Chapter 16 | Hari Nevra Bersama Ibu

18 2 3
                                    

Matahari mulai meredup, meninggalkan semburat jingga di langit senja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari mulai meredup, meninggalkan semburat jingga di langit senja. Nevra berjalan pelan di sepanjang trotoar yang amat sepi , pikirannya penuh dengan segala kejadian yang menimpanya belakangan ini. Langkah kakinya terasa berat seiring dengan beban yang menumpuk di hatinya. Ia tak pernah menyangka hidupnya akan menjadi serumit ini—bertemu dengan ibu kandungnya, mengetahui bahwa ia memiliki saudara kembar, dan menyadari bahwa orang yang menabrak bundanya adalah ibu kandung nya selama ini ia tidak pernah menyangka ibunya seorang pembunuh. Semua itu telah merobek perasaannya.

Sejak memutuskan untuk meninggalkan rumah ayahnya, Nevra tinggal sementara di rumah Sagara. Sagara dan teman-temannya selalu ada untuknya, namun di dalam hati, Nevra merasa kesepian. Rasa sakit, kemarahan, dan kebingungan terus menghantuinya. Dan sekarang, ia harus berhadapan dengan kenyataan yang lebih sulit—ia sakit. Penyakit yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun, kecuali ayahnya.

@lautbiru2312_

Hari itu, ketika Nevra baru saja pulang dari jogging, ia bertemu dengan Juyeon untuk pertama kalinya sejak pertemuan di jalan dan di rumah ayahnya. Juyeon tampak cemas, seperti seseorang yang menyimpan banyak pertanyaan tanpa jawaban. Wajahnya persis seperti wajah Nevra, namun pandangan mata mereka berbeda—Nevra penuh dengan luka batin, sementara Juyeon tampak tak tahu harus berbuat apa.

"Bang Nev..." suara Juyeon terdengar lirih. "Juyeon ingin bicara langsung sama Abang."

Nevra menoleh dengan tatapan kosong. Ia tidak ingin bicara. Setiap kali ia menatap Juyeon, perasaan marah dan sakit hati semakin menguasainya. Bagaimana mungkin Juyeon hidup bersama ibu kandung mereka, sementara ia harus dititipkan pada orang lain? Kenapa hanya Juyeon yang mendapatkan cinta seorang ibu, sementara dirinya harus kehilangan semuanya? Rasa iri dan kecewa terus menggerogoti hatinya.

"Aku tahu ini semua sulit untukmu," lanjut Juyeon, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Tapi... aku minta maaf. Minta maaf atas apa yang dilakukan Ibu... dan minta maaf karena aku tidak tahu bahwa kita kembar selama ini."

Nevra menatap Juyeon dengan tajam. "Maaf? Maaf tidak akan mengubah apa pun, Juyeon. Kau hidup bahagia bersama Ibu, sementara aku... aku harus melihat bundaku mati karena ulahnya. Kau tidak tahu bagaimana rasanya."

Juyeon menundukkan kepala, merasa bersalah namun tak tahu bagaimana cara menebusnya. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi, aku sungguh minta maaf. Mungkin aku tidak bisa mengerti sepenuhnya apa yang kau rasakan, tapi aku ingin kita bisa bicara sebagai saudara. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, setelah 16 tahun kita tidak pernah bertemu."

Rasa sakit di dada Nevra semakin menumpuk. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi ia merasa lelah. Tidak ada gunanya melampiaskan kemarahan pada Juyeon, meskipun rasa sakit di dalam dirinya semakin menyesakkan.

"Aku tidak butuh maafmu, Juyeon," kata Nevra dingin. "Yang aku butuhkan adalah keadilan. Aku ingin mengerti kenapa semua ini terjadi padaku. Kenapa aku yang harus hidup seperti ini?"

NEVRA ALGARA (Segera Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang