3. Pacar

23 4 0
                                    

Kupikir feromon kuat dari tubuh Kayu yang dalam masa birahi sudah terkendali. Kemarin aku sempat merasa tenang sejak dia mengkonsumsi obat pereda. Ternyata hari ini terulang lagi. Begitu bangun pagi-pagi celanaku mengetat akibat melihat wajah tidurnya di sebelahku.

“Dia akan membuatku gila kalau tiap hari begini.” Batinku mengeluh.

Seharusnya dia bangun lebih dulu dariku. Meminum obat selagi aku belum bereaksi pada godaannya yang sangat menyiksa. Tapi... sudahlah. Ini tidak seperti aku lupa bagaimana karakternya. Sejak dulu memang aku yang terbiasa bangun lebih awal darinya. Lalu saat aku selesai mandi, dia menelfonku untuk menanyakan PR yang ingin disalinnya setiba di sekolah.

“Selamat pagi.” Akhirnya dia bangun dan langsung menyapaku.

“Cepat minum obatmu.”

“Obat apa? Aku tidak sakit.”

“Pereda feromonmu. Kau masih dalam masa birahi.”

“Ah, obat itu.” Dia meregangkan tubuhnya lalu duduk setelah menyingkap selimut, “Tidak baik kalau dikonsumsi terlalu sering. Ada efek jangka panjang pada ginjal. Obat yang mirip itu juga ada untuk para alpha. Seharusnya kau tahu karena efeknya juga hampir sama.”

“Masalahnya feromon yang kau keluarkan sangat kuat.”

“Memangnya kenapa?” Dia tahu semuanya, “Kondisiku cukup baik. Tidak seperti kemarin. Aku tidak akan emosional lagi.”

“Bukan itu.”

“Lalu?”

“Aku bicara tentang feromon, bukan kesensitifan perasaanmu. Kalau kau tidak menanganinya, lama-lama aku akan kehilangan kendali.”

“Aku tidak keberatan kau kehilangan kendali.”

“Kau bisa saja kutandai.”

Hal semacam itu rawan dilakukan oleh alpha pada omega. Jika terjadi pada saat sadar dan saling menginginkan tidak masalah. Sebaliknya, kalau hanya karena nafsu akibat pengaruh feromon hasilnya cuma akan berupa penyesalan.

“Sudahlah, aku mau mandi.” Putusku yang turun dari ranjang, “Kau cepat minum obat.”

“Michael.”

Dia meraih pergelangan tangan kiriku.

“Aku mencintaimu.” Tambahnya saat aku menoleh padanya.

Lagi-lagi dia bicara seenaknya. Bukan tidak seperti kemarin, dia masih sama dengan dirinya yang kemarin.

“Mana jawabanmu?”

“Ya, terima kasih.”

“Kubilang aku mencintaimu.”

Bukankah sudah kujawab dengan ucapan terima kasih?

“Kubilang aku mencintaimu, Michael.”

“Kau... ingin aku menjawab apa?”

Dia mengerutkan kedua alisnya, tanda tak suka. Melepaskan pergelangan tanganku dari genggamannya. Lalu memalingkan muka. Dia akan menangis kalau aku tidak melakukan sesuai maunya. Aku tahu itu, tapi tidak dengan apa yang menjadi kemauannya. Harus kujawab bagaimana?

“Aku juga mencintaimu.” Ucapku pada akhirnya.

Dia langsung menatapku, lagi. Bahkan kali ini sambil tersenyum. Di saat yang sama bagian di balik celanaku semakin membengkak, memberi rasa ketat lebih dari sebelumnya.

***

Aku sangat membenci hal semacam ini. Tidak lama setelah aku mandi, manajerku datang bersama seorang pria muda. Entah siapa dia. Aku tidak menyukai kemunculannya. Jangankan dia, manajer yang tiba-tiba mendatangiku saja sudah terasa sangat mengganggu.

MotiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang