosok Ibu dan Luka yang tak pernah terlupakan

111 45 7
                                    

“Bunda sekarang tidur di tanah, ya? Sudah nggak di rumah lagi, Bang?” Suara Gion, adik kecil Nevra, terdengar pelan, nyaris bergetar di antara udara sejuk yang menyelimuti pemakaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Bunda sekarang tidur di tanah, ya? Sudah nggak di rumah lagi, Bang?” Suara Gion, adik kecil Nevra, terdengar pelan, nyaris bergetar di antara udara sejuk yang menyelimuti pemakaman.

“Tapi, kalau bunda kedinginan, siapa yang datang selimutin bunda di bawah sana?” Gion memeluk erat kayu nisan sambil menahan tangis yang mulai memenuhi kelopak matanya. Nevra yang duduk di sampingnya diam membisu, matanya memandang tanah yang baru saja dipijakinya, mencoba mencari jawaban di balik segala ketidakpastian yang menghantui pikirannya.

"Bunda sekarang udah nggak capek lagi ya...?" Nevra akhirnya bersuara, suaranya pelan, namun cukup untuk memecah keheningan yang menyelimuti mereka bertiga di makam itu. Ia berharap dengan berbicara, beban di dadanya bisa sedikit berkurang. Namun, nyatanya, setiap kata yang keluar justru membuat hatinya semakin sesak.

Verrel, ayah mereka, yang sejak tadi berdiri diam tak jauh dari kedua anaknya, akhirnya membuka suara. “Bang, Dek, ayo kita pulang. Jangan terlalu lama di sini. Kita doakan bunda, ya, supaya dia tenang di sana. Nanti kalau kita terus begini, bunda ikut sedih di surga,” katanya sambil menepuk pundak Nevra lembut.

"Tapi, Abang masih mau di sini, Yah... Abang mau temenin Bunda. Kalau Abang pulang, siapa yang temenin Bunda di sini?" Jawaban Nevra terdengar lirih, disertai dengan isakan yang tak bisa lagi ia tahan. Ia memeluk nisan ibunya erat, seakan takut jika sosok yang ada di bawah tanah itu akan benar-benar pergi jauh dan tak pernah kembali.

Verrel menarik napas panjang. Ia tahu, tak ada kata yang bisa mengobati luka itu, namun ia harus mencoba. “Nevra, Bunda sudah tenang sekarang. Dia nggak sendirian, kok. Tuhan yang jagain Bunda di sana. Tugas kita sekarang adalah mendoakan Bunda, supaya Bunda bisa bahagia di sisi-Nya,” ujar Verrel lembut, meski di balik suaranya tersimpan kepedihan yang sama besarnya. Dia juga merasakan kehilangan itu, namun ia harus tetap kuat, terutama untuk kedua anaknya.

@lautbiru2312_

Disaat orang-orang di seluruh dunia merayakan Hari Ibu, hari di mana mereka bisa memeluk dan mengucapkan terima kasih kepada sosok yang paling berjasa dalam hidup mereka, Nevra hanya bisa terdiam. Setiap kali ia melihat teman-temannya memeluk ibunya, tersenyum hangat bersama, hati Nevra seolah diremas kuat.

“Rindu terberat adalah ketika sosok berharga itu hilang. Aku biasa menyebutnya bunda.”

Kalimat itu terus terngiang di benaknya. Setiap kali ia mengingat wajah bundanya, kenangan itu datang bertubi-tubi, menghantamnya tanpa ampun. Nevra tahu, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mencium kening ibunya, untuk meminta maaf atas setiap kesalahan yang pernah ia buat.

Di pemakaman, Gion yang masih kecil mencoba menahan tangisnya. “Bunda, dede ikut, nih. Dede di sini sama Ayah dan Abang. Bunda tahu nggak? Dede sekarang sudah bisa makan sendiri, loh,” ucapnya sambil tersenyum lemah, menatap nisan ibunya yang dingin.

NEVRA ALGARA (Segera Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang