Sore itu, di bawah langit yang mulai beranjak gelap, Nevra, Sito, dan Sagara berjalan bersama-sama, diselimuti perasaan bahagia setelah sukses menampilkan drama di festival sekolah. Namun, seiring dengan perjalanan mereka, ada perasaan aneh yang mulai merayap ke dalam hati Nevra. Meski mereka bertiga baru saja menciptakan kenangan indah, Nevra merasa ada sesuatu yang belum selesai—perasaan bahwa kebahagiaan mereka terlalu sempurna untuk berlangsung lama.
Di depan gerbang sekolah, tiba-tiba muncul Ryan, teman sekelas mereka yang selama ini selalu berusaha menjaga jarak dari Nevra dan teman-temannya. Wajah Ryan tampak kusut dan penuh dengan amarah yang tersimpan. Nevra yang melihatnya langsung merasa canggung, karena ia tahu bahwa Ryan selama ini merasa tersisih dari kelompok mereka.
Ryan berdiri diam di tengah jalan, menatap tajam ke arah mereka bertiga. "Kalian pikir kalian siapa?" tanyanya dengan suara rendah namun penuh amarah yang tertahan.
Nevra, Sito, dan Sagara saling bertukar pandang. Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Nevra mencoba untuk mendekati Ryan, berharap bisa menenangkan situasi. "Ryan, ada apa? Lo baik-baik aja?" tanyanya hati-hati.
Ryan mengerutkan kening dan melemparkan tatapan tajam ke arah Nevra. "Kalian selalu bertiga, selalu kelihatan akrab dan kompak. Tapi gue? Gue nggak pernah jadi bagian dari itu. Lo pikir gue nggak sadar? Lo pikir gue senang selalu diabaikan? Gue muak!"
Suasana menjadi tegang. Sito, yang biasanya lebih santai, ikut merasa terkejut mendengar amarah Ryan. "Ryan, tunggu, ini nggak seperti yang lo pikir. Kita nggak pernah berniat ninggalin lo."
Namun Ryan tampak tak peduli. "Lo nggak ngerti, Sito! Lo semua nggak ngerti! Gue selalu berusaha buat bisa gabung sama kalian, tapi setiap kali gue coba, kalian kayak nggak peduli. Gue nggak pernah jadi bagian dari rencana kalian. Kalian cuma sibuk dengan diri kalian sendiri, sementara gue dibiarkan sendiri."
Nevra merasa bersalah mendengar keluhan Ryan. Meski selama ini dia tak pernah berniat mengabaikan Ryan, ia tak menyangka bahwa Ryan menyimpan perasaan ini selama ini. Nevra mencoba menenangkan Ryan. "Ryan, gue minta maaf kalau lo ngerasa kayak gitu. Tapi beneran, kita nggak pernah bermaksud ngejauhin lo. Mungkin kita cuma... nggak nyadar."
Sagara yang selama ini lebih banyak diam, akhirnya angkat bicara. "Ryan, kita semua di sini teman. Kalo ada masalah, kita bisa bicarain baik-baik. Lo bisa ngomong sama kita kapan aja. Kita nggak pernah ngeanggap lo nggak penting."
Namun, bukannya mereda, amarah Ryan justru semakin memuncak. "Teman? Lo bilang kita teman, tapi selama ini gue cuma ngeliat lo bertiga aja yang selalu bareng. Lo nggak pernah ngajak gue buat nongkrong bareng, atau latihan drama. Gue selalu ngerasa kayak orang asing di antara kalian."
Nevra mencoba mendekat, namun Ryan mundur selangkah, seakan tak ingin didekati. "Gue nggak butuh simpati lo, Nevra. Gue cuma pengen lo semua ngerti bahwa gue capek merasa ditinggalkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
NEVRA ALGARA (Segera Terbit)
أدب المراهقين𝐒𝐄𝐁𝐀𝐆𝐈𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐑𝐈 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 "𝐍𝐄𝐕𝐑𝐀 𝐀𝐋𝐆𝐀𝐑𝐀" 𝐒𝐔𝐃𝐀𝐇 𝐃𝐈 𝐔𝐍-𝐏𝐔𝐁𝐋𝐈𝐒𝐇 𝐔𝐍𝐓𝐔𝐊 𝐊𝐄𝐏𝐄𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐍𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓𝐀𝐍, 𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐕𝐄𝐑𝐒𝐈 𝐍𝐎𝐕𝐄𝐋 𝐃𝐀𝐍 𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐓𝐀𝐇𝐔 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐒𝐄𝐋𝐄𝐍𝐆𝐊𝐀𝐏𝐍𝐘�...